dunia baru dan kenangan lama

3386 Words
Make up? Cantik. Rambut? Cakep. Dandanan? Oke. Dompet? Hape? Siap. Tas? Jangan ditanya. Ah, tinggal minta izin Bunda sebentar, Olivia bisa langsung berangkat! Dengan sebuah senyum semanis kembang gula, Olivia keluar dari kamar dengan sepasang kaos kaki berwarna biru muda di tangan. "Bundaaa..." panggilnya ceria. Kakinya melangkah menurut insting menuju dapur. Mendapati Sang Ibu yang sedang sibuk dengan adonan roti maryam kesukaan ayahnya. "Mau ke mana lagi kamu, Liv?" tanya Bunda tanpa menyumbangkan lirikan secuilpun. Tangan kanannya sibuk mengaduk adonan, sedangkan tangan kirinya sibuk menyentuh layar ponsel. Biasa, ibu-ibu zaman now! Ogah ketinggalan berita di grup gosipnya! "Oliv mau jalan sebentar, Bun. Boleh ya? Hehe." Bunda menghentikan aktivitas super sibuknya. Beliau mengamati dandanan Olivia yang jauh dari kata simpel. Tumben. "Jalan sama siapa kamu? Kenapa pakai baju kayak gitu? Ngapain itu celananya dipotong-porong pendek begitu?" Otomatis Olivia menunduk, mengikuti ke mana Bunda menunjukkan jarinya. "Bun, ini tuh namanya cropped jeans! Lagi ngetrend sekarang, Bun. Bukannya Olivia yang sengaja potong, tapi emang bentuknya begini." "Celana nanggung gitu malah dibeli—" Omelan Bunda segera dipotong dengan sebuah klarifikasi. "Oliv nggak beli kok! Orang ini dikasih sama Kak Bella! Huuw!" Bunda mendengus. "Nggak mungkin dikasih. Pasti kamu ambil-ambil sembarangan lagi, 'kan? Ngaku kamu!" "Ih! Bunda..." rajuk Olivia dengan bibir dimanyunkan. "Udah ah, Oliv berangkat dulu ya, Bun." Cewek itu menyodorkan tangannya. Biasa, cium tangan dulu. "Tangan Bunda kotor nih, sun aja sini!" Bunda menyodorkan pipi kanannya pada Olivia dan langsung dihadiahi sebuah ciuman manis di sana. "Berangkat sama siapa?" "Sama Kak Bella. Janjian di PGC, Bun. Ini Oliv mau pesan ojol dulu, Bun," sahut Olivia sembari memainkan ponselnya. "Ojol, ojol apa lagi sih?!" "Ojek online, Bundaku sayang... Ih, Bunda kudet deh!" sungut Olivia dengan bibir mengerucut. "Kudat, kudet! Nggak usah pakai ojek-ojekan! Sana, panggil abang kamu! Minta antarin dia aja!" WHAT?! Minta antarin abang?! Ogah!! Olivia refleks menggeleng cepat. Menolak saran Bunda yang menurutnya sangat amat mubazir. Iya, mubazir tenaga! Ngapain minta tolong abang yang kerjaannya cuma mengendap di kamar dan betah duduk di depan layar PC dengan telinga tertutup headphone dan mulut yang terus mencaci maki. "Nggak mau ah, Bun. Oliv males ke kamar Abang. Nanti yang ada dia gonggongin Oliv abis-abisan. Bukannya dibantuin, yang ada Oliv ditendang. Jahat banget!" "Hush!" tegur Bunda. "Gonggongin, kamu pikir abang kamu itu anjing?" Olivia nyengir. Kurang ajar memang. Kalau abangnya tahu, mungkin sekarang cewek itu sudah berakhir na'as. Kepalanya diapit oleh ketiak yang katanya Olivia penuh dengan hutan rimba. Eh, bukan berarti ketek abangnya punya hutan beneran! Olivia saja yang memang suka agak berlebihan. "Sudah! Sana kamu minta antar sama Abang!" "Nggak mau ah, Bun... Nanti Oliv ditendang sama dia. Abang kan jahat!" bujuk Olivia separuh mewek. Dia bergelayutan pada lengan Bunda yang mulai risih. "Oliv naik ojol aja ya, Bun... Boleh yaaa?" Bukannya jatuh pada bujukan Oliv dengan segala aduan atas perlakuan tak berperikemanusiaan, Bunda justru berteriak, "Aghiiiii!! Ghifariiii!!" "Bun! Bun! Jangan, Bun!" Olivia mengemis habis-habisan. Nasibnya di ujung tanduk! Bisa-bisa dia akan ditendang beneran sama abangnya itu. "Plis, jangan, Bun! Nanti Oliv—" "Aghiiii!! Keluar kamu!! Seharian di kamar terus!! Mau jadi apa kamu, hah?! Jadi belatung?! Keluar!!!" Teriakan dahsyat menggelegar dari Bunda tentu saja membuat seekor singa jantan mengaum dari sarangnya. Terbukti dengan sahutan dari dalam kamar berbunyi, "Sebentar, Buuunn!! Ya Allah... Tanggung banget niiih!!" Dan Olivia cuma bisa pasrah saat Bunda memberikan sebuah mandat untuk mendobrak masuk kamar abangnya. Dududuuuh! Kalau begini susahnya, mending Olivia nggak jadi jalan saja! Olivia berani sumpah, daripada disuruh mengganggu abangnya, dia lebih memilih untuk membatalkan rencana jalan-jalannya. Mengapa demikian? Pertama, saat dia akan mengetuk pintu kamar dan memanggil si abang, Olivia akan mendapatkan sambutan panas sebagai berikut; "Bang Aghiiii!" "Ya elah, si curuuuttt!! Bosan idup luuu?! Minta dicekokin lem tikus, hah?!" Kedua, saat Bunda akan ikut berteriak untuk membela Olivia, si abang akan membuka pintu kamarnya dengan tampang kusut layaknya gembel belum mandi seminggu. Matanya yang bulat sipit itu akan melotot. Dan kalau sudah seperti itu, berarti aktivitasnya sudah benar-benar terganggu. Ghifari akan meledakkan kekesalannya. Nanti, pas nggak ada Bunda pastinya. "Nggak usah pelatat-pelotot kamu, Ghi! Sana, cuci muka! Antar adik kamu ke PGC!" perintah Bunda yang kini sibuk memilin-milin adonan roti maryamnya. Tanpa memperhatikan dengan seksama pun dia sudah hapal dengan gelagat dua anaknya itu. "Ya ampun, Bun... Aku lagi recording nih! Berangkat sendiri aja lah—" Penolakan Ghifari terpotong oleh omelan maut sang Bunda. Dan alhasil, mau tak mau, rela tak rela, dia pun harus melepaskan kamera, koneksi bersama teman-temannya, serta komputer dan segala t***k bengeknya. Last but not least, ketiga, Olivia akan menerima berbagai kecaman serta ancaman dari si abang. "Ngerepotin amat sih ini bocah! Pesan ojol kan bisa! Jangan manja-manja amat napa! Udah gede! Udah gua kasih duit biar kagak ganggu juga! Nyesal gua! Ingat aja, next time saldo lu kagak gua isiin lagi! Serius gua, Lip!" Olivi cepat-cepat balas mendesis untuk membela diri. "Jangan gitu dong, Abang! Ih! Aku tuh udah mohon-mohon sama Bunda biar nggak gangguin Abaaang! Aghi kayak nggak tau Bunda aja!" Cewek itu mengintip Bunda yang sekarang lagi asyik mengobrol lewat telpon dari depan pintu kamar Ghifari. "Jadi, Aghi nganterin Oliv, nggak?" "Kagak lah! Gua udah recording setengah jalan gini! Lu pesan ojol sana! Lagian elu jadi pengangguran banyak gaya, pakai acara jalan-jalan segala!" Hnggg!!! Kapan sih Ghifari bisa selow sedikit? Kalau diganggu, ngegasnya pasti nggak nyante. Kadang Olivia cuma bisa cemberut saja kalau sudah kena semprot abangnya. Sampai cewek itu hampir nangis, baru Ghifari berhenti dan minta maaf. Itu pun nggak ikhlas. Mulutnya masih ngomal-ngomel nyalahin Olivia. Walaupun tangannya melukin dan elus rambut si adik. "Ya udah, aku pesan nih. Jangan salahin Oliv kalo Bunda tau Aghi nggak ngantarin lho—" "Bacot ah, samsudin! Iye, ini gua antar!" potong Ghifari separuh hati. Cowok itu buru-buru mengambil jaket kulit hitam yang tergeletak sembarangan di lantai. "Buru!" Olivia tak bisa berdusta kalau dia sendiri sebenarnya senang karena pada akhirnya si abang mau mengantarkannya. Yaah... walaupun terpaksa, yang penting Olivia bisa mengirit uang ongkos. Lumayan, hemat biaya ojek dari Lubang Buaya ke Cililitan. Saat Ghifari melanjutkan aksi ngomelnya, Olivia cuma bisa manyun. Biarin ajalah! Palingan nanti juga kesalnya Ghifari bakal luntur. Capek sendiri. Soalnya, biar pun begitu, Ghifari tetep sayang kok sama Olivia. Adik sendiri gitu lho! Kalau nggak sayang, bakal ditabok Bunda nanti. "Mau jalan sama siapa lu siang bolong begini? Sama cowok? Dasar centil! Ganggu gua aja!" tanya Ghifari yang sedang mengeluarkan motor lakinya. "Apa sih! Sama Kak Bella tau!" sahut Olivia yang kini sudah tak terlalu manyun. "Kenapa nggak minta dijemputin aja sama si Bella sekalian? Kan deket, rumah beda dua jalur doang juga!" Tuh, 'kan! Mulai lagi. "Kak Bella tuh udah berangkat duluan sama teman-temannya dari kampus... Masa aku minta jemputin sih? Kasian, nanti kemacetan. Muter-muter," jelas Olivia. "Lu mau jalan sama teman-temannya Bella? Emang Bella ada kelas? Bukannya lagi skripsian juga? Ngapain dia ke kampus?" Olivia menyambut helm bogo dari tangan Ghifari dan memutar bola matanya sebelum menjawab, "Ya mana aku tau sih, Bang! Aghi tanya sendiri sama Kak Bella. Sepupuan, sekampus pula, masa nggak tau apa-apa sih?!" "Yeee... Ngapain harus tau? Emangnya gua kayak elu, tiap saat mantengin Lambe Turah biar update berita nggak jelas?!" "Idih! Aghi sendiri barusan nanya-nanya ke Oliv. Buruan deh, Bang. Takut nanti Kak Bella nungguinnya lama." Olivia berusaha menyudahi perdebatan yang sangat teramat jauh dari kata faedah ini. "Kapan berangkatnya? Panas tau!" "Lah, salah sendiri jalan-jalan siang bolong begini!" Dan Ghifari menerima tabokan kecil di punggungnya saat Olivia sudah duduk di belakang. "Pegangan, monyet! Jangan asal tabok!" Sebagai balasan atas rasa sebalnya, Olivia pun memeluk erat-erat tubuh Ghifari sampai cowok itu kesulitan bernapas. Ah, sungguh persaudaraan yang sangat indah. ¤¤¤¤ Olivia nyengir lebar saat mendapati Bella yang berdiri menunggu di lobi salah satu pusat perbelanjaan di Cililitan tersebut. Cewek itu berlari kecil menghampiri Bella yang sedang asyik mengobrol dengan dua temannya. Rambutnya yang pendek sebahu itu mengembang tatkala dua kaki rampingnya melompat tepat setengah meter dari Bella berdiri. Memberi tahukan kehadirannya dengan sebuah kejutan yang berhasil membuat tiga cewek tersebut terperanjat. "I'm here, cantik!" "Astaga!" pekik Bella yang disambut hal serupa dengan dua temannya. "Ya ampun, Oliv! Bikin kaget aja! Kok lama banget sih? Kaki gue sampai pegel nih." "Hehehe... Maaf, Kak Bell. Tadi aku tuh dipaksa Bunda berangkatnya sama Aghi. Tau sendiri kalo sama Aghi tuh pasti diomelin sama Bunda dulu," jelas Olivia sembari mengiringi langkah Bella dan teman-temannya menuju tempat parkir. "Oh," sahut Bella dengan muka malas, "Aghi masih napas? Masih hidup dia, Liv?" Olivia ketawa ngakak mendengar pertanyaan sarkastik dari Bella. Maklum, kakak sepupunya yang cantik itu memang sangat tidak akur dengan abangnya. Kalau ketemu, pasti mereka berantem nggak jelas. Nggak jauh beda sama Olivia sendiri. Ghifari memang seorang kakak laki-laki yang teramat menyebalkan terhadap saudara perempuan. "Ya masihlah, Kak. Hahahaha! Kalo nggak napas, gimana dia bisa ngantar aku ke sini?" Bella memutar bola matanya jengah. "Oh, kirain udah jadi batu. Itu orang udah jarang banget, bahkan hampir nggak pernah nongol di kampus lagi soalnya." Dia berbalik pada dua temannya. "Oh, iya! Gaes, kenalin nih! Adiknya si Aghi. Namanya Oliv." Cewek yang baru saja menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasnya itu tersenyum lebar pada teman-teman Bella. Dia menjabat dua cewek bening bernama Dina dan Sarah. "Serius? Adiknya Aghi? Sepupu lu yang katanya naksir—" Dan pertanyaan beruntun Sarah itu membuat kedua telinga serta mata Olivia menajam. Namun sayang, Bella cepat-cepat memotongnya, membuat Olivia lebih penasaran setengah mampus. "Lu pada nggak kepanasan apa? Yang dingin-dingin enak nih! Cuss ah! Pengen McFlurry!" Dina sumringah lebar dan mengajak tiga cewek di depannya untuk beranjak. "Yuk! Duduk-duduk santai di sana aja sambil ngisi perut." Sembari melangkah, Olivia menggandeng lengan Bella. Mereka mengambil tempat duduk paling sudut setelah membeli makanan yang diinginkan. Sambil makan, mereka mengobrol santai. Olivia lebih banyak diam. Maklum, namanya juga baru kenal. Lagian juga cewek-cewek cantik nan heboh ini semuanya teman kuliahnya Bella yang notabene juga akan menjadi seniornya nanti. "Betewe, Liv, jadinya lu bakal kuliah di mana? Katanya kemarin mau di UI, lulus?" tanya Bella akhirnya setelah menyadari Olivia yang sedari tadi hanya mendengarkan saja. "Hehehe. Nggak, Kak." Oliv meringis miris. "Ujung-ujungnya aku dipaksa Ayah ke Trisakti juga. Biar bisa satu kampus sama Aghi. Sama Kakak-kakak juga." "Oh, ya? Lu ngambil apa, Liv?" tanya cewek beemata bulat seperti kucing bernama Sarah. Nimbrung. "Apa lagi kalo bukan Ekonomi? Ya, nggak?" tebak Bella pasti. Dan mendapat anggukan dari Oliv. "Menuh-menuhin kampus aja. Makin banyak sarjana ekonomi yang bakalan nganggur nggak dapat kerja, Liv. Coba cari jurusan yang lain." "Disuruh sama Ayah masuk ke situ sih, jadi aku nggak punya opsi lain," sahut Olivia pasrah. "Mungkin Ayah punya rencana buat Oliv." "Iya, rencana yang gagal dilakuin buat Aghi karena kuliahnya nggak keurus dan keteteran nggak jelas. Dan sekarang justru elu yang jadi targetnya." Olivia mengangguk setuju. "Kak Bella tau aja! Betewe, kakak-kakak cantik ini sebenarnya beli apaan sih ke sini?" "Ada keperluan UKM, Liv," sahut Dina. "Belinya mesti grosiran biar murah. Sekalian, kita lagi tawaf plaza-mall se-Jabodetabek." "Tawaf?" Olivia ketawa. "Kayak mau naik haji aja!" "Lagi naikin status biar jadi anak gaul kekinian," timpal Sarah. "Emang kalo udah nyoba semua plaza-mall bisa bikin seseorang jadi gaul?" Bego. Dalam hati Olivia bilang, cantik-cantik otaknya miring. Kurang ajar. Pantesan, adiknya Ghifari. Tiga cewek cantik yang nantinya akan menjadi seniornya di dunia perkuliahan itu ketawa-ketawa nggak jelas. Sampai pada akhirnya seseorang datang dengan membawa sebuah paperbag ukuran besar menyapa. "Sori, aku kena macet. Udah makan?" Mendapat jawaban dari tiga temannya, cewek berwajah bulat itu tersenyum manis pada Olivia. "Ini siapa? Kenalin, aku Vivi—" "—getolannya Aghi, Liv!" potong Bella tiba-tiba. Olivia mangap nggak percaya. Kaget? Ya iyalah! Aghi b**o, ngeselin dan suka menggonggong itu ternyata punya kecengan! Dan ketika cewek bernama Vivi itu menyalami Olivia, sebuah senyum merekah indah. Bukan hanya karena Vivi adalah perempuan cantik dan ramah saja, ada sebuah ide yang terlintas di kepala Olivia. Sebuah rencana yang bisa membuat dirinya menjadi majikan baru setelah sekian lama tersiksa di bawah kekuasaan abangnya. Sejak detik ini, sepertinya Olivia harus berteman lebih dekat dengan Vivi.   ¤¤¤¤ Dunia baru Olivia ternyata sangat menyenangkan. Tidak hanya teman-teman baru saja, cewek itu juga bertemu dengan salah satu sahabat lamanya. Tasya, sahabat sejak dirinya duduk di bangku sekolah dasar selama enam tahun. Dulu mereka adalah tetangga yang selalu menghabiskan waktu seharian bersama. Sejak pagi di sekolah hingga petang untuk bermain bersama. Namun, ketika akan memasuki jenjang sekolah menengah pertama, mereka harus berpisah dan Tasya harus mengikuti kepindahan orang tuanya ke Palembang. Dan setelah itu, mereka tak pernah bertemu lagi. Dengan sekotak s**u rasa stroberi kesukaannya, Olivia mendengarkan segala cerita yang Tasya tuturkan. Satu per satu. Dari segala aspek. Bagaimana Tasya menjalani masa pubertasnya di Palembang, bagaimana senangnya dia saat menemukan akun ** milik Olivia dua bulan yang lalu, betapa rindunya dia saat menghabiskan waktu bermain bersama dulu, bahkan hingga cerita cinta jarak jauh dengan pacarnya setahun belakangan ini. "Setahun?!" Tasya mengangguk cepat. Senyumnya tidak pernah luntur. "Iya! Aku LDR sama dia udah hampir setahun ini, Liv. Bayangin deh, gimana susahnya kita lagi kangen berat. Gue harus nunggu musim liburan dulu biar dia balik ke Palembang dan ketemuan." "Wah, repot juga ya..." "Tapi sekarang gue nggak bakal pusing lagi, soalnya kan udah balik ke Jakarta. Ah, seandainya kita satu kampus ya, Liv." "Iya, kita bisa ngabisin waktu ke mana-mana bareng. Berangkat ke kampus bareng, makan siang, jalan-jalan, shopping, nongkrong di tempat-tempat yang lagi hits!" "Ngejahilin Aghi juga!" tambah Tasya, membuat Olivia mengangguk setuju. "Abang kamu masih ngeselin, Liv?" "Makin tua, makin parah! Hahahaha!" Tasya ketawa keras. Sampai-sampai beberapa pengunjung kafe yang ditongkrongi pun menatap ke arah mereka. Bodo amat. "Gue masih ingat banget, dulu abang lu dilemparin panci sama Bunda gara-gara matahin pensil warna baru gue! Ya ampun... sumpah ya, kocak abis!" "Banget! Dulu lu sampai ngambek nggak mau main ke rumah gue gara-gara ogah ketemu Aghi! Dasar cengeng lu!" kelakar Olivia. Tasya terpingkal-pingkal. Sudut matanya sampai berair karena tertawa terlalu keras. Lelah sekaligus senang. "Ya abisnya abang lu ngeselin! Dia tuh lebih tua empat tahun dan malah suka ngerjain anak-anak kecil kayak kita! Jahil banget tau nggak!" "Emang! Elu masih mending cuman sekali-dua kali doang. Lha, gue? Tiap hari ditindas sama Aghi," sungut Olivia. "Nasib... nasib, punya abang otaknya segede kismis!" Lagi-lagi Tasya terbahak. Kalau membahas soal abangnya Olivia, kotak tertawanya memang tak bisa berhenti untuk terbuka. Kenangan-kenangan di masa kecil bersama Olivia dan keseharian mereka yang sangat menyenangkan takkan ada habisnya untuk menjadi bahan perbincangan. Menjadi sebuah pelepas rindu di antara dua sahabat yang telah lama berpisah. "Lu yakin nggak mau pesan minum, Liv? Masa nongkrong di tempat kece begini, lu malah minum s**u stroberi kotakan begitu," kata Tasya tiba-tiba. Dari tadi kotak s**u Olivia memang sangat mencuri perhatiannya. "Lu tenang, gue traktir nih." "Ih, bukannya gue nggak mampu beli minuman, dodol!" sergah Olivia berpura-pura tersinggung. "Gue tuh emang suka banget sama s**u ini." Dahi Tasya mengerut. "Sejak kapan lu suka minum s**u? Seingat gue dari dulu lu nggak terlalu doyan minum s**u deh. Apalagi yang rasa stroberi beginian. Pengen tambah tinggi?" Olivia tersenyum dengan sebuah hembusan napas lembut dan tangan menopang dagu. Tidak peduli dengan sindiran Tasya. Matanya menerawang langit bersemburat jingga. Satu lagi kenangan indah terlintas di benaknya kala kisah kotak s**u stroberinya dipertanyakan dan terungkit. "Ada sesuatu yang spesial dari minuman ini, Tasy." "Apa tuh? Gimana tuh?" Cewek berambut pendek sebahu itu menarik napas panjang sebelum memulai cerita paling berkesan di hidupnya. Membuat calon pendengar semakin tertarik untuk ikut tenggelam dalam kenangan itu. "s**u stroberi ini ngingetin gue sama seseorang." Kedua mata Tasya berbinar, menyorot senyum Olivia yang merekah cantik. "Cowok?!" Olivia mengangguk malu-malu. "Mantan lu?" Olivia menggeleng. "Terus? Gebetan? Cemceman?" "Bukan. Haha." Alis Tasya menyatu. "Lha? Terus kalo bukan pacar, mantan, gebetan atau cemceman, apa dong?" Olivia ketawa kecil. "Jadi gini," dia menghela napas sejenak, "pas eum... kelas dua semester akhir kemarin, gue habis jalan-jalan sama teman-teman. Pulangnya, gue kan sendirian tuh... dan ternyata, gue lagi dapet!!" "Hah?! Dapet?" "Iya! Anjir lah, gue udah ngerasa nggak enak sehabis pisah sama anak-anak di halte. Oke, gue naik bis, naik turun halte, transit sana-sini. Aman. Dan pas gue di bis terakhir, gue ketiban s**l! Bocor!!" Tasya terbelalak tak percaya. "Oh my goooosh!! Bocor?!" "Sssttt!!" tegur Olivia sembari menempelkan jari telunjukya ke bibir. "Jangan keras-keras!" Sahabatnya nyengir kuda. "Terus gimana tuh?" "Ya gue malu abis lah! Nggak bisa gerak, Tasy! Gue udah hampir nangis aja!" "Gilaaa!!" kata Tasya takjub. "Gue nggak bisa bayangin gimana malunya kalo rok gue sampe ada pulau horor berdarah begitu!" "Rasanya gue pengen bunuh diri aja tau!!" erang Oliv lebay. Tasya ketawa lepas. "So, hubungannya s**u stroberi sama kebocoran lu itu apaan?" "Belum selesai, Ibuuuu!" Olivia merotasikan bola matanya. "Hubungannya adalah... ada cogan yang nyiram kaki gue pakai s**u stroberi itu." "Hah?!" "Iya, dia nyiram kaki gue seolah-olah bikin rok gue kebasahan. Dan tiba-tiba aja dia lepas jaketnya buat nutupin kaki sama rok gue." "Bentar, bentar! Gue nggak ngerti, Liv!" Tasya memampangkan telapak tangannya dan bergumam sendiri. "Itu cowok nyiram kaki sama rok lu, terus lepas jaket... hah?! Dia tau lu lagi kebanjiran?!" Olivia mengangguk dengan rakus. "Iya!! Dia tau!! Bahkan dia ngasih jaketnya itu dan maksa gue pakai jaketnya buat nutupin p****t gue yang udah... kacau deh pokoknya!" Tasya melongo. Cengo. Mulutnya membentuk bundaran. Tak bersuara. Olivia mengambil tas ranselnya dan mengambil sebuah jaket denim yang selalu dia bawa ke mana-mana. "Ini jaketnya." "Gede banget, Liv. Cogan lu segede apa sampai jaketnya begini? Hahaha!" Olivia mendengus. "Jangan salah ya, Tasy! Dia tuh tinggi banget. Atletis, ganteng, mana perhatian banget! Bayangin aja, dari sekian banyak laki-laki di bis itu, cuma dia yang sadar sama keadaan gue dan mau ngebantu." "Gimana kalo dia itu secret admirer lu, Liv? Sengaja ngikutin elu dan di saat lu kesulitan, dia datang nyelametin lu!" "Nggak lah!" sanggah Olivia mentah-mentah. "Gue naik bis dari Blok M ke Pinang Ranti cuma hari itu. Dan lagian, setelah hari itu, gue nggak pernah ketemu sama dia lagi. Elu tuh ya... kebanyakan nonton reality show nggak jelas di TV! Makanya pola pikir lu jadi aneh. Ikut-ikutan nggak jelas!" Tasya mencibir. "Nggak ada hubungannya, bocah micin!" Olivia ketawa. "Jadi sampai sekarang lu nggak pernah ketemu sama itu cogan lagi?" Olivia menggeleng lemas. "Nggak sih... gue cuma berharap, suatu hari nanti gue bisa ketemu dia lagi. Gue pengen ngucapin terima kasih banyak sama dia." "Good!" kata Tasya antusias. "Siapa tau kalo lu ketemu dia lagi. Dan pertemuan kedua itu bakalan jadi pertanda kalo lu berdua emang jodoh!" "Amin!!" sahut Olivia cepat. Kedua tangannya terangkat. Matanya terpejam. Berharap bahwa apa yang dikatakan Tasya akan menjadi nyata. Dua cewek itu cekikikan setelahnya. Menertawakan betapa konyolnya mereka atas hati Olivia yang terbawa perasaan. Baper akut. "Eh, betewe, Tasy!" tegur Olivia tiba-tiba. "Hm?" "Gue kok nggak pernah lihat foto cowok lu di galeri Insta lu? Lu beneran pacaran sama cowok lu? Atau jangan-jangan lu cuma selingkuhan dia? Atau elu yang selingkuhin dia? Wah, parah lu!" Sekarang giliran Olivia yang bikin Tasya megap-megap kayak ikan. Sedangkan yang mengajukan pertanyaan beruntun malah cengengesan nggak jelas! "Enak aja!" balas Tasya cepat. "Gue sama dia tuh emang sepakat buat nggak posting atau ngetag foto. Ya seperti yang lu lihat, paling banter cuma tangan kita. Separuh muka atau sepatu kita berdua." Olivia mencibir, meremehkan. "Aneh banget—" "Emang! Cowok gue emang rada ajaib, Liv. Katanya, pacaran itu nggak boleh pamer lah, ini lah, itu lah!" keluh Tasya. "Padahal, gue kan pengen kasih lihat ke semua followers kalo gue punya cowok ganteng!" Gantian. Sekarang giliran mata Olivia yang berbinar-binar. "Oh, ya?! Seganteng apa sih cowok lu?" "Bentar." Tasya mengambil ponselnya. Mengobrak-abrik isi galeri fotonya dan ketika mendapatkan foto yang menurutnya merupakan hasil jepretan terbaik, dia memamerkannya. "Ini nih cowok gue!" Anj...lok!!! Ganteng, memang diakui ganteng. Banget malah! Tapi kenapa cowok yang dipamerin sama Tasya itu mirip banget sama cogannya Olivia yang bikin dia mengidap kebaperan akut selama bertahun-tahun?! Praaannnggg!!! Bukan sekedar suara retakan. Hati Olivia sudah pecah terhambur berantakan berkeping-keping. Ugh!! Sakit bangeeettt!!! "Ganteng, 'kan, Liv? Ini nih, cowok gue!" Olivia cuma bisa menganggukan kepala sebanyak dua kali dengan sebuah senyum tipis. Menatap Tasya dengan sebuah kepalsuan. Mengubur pecahan hatinya ke sebuah kubangan lumpur hisap yang mematikan. "Besok-besok gue kenalin elu sama cowok gue deh! Biar lu jadi orang pertama yang jadi objek pamer selama setahun gue pacaran sama Kafka!" Dan untuk pertama kalinya, Olivia menyesali semua doa-doa yang selama ini dia panjatkan. Kalau bisa, dia menarik kembali harapan dirinya untuk bertemu dengan cowok yang dia idam-idamkan tersebut. Siapa namanya? Kafka? Ya, jangan pertemukan Olivia dengan Kafka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD