Ruangan itu berlantai marmer penuh gemerlap. Pilar-pilar bergaya lama, dihias sedemikian rupa dengan beludru berwarna merah dan kain-kain berwarna keemasan. Menunjukkan kemegahan ruangan besar itu, di setiap sudutnya. Di tempat inilah, saksi bisu para penguasa kerajaan bersumpah. Mengambil janji dan amanat untuk mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.
Di dalam salah satu ruangan, Aydin menggenggam pelan jemari sang kakak yang dibalut sarung tangan tebal. Ia tak ingat, sejak kapan tubuhnya tumbuh sedemikian cepat hingga menyaingi tinggi Nata. Bola matanya berkelip, tanpa sadar menunjukkan perasaan gelisah yang menghampirinya. Jubah berat yang tersampir di pundaknya, membuat perasaan gelisah itu semakin menggila. Kalau bisa Aydin sungguh ingin lari dari ruangan megah yang mencekiknya ini. Tak ingin mengucap janji suci untuk mengabdi sepanjang hayat pada negeri yang ia pijaki. Namun, kabur bukanlah sebuah solusi.
“Ayah pernah cerita, beliau sudah banyak melihat monarki besar runtuh karena gagal memisahkan kepentingan pribadi dan tugasnya. “ Suara sang kakak, mengalun pelan. Mereka bilang Monarki adalah misi suci yang harus diemban para bangsawan. Memakmurkan kehidupan dan mewujudkan hal layak untuk masyarakat umum. “Dan kamu, nggak bisa dan nggak boleh melakukan hal yang sama.” Kalimat itu masih terdengar, sementara tangan Nata merapikan jubah panjang sang adik yang menguntai. “Karena kakak telah lama gagal.”
Sebagian masih ada yang menganggap pelepasan takhta pangeran pertama mereka sebagai dosa, penurunan martabat dan hilangnya harga diri. Penodaan pada lambang keluarga mereka dan sejarah, anomali kerajaan. Dan saat ini ketabahan sang putra mahkota sepenuhnya meredup. Ia memalingkan mata, menarik napas kecil. Mata Aydin mengamati setiap pengerakan jemari Ranu yang setia membenahi jubah keemasannya yang disemati mutiara-mutiara berharga dan benang-benang tebal. Mahkota merah dengan ornamen berlian, terasa berat di tangannya. Seolah memberikan gambaran semu, beban berat apa yang akan ia hadapi.
“Di saat kita berkabung atas ayah, aku juga berkabung akan hal lain.” Aydin bergumam pelan, “Berkabung atas matinya mimpi-mimpi dan beberapa sisi diriku yang dulu.”
Setiap serat hingga ke ujung jemari Nata terasa kelu, lebih karena udara di sekitarnya terasa memberat. Sikap Aydin yang kelewat tenang, justru membuat rasa bersalah menghantam Nata sedemikian rupa. Namun lagi-lagi hanya beberapa kata yang teruntai dari bibir mantan putra mahkota itu. “Maafin kakak.”
“Aku nggak akan pernah bisa berdamai dengan ini.” Ucapan Aydin sukses membuat gerakan Nata terhenti. Helaan napas yang cukup panjang, berhasil mengukir luka kekecewaan di hati sang kakak yang kembali bungkam. “Aku harap kakak nggak lupa, kalau aku bisa memaafkan. Tapi, nggak akan pernah lupa karena apa hidupku berubah sepenuhnya.”
“Aydin...”
“Tapi aku, selalu sayang kakak.”
Karena dalam nadinya, dalam hatinya yang kelam, ia selalu sadar mereka terikat darah yang sama.
Berbanding terbalik dengan suasana di dalam ruangan persiapan yang begitu dingin. Suasana di ruang penobatan terkesan lebih hangat, dan sakral. Kursi-kursi tamu sudah mulai terisi penuh, deretan wartawan yang meliput jalannya penobatan sudah bersiap di tempatnya. Keluarga kerajaan juga sudah mengisi kursi-kursi, tentu dengan banyak pengawal yang berjaga di dekat mereka. Beberapa dari mereka terus melirik ke arah pintu utama, tak sabar melihat sang Maharaja baru untuk mengucapkan janji di depan seluruh rakyat.
“Rana, Ibu Suri ingin berbicara denganmu.”
Rana yang semula fokus mengawasi sekitar, dibuat terkejut saat Ranu memanggilnya. Pengawal itu memang ditugaskan menjadi ketua tim kali ini, dan Aydin memintanya untuk memfokuskan penjagaan pada keluarga inti kerajaan. Dari tempatnya, ia bisa melihat sang Ibu Suri duduk di kursi kebesarannya dengan senyum ramah. Bersisian dengan Putri Erika yang tampak gugup sendiri meski bukan dia yang akan dilantik.
Langkah Rana bergerak cepat menghampiri sang Ibu Suri, sedikit membungkuk untuk memberi penghormatan sebelum berlutut di hadapannya. “Ada yang bisa saya bantu Yang Mulia?”
Sang Ibu Suri tersenyum kecil, menatap Rana lamat-lamat seolah memperhatikannya dengan begitu detail. “Saya dengar, kamu teman Aydin di SMA. Kamu anak dari salah satu petinggi di kementerian pertahanan periode lalu bukan?”
Anggukan pelan Rana berikan, membuatnya terlihat lebih kikuk. Ia memang kurang dekat dengan sang Ibu Suri, karena ia jarang mendapat tugas penjagaan untuknya. Tapi ia bisa merasakan aura hangat yang dipancarkannya, meski pada pekerja sepertinya. “Benar, Yang Mulia.”
“Saya mendengar pembicaraan kamu dengan Aydin semalam,” gumam sang Ibu Suri amat sangat pelan. “Dia menitipkan keluarga saya ke kamu, benar?”
“Benar, Yang Mulia. Maafkan kelancangan saya.”
Dahi sang Ibu Suri nampak berkerut, tak mengerti akan permintaan maaf pengawal muda di depannya. “Mengapa kamu meminta maaf? Saya tidak merasa kamu melakukan kesalahan.” Tangan sang Ibu Suri bergerak mengusap rambut Rana yang terikat rapi. “Jika Aydin menitipkan kami padamu, maka saya tau kalau kamu benar-benar dipercayainya.”
“Aydin itu sosok yang tak mudah percaya, kamu pasti tau itu.” Diam-diam senyum kecil terkembang di wajah Rana. Ia menyetujui kata-kata sang Ibu Suri, Aydin amat sangat susah mempercayai seseorang.
“Saya harap, kamu benar-benar memegang amanah Aydin.”
***
Pagi itu, batang-batang pohon masih berdiri tegap dengan daun-daun jarumnya yang hijau abadi. Sementara bunga-bunga cerah memunculkan mahkotanya dari antara semak-semak rendah. Mawar, geranium, rhododendron, dan kamelia bergerombol ceria di mana-mana. Di sisi jalan setapak, di dinding taman, atau di bawah bayang pepohonan. Seolah tidak memperdulikan kengerian, mahkota-mahkota bunga itu akan menjadi lautan daun merah karena rontok akan waktu.
Dan Aydin juga akan mempunyai mahkota yang akan selalu ia jaga. Menjaga keberadaan benda itu bukan hanya sebatas benda mahal, namun makna turun temurun. Simbol kekuatan negaranya, agar tidak meluntur sedikitpun. Detik ini, ia harus bersumpah.
“Akankah anda bersungguh-sungguh dan bersumpah untuk memerintah sesuai hukum dan tradisi yang berlaku?”
Sejak berapa lama Aydin merasakan ia mendengar suara detak jantungnya sendiri. Berdetak setiap saat, seolah menghitung detik demi detik menuju kematian beberapa sisi dirinya yang lain. Bunyi nadinya sendiri terdengar makin keras, berdentam semakin intens di kepala.
“Saya bersumpah.”
“Apakah anda dengan kekuasaan, akan melibatkan setiap hukum dan keadilan dalam setiap tindakan?
“Saya bersumpah akan melakukannya. Hal-hal yang saya katakan akan saya lakukan.”
Suatu pedang negara disentuhkan ke bahunya bergantian. Kemudian ia berdiri, mencium buku usang milik kerajaan yang diwariskan turun temurun lantas menandatangani sumpahnya. Beberapa detik berlalu, dan Aydin duduk di kursi paling megah yang ada dalam ruangan tersebut. Sementara itu petinggi keluarga kerajaan yang mengambil sumpahnya, berjalan mendekat. Tangannya terangkat perlahan, menempatkan jemari pada mahkota berat dan membuat benda berat itu singgah di atas kepala Aydin.
Selang beberapa menit berlalu, dan kini ia melihat sang kakak semata wayangnya ada di hadapannya. Berdiri tegak, dengan jubah yang sama hanya dengan bobot mahkota yang berbeda. Ia yang masih duduk di atas singgasana hanya bisa memandang tanpa ucap, sebuah pandangan mata mengisyaratkan segalanya.
Mahkota kakaknya dilepas, seolah menurunkan seluruh derajatnya di hadapan sang raja. Lantas ketika kaki itu menekuk, dan berlutut dengan kepala tertunduk dalam menjadi momen pahit bagi sang adik. Seharusnya detik ini, seluruh tamu yang berlutut pada orang ini. Orang yang kapabilitasnya tak pernah diragukan sedikitpun oleh rakyat. Bukan pada dirinya.
“Saya, Pangeran Pertama Nata Adyatama Kencana . Siap mendampingi Maharaja dengan kesetiaan dan loyalitas, hidup dan mati hingga sang Ratu datang.” Suara itu terdengar dari celah bibir kakaknya. “Semua, dengan kekuasaan Yang Kuasa.”
Orang dihadapan Aydin ini adalah kunci dari segala masa lalunya. Saksi mata saat semuanya masih suci dan mereka berdua buta akan dunia. Mereka tumbuh bersama melewati masa keemasan itu. Manis dan pahit. Dan rentang jarak ini, terang terasa menyesakkan. Sang pangeran masih menunduk dalam sebagaimana tradisi, secara sempurna melepas bayang kekuasaan yang bertahun-tahun mengakar dalam diri. Tanpa menunjukkan ekspresi apapun, hanya hingar wangi kesucian menerpa indranya.
Dan para tamu bergeming dalam diam.
***
"Kue coklatnya enak loh."
Rana hapal sekali suara siapa barusan, itulah kenapa dia dan segenap pasukan pengawalnya menunduk takzim. Memberi penghormatan pada sang Maharaja baru yang telah mengenakan jas berwarna keemasan berpadu dengan warna putih. Ketika Aydin akhirnya meminta mereka menegakkan badan, barulah Rana menyadari sepiring kue coklat telah disodorkan padanya. Pelakunya siapa lagi kalau bukan pria di depannya ini. "Makan."
"Maaf, Yang Mulia. Sudah menjadi protokol, bahwa pengawal keluarga kerajaan tidak diperkenankan makan ataupun minum di acara seperti ini." Penolakan dari Rana, sontak membuat Aydin melirik ke belakang. Lebih tepatnya pada pengawal pribadinya Ranu yang mengangguk takzim.
"Kalau begitu cek makanan itu untuk saya." Mata Rana mengerjap, terdiam menatap Aydin. Laki-laki itu menaikkan sebelah alis semakin menyodorkan piring tersebut kepada Rana. "Kenapa? Kamu lebih suka kalau saya bisa saja diracun?"
Rana kehabisan alasan, ia menatap Aydin cukup lama sebelum akhirnya menyerah. Mengambil piring berisi kue coklat itu dari tangan sang Raja, membuat potongan kecil menggunakan garpu lantas melepas salah satu sarung tangan. Memasukkan potongan kue itu langsung ke dalam mulutnya. Rana tak bisa menampik kue coklat itu teramat enak, rasa manis krim berpadu dengan coklat yang terasa sedikit pahit. Menciptakan harmoni sempurna yang membuat dirinya tanpa sadar tersenyum kecil, sebagai penggemar berat kue coklat. Makanan barusan benar-benar berhasil meningkatkan perasaan bahagia Rana, yang tak ia ketahui Aydin sempat menangkap perasaan senang itu sehingga dirinya ikut tersenyum.
"Saya rasa ini baik-baik saja."
"Kalau begitu habiskan." Aydin tersenyum miring, merasa menang karena berhasil memaksa Rana memakan makanan yang ia bawakan. Dia sempatkan mengecup kening sang adik yang tertawa geli melihat kepala pengawalnya berhasil ditipu oleh sang kakak. "Jangan dipaksa Nita, kalau udah capek langsung ke kamar aja."
"Iya, bentar lagi."
Lantas sang Raja baru itu kembali berjalan pergi diikuti salah seorang pengawal dan seorang asisten pribadi. Kembali mengitari area ballroom istana untuk bertemu dengan orang-orang penting yang datang silih berganti untuk mengucapkan selama padanya. Arnita memang tau kalau Rana adalah salah seorang teman sang kakak di masa dirinya bersekolah di sekolahan biasa. Maka ketika Rana nampak memperhatikan sang kakak dengan raut wajah khawatir, Arnita memahami perasaan itu.
"Yang Mulia terlihat aneh kan?" tanya Arnita memulai percakapan. Ia meraih minumannya yang masih tersisa cukup banyak di atas meja. "Kakak bahkan belum benar-benar tidur sejak ayah meninggal, hanya menunggu waktu sampai dia tumbang."
"Menurut saya, Yang Mulia terlihat sehat dan bugar." Balasan dari Rana membuat dahi Arnita mengernyit. Siapapun bisa melihat bagaimana kakaknya terlihat lebih kurus dari beberapa hari lalu. Sebelum penobatan, bagian bawah mata Aydin harus diberi bedak cukup banyak untuk menyamarkan kantung matanya. Maka kalimat Rana barusan jadi terdengar aneh.
"Sebagai seorang pengawal, saya yakin bahwa Yang Mulia Aydin akan baik-baik saja." Rana mengoper piringnya yang sudah kosong ke salah seorang pelayan yang lewat lantas menghela napas. Kembali mengenakan sarung tangan hitamnya.
"Namun, sebagai teman. Saya khawatir Yang Mulia sedang menahan banyak emosi yang bisa saja meledak sewaktu-waktu."
TBC