prolog

1321 Words
Jam tangan menunjukkan pukul lima sore. Olivia berdiri risih menunggu kedatangan bis Transjakarta bersama para calon penumpang lainnya. Beberapa saat yang lalu, abangnya sudah menelpon. Menanyakan di mana keberadaannya karena pulang terlambat tanpa izin terlebih dahulu. Tunggu saja saat dia tiba di rumah nanti. Pasti Bunda akan meluncurkan omelan luar biasa dahsyat dan lebih heboh daripada gosip penyanyi dangdut transgender yang menggemparkan tanah air. Memikirkan hal tersebut justru membuat Olivia jadi merinding minta ampun. Sambil memegangi perutnya yang agak ngilu, Olivia setia berdiri di samping ibu-ibu yang katanya sedang menuju ke Semanggi. Masih di halte Blok M yang penuh akan pengunjung, cewek itu sesekali berbasa-basi dengan si ibu. Olivia memang cewek yang agak ajaib. Seumur-umur hidup di Jakarta, baru kali ini dia naik transportasi umum fasilitas pemerintah tersebut sendirian. Ya, Olivia tidak pernah naik Transjakarta sendirian. Mengapa? Karena dia tidak pernah mengerti dan hapal dengan rute-rute yang ada. Maklum, anak bungsu yang manja. Lagian, dia juga malas menghapal berbagai rute tersebut. Biasanya kan ada abangnya yang disuruh Bunda untuk mengantarkan Olivia ke mana-mana. Hehe. "Kamu kenapa, Dek?" tanya si ibu berbadan gempal yang menjadi teman ngobrol Olivia. Cewek dengan seragam putih abu-abu itu menggeleng lemah. "Nggak pa-pa, Bu. Perut saya rasanya agak nyut-nyutan," jawabnya. "Oalaaah... Adek mau buang air? Itu bis kita udah datang lho!" kata si ibu sembar menunjuk ke arah berlawanan. Olivia menggeleng cepat. "Saya bukannya mau ke toilet, Bu. Cuma perut saya aja yang kayaknya lagi aneh." "Kamu mual? Ada obat maag, nggak?" Olivia sekali lagi menggeleng. "Nggak punya, Bu." Bis tiba. Si ibu bertubuh gempal yang agak khawatir dengan kondisi Olivia pun cepat-cepat menarik cewek itu untuk menaiki bis. Beruntung, mereka mendapatkan kursi untuk duduk. Setidaknya mereka dapat mengirit tenaga agar bisa jalan kaki dari Polda Metro Jaya ke Semanggi nanti. "Masih sakit perutnya, Dek?" tanya si ibu lagi. Dia menyodorkan sebotol minyak kayu putih ukuran kecil pada cewek itu. Olivia menjawabnya dengan anggukan lemah. "Iya, Bu. Tapi nggak sengilu tadi sih," katanya. "Kamu sanggup jalan, nggak? Nanti kamu perlu transit di sana. Jalannya agak jauh lho." Waduh! "Insya Allah sanggup kok, Bu," jawab Olivia seadanya. Sanggup, memang sanggup. Jalan lebih dari setengah kilometer, menyeberang dari Polda Metro Jaya ke Semanggi melalui jembatan jalur khusus bagi pengguna fasilitas Transjakarta memang benar-benar menguras tenaga. Cewek itu sudah berpisah dengan si ibu di depan tangga menuju Plaza Semanggi. Dengan tenaga yang tersisa, akhirnya Olivia berhasil berdiri bersama beberapa calon penumpang lainnya di halte. Ngos-ngosan. Kondisi badan kurang fit yang semakin membuatnya serba salah. Gundah dan gelisah tanpa alasan. Perasaan tadi pas di acara makan-makannya Kevin, Olivia nggak makan banyak deh... Kok bisa sakit perut begini ya? Tapi yang dia rasakan sekarang tuh emang beda banget! Sakitnya itu loh... Bukan mules pengin buang air, tapi ini sakitnya udah kayak... mampusss!!! Lambat laun, Olivia mulai sadar kala merasakan pilu di sepanjang pinggang hingga b****g. Wah, ini sih namanya lagi kena gejala ngilu saat menstruasi! Yang benar saja!! Olivia cuma bisa merutuki dirinya sendiri. Mengapa tidak terpikir olehnya kalau dia dalam masa memasuki kedatangan tamu? Apalagi sekarang dia sedang dalam kondisi yang sulit dan tidak menguntungkan jika pergi menjauh begitu saja. Cewek manis itu sudah berada di halte dan sebentar lagi bis tujuan ke Pinang Ranti akan segera tiba. Dan dia berdiri di posisi yang sangat tepat untuk mendapatkan kursi dengan cepat. Pintu bis terbuka tepat di depan matanya. Cewek itu sempat hampir terdorong arus penumpang yang menjejal masuk. Ugh! Rasanya komplit sekali penderitaan Olivia hari ini. Kalau saja Kevin tak memaksanya untuk ikut, dia pasti sedang bersantai-ria di rumah sambil nyemil pisang molen yang dibeli abangnya di warung jajannya Teteh Ani. Nggak bakalan menahan nyeri pramenstruasi. Apalagi sampai menghirup aroma bau badan yang tak sedap dari berbagai penjuru sambil berdesak-desakan begini! Olivia mengambil tempat duduk lumayan strategis. Memang dekat dengan pintu keluar dan masuk, namun harus menghadapi orang-orang yang berdiri sambil berpegangan agar tubuh tetap seimbang. Cewek itu dapat menghela napas lega meski udara yang dihirup jauh dari kata sejuk. Bis mulai bergerak. Meninggalkan halte melalui jalur khusus yang semestinya jauh dari hambatan. Dan semakin jauh bis yang dia tumpangi tersebut melaju, semakin gelisah pula perasaannya. Ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Olivia tahu benar apa yang sedang terjadi. Bibir tipisnya tak berhenti bergumam, "Plis, plis, plis! Jangan sekarang, plis!" Namun sistem kerja tubuhnya tak berkompromi. Hal ini membuat Olivia pengin nangis saja. Yang bisa cewek itu lakukan cuma meringis dengan tangan yang tak berhenti meremas-remas tas ransel di pangkuannya. Apalagi saat dia merasakan sesuatu mengalir lemah pada kaki kirinya. "Duuh..." lirih Olivia frustasi. Cewek itu cepat-cepat mengambil beberapa lembar tisu dari dalam tas. Kemudian matanya melirik untuk memastikan bahwa tak ada seorang pun yang melihatnya. Diam-diam, Olivia menempelkan tisu ke bagian bawah lutut kirinya. Kedua matanya melotot seketika saat melihat bercak merah yang mengotori tisunya tadi. Ugh! Dia benar-benar haid. Like—oh my gooosh!! This is freaking horrible. Terrible nightmare!! Bayangkan saja, kamu sedang berada dalam transportasi umum yang kondisinya sangat teramat ramai. Bahkan kamu yang sedang duduk saja sudah hampir terhimpit para penumpang lain yang berdiri. Tubuh pegal dan terasa hampir remuk karena gejala pra-menstruasi mendadak. Lalu saat kamu duduk dengan tenang, tiba-tiba kamu merasakan kehadiran tamu yang tak terduga. Yang pastinya akan membuat bercak merah pada rok abu-abu kamu! Sialnya, kamu tidak membawa jaket untuk menutupi bokongmu nanti. Dan tas yang kamu bawa adalah ransel, tidak membantu sama sekali. Bagaimana rasa malu yang akan diemban? ke mana Oliv akan menyembunyikan wajahnya padahal dia masih harus naik angkot atau mencari tukang ojek ke rumah selepas dari terminal di Pinang Ranti yang menjadi tujuan akhir nanti? Apa yang harus dia—OH!! Olivia melotot seketika saat melihat dan merasakan cairan berwarna pink dengan lembut menyembur kaki dan sebagian roknya. Shiiittttt!! What a freaking shitty day for her!! Baru saja dia sadar kalau roknya kebanjiran darah, sekarang dia dihujani oleh sekotak s**u dari penumpang yang berdiri di depannya. "Sori, sori, sori! Maaf, gua nggak sengaja!" Cewek itu sudah menggeram dan hampir meledak saat beberapa kepala mulai bergerak untuk memperhatikannya. Dia mati kutu. Mampus! Elu kok s**l banget sih, Liv?! Bibir Olivia sudah terbuka dan bersiap untuk menyemprot cowok k*****t yang kini berada di hadapannya. Akan tetapi, mulutnya langsung bungkam saat sebuah jaket berbahan denim jatuh di permukaan pahanya. Membungkus hampir sepanjang kaki kurusnya yang jauh dari kata jenjang itu. Termasuk sebagian tas ransel yang dipangkunya. Olivia lantas mendongak dan menatap cowok jangkung yang tadi menyiram kakinya dengan s**u stroberi itu. "Eh, ini jaket—" "Sori banget! Gua nggak maksud nyenggol tangan lu sampai bikin tumpah minumannya. Maafin ya?" potong cowok itu cepat. Matanya menatap tajam, seolah memberi isyarat dan pengaruh agar Olivia bersikap kooperatif. Ya Tuhan... Jangan bilang kalau cowok ini lihat semuanya! Olivia yakin benar, tadi nggak ada yang berdiri tepat di depan dia kayak begini. Tapi kok tiba-tiba... dia bisa... jangan bilang kalau... Ugh! Malu bangeeetttt!! Wajah Olivia memerah seketika. Cowok itu tersenyum simpul saat melihat Olivia yang menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Jaketnya gimana?" tanya Olivia pelan. Tengsin abis! Cowok itu menggeleng santai. "Udah, pake aja. Nggak pa-pa." Olivia cuma bisa senyum sambil menunduk. Bibirnya mengucapkan terima kasih. Tidak berani untuk mendongak, apalagi menatap cowok tersebut. Malunya nggak ketolongan! Bis tiba-tiba berhenti. Tak disangka sudah tiba di halte Garuda Taman Mini. Olivia kelimpungan. Cowok tadi bergerak menjauh dari tempatnya berdiri dan turun dari bis. Membuat Olivia kebingungan setengah mati. "Waduh! Ini jaketnya gimana?! Eh, eh!!" Cowok itu memamerkan sebuah senyum lebar sembari melambaikan tangannya pada Olivia. Kakinya terus bergerak membawanya semakin menjauh. Beriringan dengan bis yang kembali bergerak menuju tujuan akhir. Dari jendela bis, punggung lebar cowok berkaos putih polos dengan tas ransel menggantung di bahu kanannya itu pun tenggelam oleh pengguna jalan sekitar Tamini Square. Menyisakan Olivia yang termangu dengan jaket denim menyelimuti kaki serta sekotak s**u stroberi yang bukan miliknya. Sebuah senyum mengembang begitu saja. Ah, terima kasih untuk cowok ganteng yang sangat... umm... gentleman tadi. Terima kasih juga karena sudah bikin Olivia baper tingkat provinsi. Cieeeee!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD