PART 2 - IDE LICIK REIFAN 

1146 Words
Sudah hampir seperempat abad usia Freya, tapi baru kali ini ada yang mengatakan dia cantik. Lewatkan saja Mak Sanah, maknya Jamal. Itu gak masuk itungan. Tapi ketika lelaki yang memang harus Freya akui tampan dan kharismatik ini mengatakan dia cantik, boleh gak sih Freya bangga? Minimal tersenyum gitu? Sayangnya, saat ini ucapan cantik itu ibarat silet yang bisa saja mengiris nadinya dalam sekejap mata. Alih-alih dia tersipu malu dengan pipi merona, Freya justru meringis ngilu. Pasalnya lelaki yang kini ditatap penuh pemujaan oleh para wanita di seputar Freya, masih memfokuskan pandangan ke arah Freya dari balik kaca mata hitamnya. Telinga Freya masih awas , ketika mendengar bisik-bisik temannya yang ternyata sudah ada yang berdiri di belakang. "Gila, gantengnya." "Calon laki idaman banget ya ampun." "Mirip artis ya." "Ini sih kelihatan banget cowok tajir." Stop! Freya menulikan telinganya, demi memfokuskan mata pada lelaki yang sialannya masih memberikan senyum manis. Hati Freya meleleh oleh senyumnya, tapi sayang senyum itu bukan senyum yang ditujukan tulus dari hati. Itu senyum penuh ancaman. "Be-belanjaanya ini saja?" Susah payah Freya menelan salivanya dengan kesat. Mimpi apa sih gue semalam ketemu ini orang. Astaga! Padahal kan udah sebulan lebih kejadiannya, jangan bilang dia masih inget sama gue, seperti gue yang selalu inget sama dia. Hadeh Yaya, cari mati ini sih. Tiba-tiba mata Freya yang awalnya menatap ke arah lensa hitam itu, turun ke bawa hidung. Tepatnya bibir hitam dan tebal, dimana pada bagian atasnya ditumbuhi kumis tipis. "Hmmmm." Reifan berdehem. Ia tahu kemana arah pandang Freya. Dan Freya terasa terciduk. Ya salam! Dia ketahuan liatin bibir sexy itu. Bibir yang sudah- ah, Freya kali ini merona beneran! "Semuanya seratus enam puluh ribu." Seolah tak mempedulikan lelaki di sampingnya, Freya memasukkan dua kotak s**u bubuk ukuran besar itu ke dalam plastik. Ia melirik sebentar ke arah plastik. Baru sadar apa yang sudah masuk ke dalam bungkusan itu. Susu hamil? Bininya hamil gitu? Eh bentar, udah punya bini dong? Duh sayang, mesti gue coret dari daftar laki impian. Masih menatap Freya dengan tajam, dan sama sekali tak berniat melepas kaca mata hitamnya, Reifan mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. Mata Freya menatap ke arah lembaran uang. Tangannya meraih uang itu, tapi sepersekian detik ia termangu. Pasalnya, tangannya yang sudah mendarat di atas uang, tiba-tiba di timpa telapak tangan yang sangat kuat dan tak memberinya kesempatan untuk bergerak. Wajah Freya yang semula menatap ke arah layar computer langsung menoleh lagi ke arah Reifan. Kembali ia meneguk ludah dengan susah payah. "Mau bayar gak?" Suara Freya lebih seperti cicitan. "Masih ingat sama aku kan?" desis Reifan. Sesaat ia memaki dalam hati, ketika pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya. Kesannya ia memang mengingat wanita ini dan kini mengingatkan wanita ini agar ingat pada dirinya. "Maaf, siapa ya?" Mata Freya mengerjap dan bibirnya sontak menampilkan senyum ramah. Ini lebih baik kayaknya kalau Freya pura-pura lupa. Wajah Reifan yang semula tersenyum mendadak kecut. "Ini si Masnya mau bayar apa ngutang?" Ia menggigit bibirnya. Kok bisa nawarin ngutang? Emang bisa di sini ngutang? Gak kan? Kembali pertanyaan Freya membuat Reifan mendadak mengangkat telapak tangannya. Sembarang, masa aku ngutang! Aduh, selamat deh gue! Freya bernapas lega. Sepertinya ia aman. Bisa jadi lelaki ini sudah merasa ia salah lihat. Freya memberikan kembalian empat puluh ribu. Dan ia sama sekali tidak menatap wajah di depannya. Berpura-pura tidak mengenal, sepertinya lebih baik. Padahal hati sudah ketar-ketir. "Terima kasih sudah belanja di tempat kami. Ditunggu kedatangannya kembali." Sapaan yang biasa diberikan para pelayan SUN Supermarket pada para pelanggan. "Aku tunggu di depan," bisik Reifan dengan penuh minat. Freya menoleh cepat ke arah Reifan. Melihat bagaimana senyum lelaki itu padanya. Mata Freya hampir lepas, beserta jantungnya sekalian. Ya Tuhan, dia nunggu di depan? Mau ngapain? Dia gak jatuh cinta kan sama gue? Dan benar saja, ketika sudah mengambil barang belanjaannya, lelaki yang sama sekali tidak Freya ketahui namanya, kini berdiri di dinding pas pintu keluar. Beneran dia nungguin gue? Terus nasib gue gimana dong. Sementara Reifan. Ia tak akan melepaskan salah satu buruannya begitu saja. Ia akan menunggu wanita itu keluar dari sana, hingga jam kerjanya usai. Tapi daripada ia salah, sebaiknya ia bertanya dulu pada satpam penjaga di depan toko. "Permisi pak, mau tanya. Kalau karyawan supermarket ini pulang jam berapa ya?" Satpam penjaga menoleh dan tersenyum. "Biasa sih ada dua shift Pak. Shift pagi jam delapan sampai jam tiga. Shift ke dua jam tiga sampai sampai jam sepuluh malam." "Oh begitu." Reifan mengangguk. Kembali melirik jam di lengannya. "Ada waktu setengah jam lagi berarti shift pertama usai." Satpam itu kini memfokuskan pandangan pada lelaki tampan di depannya. Pasalnya ia baru kali ini melihat lelaki ini ada di gedungnya. Biasa ia tidak pernah memperhatikan siapapun yang masuk karena pengunjung supermarket ini banyak sekali. Tapi karena lelaki itu bertanya dan terlihat seperti sedang menunggu seseorang, jadilah ia penasaran. "Maaf kalau boleh tahu, memangnya bapak ini sedang menunggu siapa ya?" Reifan tersenyum ramah. "Saya sedang menunggu wanita yang ada di kasir nomer lima." Pak Satpam itu menoleh ke arah yang ditunjuk Reifan. Dan seketika ia tersenyum. "Oh menunggu Freya?" Reifan mengerjap. Freya, aku harus mengingat namanya. Ia nyaris melupakan nama itu, untung Pak Satpam ini mengingatkan. Ia tak mudah mengingat nama seseorang. Ia lebih mudah mengingat wajah, dari pada nama. Itu sebabnya walau kejadian di antara dia dan gadis itu sudah lewat sebulan yang lalu, ia masih mengingat dengan jelas. Bagaimana bisa ia lupa, terakhir mereka bertemu dengan posisi yang teramat sangat memalukan. "Ya, saya menunggu Freya." Kembali Reifan menjawab. "Memang siapanya Freya? Perasaan yang biasa jemput Freya itu yang biasa pake baju kaya tukang bengkel." "Tukang bengkel?" Kepala Reifan mengingat lagi. Berarti benar dia gak salah alamat. Bengkel yang pernah ia hancurkan memang milik teman gadis ini. "Kalau saya tanya sama Freya, katanya yang kang bengkel itu temannya." Pak Satpam itu terkekeh geli. "Tadinya saya pikir itu pacarnya, cuma neng Freya gak mau ngaku karena terkadang dia diantar pake motor odong-odong." "Abis setiap saya tanya, neng Freya selalu bilang tukang ojek. Kalau tukang ojek terkadang mereka suka bercanda berdua pas turun dari motor." "Oh gitu." Reifan angguk-angguk. "Memang sih neng Freya itu orangnya lucu, ngomongnya ceplas-ceplos. Tapi aslinya dia baik kok. Sama siapa saja ramah. Yah, walau mulutnya kadang pedas kaya seblak level sepuluh." "Apa itu seblak?" Reifan mengernyit heran. Pak Satpam melipat kening. "Seblak ya seblak. Memang Bapak gak tahu seblak apaan?" Dengan polos Reifan menggeleng. Mungkin seumur hidup baru kali ini Satpam yang bernama Juki itu bertemu orang yang gak tahu apa itu seblak. Jika kata seblak merupakan kata yang aneh bagi Reifan, maka Reifan merupakan orang yang aneh bagi Juki. Jadilah ia memfokuskan pandangan pada lelaki tampan di depannya ini yang masih mengenakan kaca mata hitamnya di atas hidungnya yang mencuat mancung. "Kalau boleh saya tahu, bapak ini siapanya Freya ya?" Reifan mengerjap. Dan tanpa banyak bicara ia menjawab. "Saya calon suaminya Freya." Demi apa, kini dia bahkan mengakui wanita itu sebagai calon istrinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD