Lima: Rehat

1978 Words
Aydin mengerjapkan mata, menyadari bahwa ia baru saja tertidur di meja kerjanya sendiri. Ia menghela napas, lantas menyunggingkan senyum miris. Seingatnya tumpukan kertas di atas meja sudah berkurang sebanyak 2 tumpuk, menyisakan hanya satu tumpukan kertas yang memang ia niatkan selesaikan setelah tidur. Siapa sangka ketika dia membuka matanya, tumpukan kertas itu sudah bertambah 4 kali lipat. “Tolong panggilkan Ranu ke-“ Belum selesai Aydin berbicara, pintu ruang kerjanya terbuka. Menampilkan sosok Ranu yang masuk dengan seragam lengkapnya. Dahi Aydin berkerut, memeriksa jam digital di atas meja. Menyadari bahwa hari bahkan belum memasuki subuh. Itu berarti seharusnya Ranu muncul di depannya dengan pakaian santai bukannya seragam pengawal kerajaan yang dikhususkan ketika mereka mendampingi keluarga kerajaan di sebuah acara publik. Kemarin, sehabis pulang dari acara bakti sosial di salah satu panti asuhan sudut kota. Aydin jelas memerintahkan agar pengawal utamanya beristirahat. Menyerahkan penjagaan akan dirinya kepada pengawal lain yang bertugas di shift malam. Nampaknya, Ranu mengabaikan perintah Aydin dan tetap keras kepala untuk mengawalnya secara penuh. “Bukankah aku minta kamu kembali ke asrama?” “Selama Yang Mulia tetap berada di ruangan ini, saya tidak akan kembali. Sudah menjadi prosedur.” Aydin memijat dahinya tak ingin berdebat untuk kesekian kali dengan Ranu perihal protokol yang dimiliki pasukan pengawal kerajaan. Terutama pengawal Raja. “Kalau aku kembali ke kamar, kamu akan kembali ke asrama kan?” “Setelah saya memastikan anda-“ “AYOLAH!” Suara Aydin meninggi, melempar tatapan jengkel pada Ranu yang hanya berekspresi datar. “Jarak antara asrama para pengawal dan istana tidak lebih dari 500 meter. Bahkan kamarmu memiliki akses yang menghubungkan langsung ke kamarku. Pergi istirahat.” “Baik Yang Mulia, saya akan lakukan setelah memastikan anda telah kembali ke kamar.” Mata Aydin menajam, melirik Ranu yang tak goyah sedikitpun akan tatapan tajam itu. Aydin menghela napas, tau bahwa ia sudah kalah telak. Walaupun Ranu berada di barisan pengawal adiknya Arnita, sebelum menjadi kepala pengawalnya saat ini. Ranu lebih banyak bertugas menjadi pasukan penjagaan tambahan untuk setiap agendanya. Secara tidak langsung laki-laki itu sudah bersamanya dalam kurun waktu cukup lama. Ia sudah terbiasa menghadapi amukan dan protesan Aydin, jadi delikan tajam barusan tak menggoyahkannya sedikitpun. Aydin meraih ponsel dan menyerahkan beberapa laporan kepada Ranu untuk dibawakan. Sudah mulai terbiasa akan protokol bahwa apa yang ada di tangan sang Raja tak boleh lebih dari 3 barang. Itulah kenapa dia biarkan Ranu membawakan map-mapnya sebelum pengawal itu mulai membicarakan soal protokol yang dimiliki pengawal istana. Fajar bahkan belum menyingsing, namun ketika dia melewati aula tengah Aydin bisa melihat beberapa orang mulai berlalu lalang di lantai bawah. Beberapa pelayan berlari kecil dari kamar-kamar mereka menuju area dapur. Siap menyiapkan sarapan untuk orang-orang di istana. Beberapa mulai mengeluarkan alat kebersihan dari ruang penyimpanan, siap menggosok tiap inci sudut istana agar tetap mengkilap. Sebuah pemandangan yang cukup menyenangkan untuk dilihat, kalau saja Aydin tidak ingat kalau dia harus segera kembali ke kamar kalau ingin pengawalnya segera beristirahat. Kamar Aydin telah berpindah dari sayap kiri istana, menjadi di sayap kanan istana. Hanya berjarak beberapa pintu dari ruang kerjanya. Kamar megah nan luas yang terlalu besar untuk dihuni Aydin seorang diri. Tepat di sebelah kamarnya ada kamar sang Ratu. Berhubung raja terdahulu sudah tiada, seharusnya ibunya pindah ke kamar lain yang ada di sisi kiri istana. Mendiami kamar yang memang dikhususkan untuk para ibu suri dari generasi ke generasi. Namun, Aydin menolak pemindahan itu. Membiarkan sang ibu untuk tetap mendiami kamar di sampingnya hingga ia berhasil menemukan sosok Ratu yang akan mendampinginya hingga akhir napas nanti. Suara samar langkah kaki menaiki tangga, membuat Aydin menghentikan langkah sejenak. Penasaran saja siapa yang akan muncul dari tangga melingkar milik istana. Tak butuh waktu lama hingga batang hidung Rana terlihat. Perempuan itu naik sembari memasang sarung tangan hitam, bersiap menjalani shift paginya. Ia tersentak kala menyadari ada Aydin berdiri di dekat tangga. Bergegas memberikan penghormatan pada Aydin yang mendengkus melihat hal itu. “Selamat pagi, Yang Mulia.” Rana menegakkan badan, melirik Ranu yang sedang memberi kode akan sesuatu yang tak bisa ia mengerti. “Apa tidur anda nyenyak?” “Gue baru mau tidur.” Untuk beberapa saat Rana tersentak, lidahnya gatal ingin menegur namun tak bisa. Bagaimanapun Aydin bukan lagi bangsawan biasa yang bisa ia tegur sesuka hati seperti di masa sekolah. Ia adalah sang Maharaja, pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri ini. Itu berarti tak ada yang bisa menegurnya kecuali anggota keluarga kerajaan lain. Termasuk soal tata bahasa yang digunakan Aydin setiap berkomunikasi dengannya. “Lo mau ceramahin gue soal panggilan barusan?” tanya Aydin tau bahwa kosa katanya membuat Rana tak nyaman. “Tidak, Yang Mulia. Saya-“ “Aydin.” Aydin menatap Rana teramat tenang. “Panggil gue Aydin, atau apa saja asal bukan panggilan itu.” Mudah bagi Rana memahami maksud Aydin, ia menatap sang raja untuk waktu yang cukup lama hingga akhirnya menyerah. “Baik, Aydin.” Aydin ingin kembali berseru protes, namun kembali ia telan semua hal itu ke tenggorokan. Tangannya bergerak memijat pangkal hidung, mulai merasa pening. “Lupakan saja,” gerutunya mulai berjalan menuju kamar namun terhenti kala suara Rana terdengar. “Kalau lo nggak keberatan, gimana kalau kita keliling istana aja?” *** Rana melirik Aydin yang berjalan pelan menyusuri tiap sudut istana dengan wajah datarnya. Sesekali bibirnya tersenyum ketika berpapasan dengan pelayan ataupun staff keamanan istana. Berkat bujukan Rana, mereka berhasil mendorong Ranu untuk kembali ke kamar. Sebagai gantinya Rana akan menemani sang Raja untuk beberapa waktu ke depan. Setidaknya sampai sang putri bangun dari tidur lelapnya. Dulu di awal masa putih abu mereka, Rana ingat tinggi keduanya tak jauh berbeda. Sudah jadi rahasia umum bahwa laki-laki di usia remaja akan tumbuh dengan tempo yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa, Aydin yang semula hanya berbeda 1-2 senti darinya lantas tumbuh begitu tinggi hingga jarak itu berubah menjadi beberapa belas senti. Rana tergolong perempuan tinggi di kesatuannya, namun ia jelas kalah jauh dari sang Maharaja saat ini. Pantas saja kesatuan yang diturunkan untuk mengawal sang Raja adalah mereka yang tergolong 'Raksasa'. "Lo laper nggak?" Pertanyaan itu membuat Aydin menghentikan langkah, menoleh ke arah Rana yang sudah berdiri di sebuah pintu. "Gue harusnya cuman cek penjagaan di kamar Arnita, sebelum turun buat sarapan. Mau ikut?" "Emang boleh gue kesana?" "Lo kan Raja, nggak ada tempat yang haram buat lo masukin." Rana tersenyum jahil, membuka pintu belakang asrama pengawal. "Ayo." Aydin mengalah, masuk melalui pintu yang dibuka oleh Rana. Pintu itu langsung menghadap ke area makan yang berisi puluhan meja bundar dan kursi-kursi berwarna kecoklatan. Nampaknya, sudah jadi hal umum untuk para pengawal yang bertugas di pagi hari memulai sarapannya jauh sebelum fajar tiba. Secara area makan itu cukup dipadati oleh orang-orang. Mengambil secara mandiri makanan yang tersaji di sebuah meja panjang, atau jika mereka tidak berminat akan menu hari ini mereka bisa membuat roti bakar yang tersedia di salah satu sudut ruangan. "YANG MULIA!" Seruan itu berasal dari pengawal yang duduk tak jauh dari Aydin berdiri. Secara gelagapan bangkit dari kursi dengan mulut masih setengah penuh dan sepotong kerupuk berada di tangan. Pemandangan yang cukup menggelikan, sehingga Aydin tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Secara pemandangan tersebut bukan berasal dari satu orang saja, melainkan hampir semua orang yang ada di area makan. Mereka semua secara riuh bangkit dari kursi masing-masing lantas menunduk sebagai tanda hormat, dengan tangan dan mulut yang masih penuh oleh makanan. "Duduk dan makan aja, nggak usah peduliin keberadaan saya." Semua pengawal itu mengangguk patuh, kembali ke kursi masing-masing. Mereka memang kembali melahap makanannya, namun postur tubuh mereka jadi duduk tegap sempurna. Jelas terlihat tidak nyaman, Aydin melirik Rana yang mengerti maksud dari tatapan itu. "Nggak usah kaku semua, Yang Mulia malah jadi nggak nyaman kalau kalian kaku gitu. Santai," ujarnya sembari terkekeh kecil menggiring sang Raja menuju meja panjang yang menyajikan beragam makanan. Ia mengoper piring kosong kepada Aydin yang mulai melirik makanan tersaji dengan pandangan lapar. Baru ingat bahwa ia memang belum makan sejak kemarin sore. "Loh kalian ngapain?" Aydin tersentak kala menyadari antrian di depannya sudah lenyap. Para pengawal yang sedang mengantri mengambil makanan sudah berjejer rapi berbaris di belakangnya. Lebih tepatnya di belakang Rana yang hanya bisa tertawa geli. "Nggak papa ambil aja, nggak usah peduliin saya." "Nggak papa, Yang Mulia duluan aja." Kuping Aydin terasa panas, matahari bahkan belum muncul sepenuhnya namun frekuensi ia mendengar panggilan 'Yang Mulia' mungkin lebih banyak dari saat dia memimpin rapat kabinet di pagi hari. Ia menghela napas, tak bisa protes akan panggilan itu sehingga dirinya memilih mengalah. Matanya melirik Rana yang sudah menyendokkan nasi ke piring. "Lo keliatan seneng banget ya?" "Ngingetin gue sama kejadian kita studi wisata pas kelas 10 tau." Rana tertawa, masih mengingat jelas kejadian sama pernah terjadi di masa sekolah mereka. Beberapa detik Aydin mengingat, sebelum dirinya ikut tertawa geli. Dulu sekali, ketika mereka duduk di kelas 10 sekolah mereka mengadakan studi wisata ke Jogja sampai Bali. Kalau tak salah mereka berpergian selama 6 hari 5 malam. Hari pertama dihabiskan di jalan, sehingga kebanyakan agenda makan dilakukan dalam perjalanan dan hanya disediakan nasi kotak. Lantas, besoknya pihak sekolah menyediakan sarapan dengan metode prasmanan. Aydin masih ingat, ketika dirinya mengambil piring kosong dan bergabung ke barisan. Semua orang yang ada di depannya langsung menyingkir, lebih tepatnya kembali berbaris secara berurutan dari belakangnya. Rana yang kebetulan berada tepat di belakang Aydin, terdiam cukup lama. Antara percaya tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi, sebelum akhirnya meledakkan tawa. Sukses membuat Aydin sedikit merasa jengkel dan tak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan hal tersebut. Sebab yang ada anak-anak itu merasa tak enak kalau Aydin memaksa mereka untuk tidak menganggapnya sebagai seorang pangeran. Aydin mengisi piringnya secepat mungkin, lantas secara sepihak menukar piring kosong salah seorang yang berada di barisan belakang dengan piringnya. Lantas meraih piring kosong lain, dan kembali mengantri dari belakang seraya berkata. "Kalau kalian nyingkir lagi, gue bakal tetep balik ke barisan paling belakang." Sebuah kalimat yang diucapkan dengan nada ceria namun sarat ancaman. Itu adalah kali terakhir murid sekolahnya memperlakukan Aydin sebagai seorang pangeran. Kembali ke masa sekarang, Aydin tidak pernah bisa berhenti terkesima akan porsi makan Rana. Piring gadis itu penuh akan berbagai lauk pauk, ditambah dirinya sudah melipir ke area makanan penutup. Meraih beberapa potong puding dan kue basah yang tersaji. Jelas porsi makan yang terlalu banyak jika dikategorikan sebagai sarapan. "Udah nggak makan berapa bulan, Bu?" Pertanyaan yang sarat akan sindiran itu, membuat Rana tertawa kecil. "Ah lo nggak usah pura-pura kaget deh. Lupa kalau gue emang perut karung?" "Inget kok." Aydin mencomot satu buah kerupuk dari piring Rana dengan santainya. Tak sadar bahwa tingkah keduanya sedari tadi diamati oleh para pengawal di area makan. Merasa aneh melihat maharaja mereka yang terkenal kaku bisa bersikap sedemikian santai di depan Rana. Selama ini mereka kira Rana hanya membual soal dia adalah sahabat sang maharaja, hanya karena mereka lulusan dari sekolah yang sama. Namun, melihat apa yang terjadi sepertinya Rana tidak berbohong. "Aydin." Nada suara Rana barusan terdengar begitu serius, hingga Aydin refleks memusatkan pandang pada sang puan. Sahabatnya di masa sekolah itu tersenyum kecil. "Gue akan selalu jadi teman lo kok. Jadi kalau lo capek dan bingung mau ngobrol sama siapa. Cari gue aja, atau telpon? Gue yakin lo punya akses ke data pribadi para pengawal." "Jangan bilang ini bentuk perasaan menyesal lo menghilang selama ini?" tebak Aydin bermaksud bercanda namun Rana tetap diam. Secara tersirat mengiyakan tebakan barusan. "Gue sedih Aydin." Rana meletakkan alat makannya di piring, lantas berbisik teramat pelan. Walau yakin sekali pengawal yang mengisi meja dengan jarak terdekat dari meja mereka tetap tak bisa mendengar pembicaraan mereka tanpa perlu Rana mengecilkan suara. "Sedih ya soalnya kerajaan ini jatuh ke tangan orang yang nggak kompeten-" "Gue sedih karena tau sejak awal lo nggak mau posisi ini. Sekarang, semua orang bergantung akan setiap keputusan yang lo ambil." Aydin terdiam, melirik Rana yang hanya tersenyum miris. "Sebagai seorang teman gue hanya bisa menawarkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah itu." TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD