PART 9 - SALAH SANGKA.

1159 Words
Freya hanya tahu Jamal tidak begitu kuat ketika mereka saling adu kekuatan dalam main tanco. Atau memang Jamal sering mengalah, karena jika Jamal menang Freya akan marah dua hari dua malam. Jadi, saat ini Freya cukup kewalahan ketika lelaki yang kini sudah ada di atas tubuhnya mulai memaksa. Freya sudah rebah di atas sofa, tapi masih berusaha melawan sekuat tenaga ketika wajah lelaki itu terus menggapai wajahnya. Jamal b******k, Jamal sialan! Lo benar-benar bosan hidup! Gue rebus lo hidup-hidup jamal! Masih dengan sumpah serapah, Freya mencoba melawan. Tidak akan ia biarkan ciuman pertamanya diambil lelaki mata keranjang dan sampah masyarakat ini. Ia tidak menduga baru semalam bekerja di tempat ini sudah bertemu dengan lelaki si wajah belang. Tahu gini, gue terima aja kerjaan jadi tukang cuci gosok. Ya Tuhan! Selamatkan hambamu yang masih suci dan orisinil ini. “Jangan sok jual mahal kamu, saya bisa berikan apapun yang kamu mau.” Masih dengan gigih lelaki itu terus berusaha mendekati wajah Freya. “Lepas, atau saya teriak.” “Teriaklah tidak akan ada yang mendengar kamu gadis nakal. Semakin nakal kamu semakin menarik. Freya sudah menangis di dalam hati ketika tenaganya hampir kalah. Ia menutup mata dan ingin berteriak sekencang-kencangnya, ketika pintu mendadak terbuka secara paksa. Freya dan lelaki yang tengah memaksanya ini sama terkejut. Mereka masih dengan posisi yang terlihat tidak baik bagi siapapun yang melihatnya. Kepala keduanya menoleh dengan cepat. Mata mereka melihat sesosok tubuh tinggi tegap masih dengan jas dan dasinya yang lengkap, menatap mereka berdua dengan amarah yang luar biasa. “b******k kalian!” Tubuh lelaki yang di atas Freya ditarik paksa. Pukulan demi pukulan dilayangkan. Freya menganga, hatinya bersorak. Bagus, mampus lo! Ya Tuhan, terima kasih, hamba selamat. Hingga tubuh lelaki kurang ajar itu jatuh mendekat ke tubuhnya. “Argggh.” Desisan kesakitan terdengar dari mulut lelaki itu yang kini telah mengeluarkan darah di sudut bibirnya. Freya beringsut menjauh. Syukurin. Mampus sekalian lo! Dasar lelaki gila! Lalu mata Freya bertemu dengan sepasang mata yang menjadi si tukang pukul. “Kamu wanita jalang, perusak rumah tangga orang!” Hah! Freya bingung. “Jadi kamu yang selama ini menjadi selingkuhan lelaki b******k ini!” Apa? Merasa dituduh, Freya langsung menyanggah. “Bu-bukan! Saya-“ “Arrggh.” Lelaki si pemarah tadi ditendang dari belakang dan jatuh menimpa tubuh Freya. Kali ini tak bisa dihindari, ciuman pertama sudah diambil paksa lelaki pemarah tadi. Pasalnya jatuhnya lelaki itu sangat amat menimpa tubuh Freya dan bibirnya mendarat sempurna di atas bibir Freya. Baik Freya dan lelaki itu sama-sama membola. Lalu dengan cepat Freya mendorong lelaki itu dengan teramat kencang, dan menendang balik hingga lelaki itu berteriak. “b******k! Kalian main kerubutan bisanya.” Lelaki itu menatap Freya dan lelaki satunya lagi. Sungguh, Freya semakin bingung. Kembali adu kekuatan terjadi di mata Freya. Dua lelaki itu sama saling memukul. Merasa ia sudah tidak berkepentingan, Freya memilih untuk pergi. Freya mencari Jeff. “Jeff, ada perkelahian di ruang VIP yang tadi aku antar.” “Apa?” Jeff menatap karyawan barunya yang terlihat ngos-ngosan. “Kok bisa?” “Mana gue tahu, mereka tiba-tiba berkelahi.” Jeff yang hendak menuju ruang yang Freya sebutkan, seketika langkahnya berhenti saat lengannya ditarik Freya. “Sebentar Jeff, gue berhenti aja dah. Gak cocok gue kerja di mari ya. Selepas ganti baju gue pulang.” Melihat Jeff yang berlalu pergi, secepat kilat Freya pergi ke ruang ganti. “Apes banget sih nasib gue hari ini! Ya ampun mana gak punya duit, mana punya cicilan lipstik.” “Arrggggh!” Freya menjerit dalam ruangan yang sunyi itu. “Bibir gue dah gak perawan!” Sesaat dia tersadar. “Hadeh, gue harus cepat pergi dari sini.” Tak menunggu lama, segera Freya keluar dari klub dan menyetop taxi. Hanya satu tujuannya sekarang, rumah Jamal! Satu jam sebelumnya. Ruangan meeting selebar enam kali enam meter persegi itu masih terisi beberapa petinggi perusahaan yang masih sibuk meeting untuk proyek terbaru. Suasana serius tampak mendominasi hingga. “Kakak!” Teriakan di depan pintu membuat semua mata menoleh ke sana. Reifan yang tengah memimpin meeting menghentikan suaranya, demi melihat adik tercinta muncul, seperti biasa, sesuka hati. “Maaf saya tinggal sebentar.” Masih dengan sikap hormat, Reifan bangkit menuju sang adik yang sudah bersimbah air mata. “Kak Rei, Edwin pergi lagi.” Isakan sedih terdengar bersamaan pelukan yang membuat amarah Reifan naik. “Kita ke ruangan kakak saja.” Masih dengan isakan tangis, wanita yang bernama Marsha Gerald Delvaro, adik satu-satunya dari Reifan Gerald Delvaro mengikuti langkah kaki sang kakak menuju ruang kantor. Reifan memberikan tisu pada sang adik. “Kalian bertengkar lagi?” tanya Reifan kesal. Rumah tangga selalu saja ribut. Besok akur lalu ribut lagi. Marsha mengangguk. Sejak dulu Reifan tidak menyukai Edwin. Pasalnya lelaki itu hanya modal wajah tampan saja dengan memikat hati sang adik. Setelah menikah Edwin menjadi kurang ajar. Ia sudah meminta Marsha bercerai, tapi sang adik sangat amat mencintai suaminya hingga kini hamil lima bulan. Edwin bukannya sadar justru semakin keterlaluan. “Masalah apalagi sekarang?” Geram sudah Reifan jadinya. “Dia janjian sama cewek barunya di club Pixel, Kak. Katanya mereka mau lanjut ke hotel dan ....” Tangis itu pecah. Brengsek!! Reifan jelas paham kemana arah pembicaraan Marsha. “Biar kakak yang urus suamimu, Marsha.” Reifan memeluk adiknya agar tangisan itu berakhir. “Tapi kakak janji jangan buat ayah anak aku babak belur kayak kemarin. Aku gak tega.” Dengan kesal Reifan menyugar rambutnya. Memang ia pernah menghajar Edwin ketika adiknya itu kasar pada adiknya. Tapi Marsha justru membela suaminya. “Sampai kapan begini Sha?” keluh Reifan kesal. “Sampai anak aku lahir kak. Aku rasa ini bawaan anak.” “Ya ampun Marsha. Anak kamu gak salah, emang bapaknya yang gila!” “Kakak, dia suami aku,” rengek Marsha. “Oke! Kakak ingin kamu pulang sekarang ke rumah. Kamu harus istirahat, kasihan bayimu, kamu harus menjaga calon keponakan kakak dengan baik, sebelum ia keluar.” Marsha mengangguk sambil mengusap pipinya yang basah. “Iya kakak. Terima kasih.” Kembali Marsha memeluk Reifan sebelum pergi bersama supir. Ketika melihat mobil adiknya pergi, Reifan segera menelpon sekretarisnya yang masih meeting. “Meti, kamu terus meeting, dan jangan lupa laporkan pada saya hasilnya. Saya ada urusan sebentar.” “Baik Pak.” Terdengar balasan dari sekretarisnya. Reifan bergegas menelpon pengawalnya. “Kalian ikuti aku dari belakang, tapi jangan ikut campur.” Setelah itu ia langsung masuk ke dalam mobilnya, menuju klub Pixel. Reifan menatap wajah lelaki yang sudah ia hajar dengan tangannya sendiri. Sayang si wanitanya keburu kabur. “Kau hajar aku sampai mati pun, aku tidak akan mau kembali pada adikmu! Aku tidak pernah mencintai adikmu!” Edwin menatap garang pada Reifan. “b******k kau!” “Bos sudah, nanti dia mati, adik bos jadi janda.” Lengan Reifan ditahan pengawalnya. Dengan kesal, Reifan menghempaskan lengan pengawalnya. “Dengar Edwin! Aku tidak akan membiarkan kau menyakiti adikku. Aku akan cari wanita tadi dan akan aku hancurkan bersamamu sekalian. Camkan itu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD