bc

Sheina & Nafran

book_age16+
9
FOLLOW
1K
READ
others
love-triangle
possessive
fated
mate
betrayal
friendship
school
like
intro-logo
Blurb

Diputuskan hanya karena titah orangtua dengan alasan ‘fisik’ membuat Sheina membangun tembok yang tinggi dan menutup rapat pintu hatinya namun ketika Nafran--tetangga barunya--terus mengetuk pintu hatinya yang perlahan-lahan sedikit terbuka dan jujur saja, membuat Sheina nyaman. Sheina mulai bingung dengan perasaannya. Ditambah, teman dekatnya yang ternyata mantan Nafran--masih sering mampir ke rumah cowok itu.

Duh, Sheina galau. Mau menutup hatinya kembali atau membiarkan Nafran menyusup masuk? Lalu bagaimana dengan teman dekatnya--Anne? Apakah persahabat mereka masih ‘baik-baik saja' ketika mengetahui mengenai Sheina & Nafran?

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Sheina
You made me insecure Told me I wasn’t good enough —Who Says , Selena Gomez—   Don't judge a book by its cover. Rasanya aku ingin membunuh siapa pun yang pertama kali mengucapkan kalimat racun itu. Kalimat itu hanya lah kalimat empati untuk gadis-bertampang-jelek-alias-pas-pasan. Tidak pantas sama sekali untuk diterapkan dalam hidup--dalam kasus ini, ya tentu saja hidupku! Aku masih ingat--dengan teramat jelas--tragedi menyedihkan itu.   Tadi malam...   "Putus?" "Iya, orang tuaku yang menyuruhku," Aku terdiam, Oliver, yang sudah lima bulan ini jadi pacarku, juga terdiam. Sungguh, aku tidak tahu apa penyebabnya. Tadi sore kami masih baik-baik saja. Tidak ada bibit pertengkaran. Dengan menarik napas sambil menyelipkan sejumput rambut ikalku ke belakang telinga, aku memecahkan keheningan di saluran telepon itu. "Apa yang menyebabkan orang tuamu menyuruh kita untuk putus?" Aku bertanya dengan sangat berat, entah kenapa aku takut untuk mendengar jawabannya. Apa alasannya menyakitkan? Tanpa berhadapan dengannya, aku tahu ia sedang memikirkan apa aku benar-benar bisa menerima alasannya. Jawaban tak kunjung datang, aku mulai gelisah. "Ayolah, Oliver. Beritahu aku," desakku dengan amat memohon. Rasa penasaranku memang tidak bisa dibendung lagi. Oliver menarik napas dalam-dalam, "Mereka melihat fisikmu, Sheina." Aku diam, rasanya napasku tercekat. Jadi... ini semua bermuara pada satu titik? "Kata mereka aku harus cari pacar yang cantik. Maafkan aku." Setelah itu tak ada yang menanggapi permintaan maafnya, hanya nada sambungan telepon yang terputus yang menjawabnya. *** Aku tidak ingin menjadi seseorang yang munafik dengan mengatakan aku tidak apa-apa. Aku benar-benar sedih. Seharian ini aku duduk melamun di balkon kamar. Menyedihkan memang. Tapi siapa yang bisa menyalahkan aku jadi begini, jika alasan putusnya hubungan kami sangat... konyol sekaligus menyakitkan? Angin siang itu membuatku sedikit kedinginan. Langit pun mendung, sepertinya akan hujan. Angin yang makin kencang membuatku masuk ke dalam kamar melalui pintu kaca yang menghubungkan kamarku dan balkon lalu menutup tirainya. Apa aku sejelek itu hingga orang tuanya tidak mau aku berhubungan dengan Oliver? Kalau aku boleh dan bisa memilih bagaimana fisikku, aku mungkin tidak akan memilih untuk seperti ini jika aku harus melewati kejadian ini. Pikiran itu membuatku kesal. Dan saat hujan turun, setetes cairan bening ikut turun dari pelupuk mataku. *** "Apa yang membuat kamu berubah pikiran, Sheina? Kemarin kamu masih nolak keputusan Mama." Aku tahu Mama sangat heran akan perubahan sikapku ini. Yang tadinya aku menolak keputusannya untuk pindah--lagi--sekarang aku malah mengajukan diri kepadanya agar kami jadi pindah. Tatapan Mama tajam, ia sedang menyelidikiku lewat bahasa tubuhku. Ciri khas Mama. "Kamu yakin mau pindah? Kita baru delapan bulan tinggal di sini..." Aku langsung mengeluarkan argumentasiku, "Kita kan selalu begitu, Ma. Bisa dihitung dengan jari berapa kali kita tinggal di suatu tempat dalam waktu satu tahun atau lebih," "Lusa kita berangkat ke rumah baru kita. Sore ini mulai bereskan barang-barangmu. Mama mau kembali ke hotel," ujar Mama sambil berdiri dari duduknya dan beranjak mencium keningku. Mama akan kembali ke hotel tempat ia bekerja. Tepatnya hotel yang ia pimpin. Mama memang direktur utama hotel Brillian yang menurut teman-temanku adalah hotel semewah Hilton. Tapi bagiku itu hal yang biasa saja. Hotel itu adalah hotel yang Mama dan Papa rintis dari nol bersama-sama. Hujan sudah reda. Derum halus mobil Mama yang meninggalkan garasi terdengar samar-samar olehku yang masih duduk di ruang tengah. Apa keputusanku tepat? *** Besok pagi aku akan pindah. Rumah baru, lingkungan baru, sekolah baru dan teman-teman baru. Hhh… Aku meyakinkan diriku sendiri yang mulai gelisah. Pasti tak akan berbeda dengan kepindahanku sebelumnya. Sebelumnya aku memang terlalu sering pindah. Entah itu karena Mama membuka cabang hotelnya di daerah lain, Mama bosan dan ingin tinggal di lingkungan yang baru, atau alasan-alasan lainnya yang aku lupa karena terlalu sering pindah. Entahlah. Karena hal itu, aku jadi tidak punya teman yang terlalu dekat. Apalagi sahabat. Di saat aku sudah mulai bisa akrab dengan seseorang atau nyaman dengan lingkunganku, Mama mengajakku untuk pindah. Aku tak tahu kenapa Mama bisa seperti itu. Tapi, selama tinggal di lingkungan yang baik, aku tidak masalah. Keuntungan kepindahan kali ini lumayan—setidaknya aku pindah karena akhirnya aku yang mengajak Mama, ya walaupun atas alasan terselubung—cukup banyak. Kepindahanku kali ini dilaksanakan saat libur sekolah, ya saat aku ada di lingkungan baruku, aku akan di sekolah baruku saat aku ada di tahun pelajaran baru. Mama memang sudah mengurus semua. Barang-barang kami sudah siap dikirimkan sore ini dan langsung ditata oleh dua pembantu kami. Ah ya, aku jadi ingat satu hal. Oliver. Sejak pembicaraan terakhir kami di telepon, dia berusaha menghubungiku dengan SMS, telepon dan mencoba menemuiku langsung. Namun aku bilang pada satpam rumahku agar ia mengatakan bahwa aku sedang pergi. Setelah itu, ia tidak menghubungiku lagi. Mungkin dia lelah. Ah, masa bodoh! Aku bangkit dari posisi telungkup ku di atas kasur. Sekarang yang tersisa di kamarku hanyalah meja rias yang nyaris kosong, lemari yang yang menyisakan pakaianku yang cukup sampai besok kami ke rumah baru kami, dan ranjang ini. Aku melangkah menuju kaca meja rias, memerhatikan wajahku. Iya, aku memang tidak cantik. Kulitku tidak putih dan rambutku tidak lurus panjang seperti model-model cantik di iklan—begitu kan stereotip orang-orang terhadap makna kata “cantik”?—mataku jika mengenakan kacamata terlihat normal, tetapi ketika aku melepasnya, orang-orang yang terbiasa melihatku mengenakan kacamata akan berkata “Kau aneh,” lalu menyuruhku memakai kembali kacamataku, mataku terlihat sipit saat tidak mengenakan kacamata, hidungku juga tidak mancung. Aku tidak mewarisi penampilan Mama yang cantik, aku dan Mama tidak bagai pinang dibelah dua. Terkadang aku berharap aku mempunyai penampilan cantik seperti Mama. Mama yang punya wajah tirus yang cantik, bermata tegas, kulitnya putih dan hidungnya bangir. Tapi, kalau tahu aku tidak cantik, kenapa Oliver mau punya pacar seperti aku? Karena kamu baik hati. Begitu alasannya ketika dulu aku menanyakan apa yang membuat dia jatuh cinta kepadaku. Jangan tanyakan aku tentang Oliver. Aku dan dia bagaikan pasangan The beauty and the beast. Tapi tentu saja dalam cerita kami ini, judul itu berubah menjadi The handsome and the beast. Ya, dia tipikal idola sekolah, tampan, murah senyum, punya tubuh atletis berkat latihan sepak bolanya sejak SD sampai kelas satu SMA ini. Aku masih ingat dengan jelas saat dia menembakku—entah kenapa hatiku nyeri saat mengingat kejadian ini, huh—saat itu aku baru tiga bulanan pindah dan aku memang sudah mengenal dia. Karena di kelas, aku mendapat kursi di belakangnya dan dia adalah orang pertama yang mengajakku berkenalan di kelas. Ia datang ke rumahku jam tujuh malam dan membawa tujuh tangkai mawar merah yang masih segar. Ia sangat tampan saat itu—namun aku tak terlalu memusingkan penampilan—aku juga jatuh cinta padanya karena ia baik. Ia tidak memandang aku anak baru atau bukan saat itu. Namun semua itu telah berakhir. Saat waktu itu aku tak sengaja bertemu dengan orang tuanya—sekitar seminggu yang lalu—terlihat jelas aura ketidaksukaan mereka denganku. Saat itu adalah hari pembagian rapor kami. Aku tidak sengaja diperkenalkan Oliver. Karena kami memang tidak berencana seperti itu. Aku hanya mencium tangan mereka layaknya aku mencium tangan orang tua teman-temanku yang lain. Orang tua teman-temanku ramah kepadaku, hanya orang tua Oliver yang tidak. Ah, sudahlah. Aku harus bisa move on. Tapi kata-kata Oliver saat it uterus berdengung di pikiranku. Mereka melihat fisikmu, Sheina. Rasanya aku ingin teriak sekeras-kerasnya. ***  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.6K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.4K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.2K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
54.7K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook