Kematian Maharaja terdahulu, jelas mengagetkan semua pihak. Untuk pertama kalinya, Aydin membaca rekam medis sang ayah yang sudah disembunyikan rapat-rapat oleh tim medis kerajaan. Ia menghela napas, menatap datar secarik kertas yang diberikan dokter kerajaan yang menunjukkan rasa bersalah. Kanker pankreas stadium akut. Kondisi sang Maharaja sudah semakin melemah selama 3 tahun belakang, namun fakta itu tertutup rapat. Bahkan sang Ratu tak tau apa-apa soal penyakitnya.
"Yang Mulia." Salah satu pemimpin di kabinet mengintrupsi. "Kita harus segera melakukan penobatan resmi kepada anda."
"Ayah saya bahkan belum ditempatkan di tempat peristirahatannya, dan kalian berani mengungkit soal penobatan?" sahut Aydin dingin. Alisnya berkerut, jelas tidak setuju akan usulan yang baru saja ia dengar. "Saya saja sangsi kabar kematian Ayah sudah terdengar ke seluruh negeri. Beri ruang untuk keluarga kerajaan berkabung, bagaimanapun dia ayah saya."
"Maaf mengintrupsi Yang Mulia." Salah satu pejabat kerajaan itu menyahut. "Sejak dulu, sudah menjadi tradisi proses pemakaman Maharaja terdahulu dilakukan bersamaan dengan acara penobatan. Pantang kursi kepemimpinan absolut dibiarkan kosong begitu lama, kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan akan semakin besar."
"Bukankah itu tugas kalian, untuk memastikan hal itu tidak terjadi?" balas Aydin dingin. Ia lantas menatap sang kakak dan pamannya hanya bungkam, menghujani mereka dengan tatapan tajam. Dua orang yang memiliki kesempatan paling tinggi, untuk merebut tahtanya. "Jika hal itu terjadi, saya pastikan mereka sudah memenggal kepala saya sekarang bahkan sebelum berita kematian Maharaja disiarkan. Ada banyak kesempatan untuk mereka melukai saya, tapi kalian lihat sendiri saya masih hidup dan bernapas dengan baik di ruangan ini."
"Yang mulia-"
"Seminggu. Kerajaan akan memasuki masa berkabung, jangan pernah mengungkit apapun mengenai perayaan dan penobatan selama masa berkabung masih berlangsung." Aydin menutup map berisi rekam medis Maharaja terdahulu ke atas meja, menyuarakan perintah dengan nada absolut.
"Ini perintah pertama saya, sebagai Maharaja kalian."
***
Pintu ruang kerja Maharaja baru terbuka ketika matahari mulai menyingsing di sisi timur.
Sejak semalam, ruangan itu tertutup rapat. Jelas sekali terjadi pembicaraan alot di dalam sana. Seluruh pengawal termasuk Rana dalam posisi siaga. Berbagai jenis senjata disediakan dalam jumlah berkali-kali lipat, mencegah terjadi apapun yang membahayakan di masa kekosongan tampuk kepemimpinan. Mereka sudah siap mendapat kabar kalau-kalau persiapan penobatan dan pemakaman Maharaja terdahulu dilakukan secara bersama. Namun, perdana menteri mengatakan perintah Maharaja dengan lantang dan jelas.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, acara penobatan dan pemakaman Maharaja dilaksanakan secara terpisah. Masa berkabung yang biasanya hanya 3 hari, diperpanjang menjadi seminggu. Inilah keputusan pertama Aydin, sebagai Maharaja.
"Nona Rana, Tuan Putri Arnita memanggil anda."
Rana mengangguk kecil, kala salah satu pelayan tuan putri memanggilnya yang berada dalam barisan penjagaan. Ia berjalan menuju sayap kanan istana, tempat di mana kamar sang tuan putri berada. Hal pertama yang menyambutnya adalah wajah lesu Arnita yang jelas sudah menangis semalam suntuk. Pakaian pestanya terganti setelan berwarna kelabu. Ada sepiring kudapan ringan yang teronggok di nakas samping tempat tidur yang masih terisi penuh.
"Hormat saya kepada Yang Mulia Putri Arnita."
"Apa kakak sudah selesai melakukan rapat?" tanya Arnita teramat pelan.
"Pembicaraan dengan para petinggi kerajaan sudah usai, Yang Mulia. Namun, kali ini beliau telah memanggil para pelayan utama istana dan pemangku adat. Mendiskusikan acara penghormatan terakhir untuk mendiang Yang Mulia Maharaja." Rana menjelaskan dengan teramat pelan. Usia Arnita masih cukup belia, ia baru menginjak tahun kedua sekolah menengah atas. Jelas kematian Maharaja terdahulu dan pergantian kekuasaan yang terjadi begitu mendadak membuatnya merasa terpukul.
"Kalau begitu minta pelayan menyiapkan pakaian penobatan-"
"Yang Mulia Maharaja membuat keputusan penghormatan terakhir dan penobatannya dilakukan secara berpisah."
Arnita mengernyitkan dahi, sejak kerajaan ini berdiri sudah sepatutnya acara penobatan dan pemakaman dilakukan bersamaan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadi hal tidak menyenangkan selama periode kekosongan tampuk kekuasaan. Ia menunggu Rana untuk meralat kalimatnya, namun pengawal utamanya itu tetap diam. "Kakak memerintahkan itu?"
"Benar, ini perintah pertama Yang Mulia Maharaja Aydin."
Yang Mulia Maharaja Aydin, sejak kakak keduanya terpaksa menggantikan posisi sang kakak sulung yang tak lagi memungkinkan untuk memimpin kerajaan. Arnita tau bahwa suatu hari nanti, sang kakak akan benar-benar duduk di tampuk kekuasaan tertinggi. Ia hanya tak menyangka, hari di mana sang kakak menjadi Maharaja datang begitu cepat. "Baiklah, kamu bisa pergi Kak Rana."
"Saya akan meminta pelayan, menyiapkan air hangat untuk mengompres mata bengkak anda. Atau anda ingin saya meminta mereka menyiapkan air hangat untuk berendam?" tawar Rana merasa simpati akan kondisi Arnita saat ini. Jelas sekali anak itu tidak tidur semalam suntuk. "Ketika acara pemakaman dilakukan, anda tidak bisa beristirahat. Saya tidak ingin, tuan putri pingsan di tengah acara."
"Baiklah, aku minta tolong ya Kak Rana."
Rana ingin berucap lagi, meminta agar sang tuan putri tidak memanggilnya dengan sebutan 'Kak'. Bagaimanapun Arnita memiliki posisi lebih tinggi, pantas-pantas saja jika ia memanggil dengan sekedar nama. Namun, sejak awal Rana sudah diperingatkan untuk tidak memprotes cara sang tuan putri memanggil bawahannya. Bisa-bisa tuan putri itu memberi ceramah panjang perihal sopan santun, bahwa sudah sewajarnya ia memanggil yang lebih tua dengan sebutan 'kakak' seberapa tinggi pun posisinya saat ini.
"Siap laksanakan, Tuan Putri."
***
Pemakaman Maharaja dilakukan sepanjang hari.
Sejak pagi, semua bendera yang berkibar di negeri ini hanya dikibarkan setengah tiang. Suara terompet panjang tak henti terdengar dari menara barat istana tiap satu jam sekali. Para wartawan tak henti mengabarkan kematian sang Maharaja ke seluruh penjuru negeri, hingga dunia. Satu persatu para petinggi negara lain datang mengucapkan rasa belasungkawa mereka. Para rakyat biasa, mulai memenuhi sisi barat gerbang istana. Memenuhi sepanjang pagar tinggi istana dengan beragam surat dan bunga, sebagai bentuk berduka. Beberapa terlihat menangis, masih tak percaya sang Maharaja terdahulu tutup usia begitu tiba-tiba.
Upacara pemakaman disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi nasional. Aydin memimpin langsung acara pemakaman itu. Ia berdiri paling depan, sembari memegang potret sang Maharaja. Berjalan dari istana utama, menuju pemakaman keluarga kerajaan yang ada di sisi barat istana. Berjalan cukup jauh untuk mengantarkan sang ayah menuju pengistirahatan terakhirnya. Sebuah tradisi yang telah ada sejak lama. Seolah menyimbolkan bahwa rasa letih dalam mengantar sang Maharaja terdahulu menuju tempat peristirahatannya hanya sedikit beban berat yang akan dihadapi sang Maharaja terdahulu untuk ke depannya.
Sudah 10 tahun, sejak Aydin dinobatkan menjadi putra mahkota namun dirinya takkan pernah terbiasa menghadapi banyak orang. Tangannya terasa basah, berusaha tidak terlihat gelisah atas ribuan pasang mata yang kini tertuju padanya. Merasa gugup untuk menyampaikan pidato pertamanya sebagai sang Maharaja.
"Hari ini, Maharaja terdahulu meninggalkan kita semua." Kalimat itu diucapkan Aydin dengan susah payah, memulai pidato berkabungnya. "Beliau bukan hanya Maharaja yang saya hormati sebagai warga kerajaan. Beliau adalah ayah yang telah saya hormati dan cintai selama bertahun-tahun. Kepergian beliau yang begitu mendadak, menjadi pukulan terbesar untuk saya."
Mata Aydin bergerak menatapi satu persatu hadirin yang datang dalam acara pemakaman sang ayah. Ia bisa merasakan tangannya mulai terasa dingin, sampai matanya tanpa sengaja bersitatap dengan sosok Rana yang berdiri di antara barisan para pengawal. Tatapan Rana tertuju lurus padanya, air mukanya datar. Protokol wajar untuk seorang pengawal istana untuk tidak menunjukkan ekspresi apapun di depan publik. Namun, seolah tau bahwa Aydin gugup bukan main. Rana melanggar protokol tersebut. Tersenyum kecil, seolah menyiratkan tak apa untuk Aydin gugup. Seolah memberitau bahwa ia percaya pada Aydin untuk bisa menyampaikan pidatonya hingga usai. Saat itulah Aydin merasa perasaannya tak lagi terasa begitu gugup.
"Saya memang tidak sesempurna Pangeran Nata yang telah mengabdi pada masyarakat untuk waktu yang lama. Masih banyak hal yang harus saya pelajari untuk memimpin negeri ini." Aydin menghela napas, lantas menatap lurus pada kamera yang menyorotinya. Seolah berbicara langsung kepada seluruh rakyat yang akan menjadi tanggung jawabnya kini.
"Namun, saya berjanji akan memerintah dengan sebaik mungkin untuk kemakmuran negeri ini. Saya tidak akan menyerah memimpin kerajaan ini, meski ada banyak rintangan kedepannya. Sampai akhir napas saya, persis seperti ayah saya. Sang Maharaja terdahulu."
***
Setelah pemakaman selesai, Rana bisa melihat ketua kabinet dan beberapa orang penting pemerintahan masuk ke ruang kerja sang Raja. Tentu saja berdiskusi dengan keluarga inti kerajaan, akan tampuk kekuasaan yang kini kosong. Pembicaraan yang cukup lama, karena ketika pintu terbuka ia ingat sekali matahari sudah muncul kembali di peraduan. Resmi sang Maharaja belum tertidur selama 2 hari.
Keputusan sudah diambil. Aydin akan tetap mengambil alih kekuasaan sebagaimana harusnya. Pertimbangan bahwa Aydin hanya bersiap 10 tahun, setelah gelar Pangeran Mahkota dialihkan padanya membuat kabinet membuat suatu keputusan. Pangeran Nata akan mendampingi sang Maharaja dan menjadi penasihat pribadinya. Sesuai kesepakatan awal, penobatan akan dilakukan seminggu setelah masa berkabung. Negeri ini jelas tak memperbolehkan kursi kekuasaan kosong begitu saja.
Menjelang penobatan, Rana benar-benar tak bisa bertemu dengan sosok Aydin. Pemuda itu tak pernah kembali ke Istana, bahkan ketika ia terjaga sepanjang malam. Sebagai seorang sahabat yang menemani selama 3 tahun, Rana paham akan apa yang dirasakan Aydin. Apalagi ketika ia tau, kekuasaan besar ini tak pernah diinginkan Aydin.
Di hari keempat masa berkabung, Rana dikejutkan akan kemunculan Aydin di depan kamar Arnita. Sebagai seorang pengawal, ini adalah prosedur tetap untuk seorang pengawal melindungi keluarga kerajaan dalam masa kekosongan jabatan 24 jam nonstop. Lidah Rana terasa kelu, ketika sang calon Raja muncul dengan ekspresi datar.
“Arnita sudah tidur?” tanya Aydin dengan suara serak. Jas hitam yang selalu ia kenakan, sudah ia bawa dalam genggaman. “Apa ada Ibunda juga di dalam sana?”
“Benar, Yang Mulia. Semenjak masa berkabung, Ibu Suri dan Tuan Putri selalu tidur bersama.” Rana tetap menundukkan kepalanya, menunjukkan formalitas setinggi-tingginya pada sang calon raja.
“Bisakah anda menanggalkan segala formalitas itu di hadapan saya? Itupun kalau anda tidak keberatan.”
Ucapan Aydin yang terkesan dingin, sukses membuat Rana menegakkan badan. Ia menatap sepenuhnya Aydin yang masih menatap lurus pintu kamar sang adik. Rana baru menyadari bahwa pengawal yang semula berjaga di dekat kamar Arnita kini sedikit menyingkir ke sudut lain koridor. Memberi ruang pada Aydin untuk privasinya.
“Gue takut, Ran.”
Aydin membuka suaranya setelah terdiam cukup lama. “Apakah gue siap memerintah dengan persiapan yang minim ini?”
“Gue juga nggak tau, masa depan selalu punya banyak variabel yang nggak bisa kita perkirakan bagaimana hasilnya.” Rana menatap pintu kamar Arnita, dan berdiri bersisian dengan Aydin. Mengingatkannya pada masa-masa sekolah di mana, mereka selalu bersisian saat upacara. “Tapi melihat seberapa besar keluarga lo percaya sama kemampuan lo. Gue yakin, lo bisa. Lo pernah bilang, Pangeran Nata selalu bisa diandalkan. Jadi, minta bantuan dia ketika lo kesusahan.”
“Boleh gue minta satu hal ke lo?” tanya Aydin dengan suara pelan. Rana mengerjap, menatap balik sang calon Raja dengan raut wajah bingung.
“Apapun yang terjadi ke depan, tolong lindungi keluarga kerajaan.”
Dan permintaan itu, Rana selalu tekankan ke setiap sudut memorinya.
TBC