sebuah lingkaran

3592 Words
Olivia patah hati. Dia tidak mengelak atas rasa yang menyakitkan tersebut. Lagipula, dia juga sudah tahu. Mustahil untuk dapat bertemu dengan cowok yang sudah menyelamatkannya waktu itu. Tetapi, mungkin patah hatinya tidak akan separah ini kalau cowok ganteng itu pacarnya orang. Bukan pacar sahabat lamanya. Begitu tanggapan awalnya. Jangan tanyakan lagi bagaimana kabar hati Olivia sekarang. Sudah hancur lebur! Pecah belah. Seperti nasib vas bunga kesayangan Bunda yang na'as karena disenggol Ghifari waktu masih kecil. Serba salah. Mau marah, anak sendiri. Mau sedih, itu vas bunga kesayangan. Tak jauh beda dengan Olivia. Mau cemburu, pacarnya teman sendiri. Mau sedih, ya begitulah... jelas saja. Dia cuma bisa diam. Beruntung, sekitar tiga minggu setelah mengetahui fakta mengejutkan itu, Olivia dapat memfokuskan diri untuk orientasi. Dari masa kegalauannya, Olivia sudah mendapat berbagai hidayah. Hanya karena menyimpan rasa kepada seseorang yang tidak dikenal, apakah dia harus kalut hingga merusak hari-hari dan masa depannya? Tentu saja tidak. Patah hati ya patah hati saja. Bukan berarti Olivia harus terus-terusan sedih. Ambil saja hikmahnya. Orang yang menjadi kekasih cowok ganteng berhati malaikat itu ternyata sahabat sendiri. Setidaknya baik untuk Tasya. Dia tidak salah pilih. Dan Olivia berharap nantinya dia juga akan bertemu dengan cowok yang lebih baik darinya. Orientasi dilalui cewek itu dengan hal-hal yang biasa saja. Tidak ada yang terlalu berkesan. Dia punya beberapa teman baru di kehidupan barunya. Dari teman satu kelompok ospek sampai teman yang diajak dan mengajak ke mana saja. Selama seminggu setelah masa orientasi usai, Olivia lengket banget sama Hera. Cewek bermata sipit berpipi tembem itu jadi satu-satunya teman yang paling klop sama dia. Dari selera fashion, obrolan yang selalu nyambung dan tidak pernah ada habisnya, bahkan kapasitas perut yang sebelas-dua belas dengannya. Alias sama-sama doyan makan. Selain teman baru yang gesreknya tidak tanggung-tanggung, Olivia juga punya teman yang baiknya minta ampun. Namanya Angga. Nah, kalau ke mana-mana sama Hera, Angga ini yang bakal jadi supirnya. Kebetulan, cowok ini punya mobil yang jadi sasaran tebengan Olivia dan Hera. Saking baiknya, Angga susah menolak jika dua cewek itu minta tolong. Hera yang notabene anak kos dari Balikpapan dan belum hapal benar jalanan di Jakarta, serta Olivia yang memang b**o kalau disuruh mengingat alamat. Ribet deh pokoknya! Jadi mahasiswa baru, berarti bakalan ketemu kakak senior-senior yang bikin pandangan Olivia terang benderang. Apalagi kalau dia kedapatan kelas di Kampus A yang dipenuhi stok mahasiswa dari berbagai Fakultas. Olivia bakalan heboh bareng Hera kalau lihat cowok ganteng. Seolah-olah bakat terpendam untuk fangirling for hot guys-nya tersalurkan jika bersama Hera. Kelakuan dua cewek luar biasa itu cuma bisa bikin Angga ketawa dan geleng-geleng kepala. Semua kegiatan ala cewek maba yang baru melihat indahnya dunia perguruan tinggi itu dapat dilakukan jika tidak ada Ghifari. Harus diberi garis bawah dan tulisan tebal, jika Olivia lepas dari pengawasan Ghifari. Kalau abangnya yang rese itu tahu, habis deh Olivia! Bakalan diomelin. Lebih parahnya lagi, Ghifari akan menunggu Olivia untuk menyelesaikan perkuliahannya. Dan itu bikin Hera melongo takjub. Tak lupa pula Angga. Dua teman itu sampai tidak habis pikir kalau Olivia punya abang yang luar biasa ajaib. Makanya, terkadang Olivia cari alasan pada Ghifari biar dia tidak diantar ke Kampus. Seperti sekarang ini. "Oliv berangkat nebeng sama Kak Bella, Bun," kata Olivia sembari berjalan ke kulkas untuk mengambil sekotak s**u UHT ukuran besar rasa stroberi kesukaannya. "Jangan bangunin Aghi." "Sama Bella? Memangnya kalian satu tujuan?" timbrung Papa yang sibuk membaca koran pagi. "Mending sama Aghi. Mobilnya udah keluar dari bengkel, 'kan?" Olivia meneguk habis s**u stroberinya. Kemudian mengangguk pelan. "Udah, Yah. Cuma Oliv udah terlanjur janjian sama Kak Bella. Lagian Kak Bel juga mau ke Kampus. Jadi sekalian aja—" Tiiinn!!! Bunyi klakson yang sangat dikenali Olivia terdengar dari luar rumah. Cewek itu segera bangkit dan mencomot sepotong roti tawar dengan selai coklat di atasnya. "Panjang umur," gumam Olivia. "Baru aja diomongin, orangnya udah muncul." "Berangkat sekarang?" tanya Bunda. "Ajakin Bella sarapan sekalian." "Nggak keburu, Bun. Takut kena macet. Soalnya harus ke Kampus A." Olivia mencium pipi Ayahnya yang masih memfokuskan diri dengan berita. Lalu mencium tangan serta pipi Bunda yang baru saja menyuguhkan nasi goreng paling enak sedunia. "Oliv berangkat dulu." "Bilangin Bella, hati-hati nyetirnya," pesan Ayah. "Siap!" Cewek itu beranjak dari meja makan. Berjalan agak gesit. Belum sempat mengucap salam, sebuah pintu kamar terbuka. Menampilkan Ghifari yang terlihat rapi. "Heh, Itun! Mau ke mana lu?" Duh, nanyanya udah kayak preman tukang palak aja! Olivia jadi ngeri sendiri. Sebenarnya cowok galak ini abangnya yang dulu suka beliin dia kembang gula atau preman pasar sih? "Itan, Itun!! Nama aku tuh Oliv! Bukan Itun!" sewotnya. Ghifari nyengir nyebelin. "Olap-olip! Nama lu tuh harusnya Zaitun! Tanya aja sama Ayah. Cuma Bunda aja yang protes, makanya diganti Olivia biar keren." Olivia mendengus kesal. "Au ah! Oliv duluan. Bareng Kak Bella." Cewek itu menghampiri abangnya. Kebiasaannya sejak kecil untuk mencium pipi Ghifari juga tidak pernah hilang. Dan Ghifari sendiri juga selalu terbiasa dengan manisnya rutinitas di keluarga pun tak pernah protes. "Nggak usah ngomel! Nanti Mbak Vivi ilfil!" Cewek itu langsung ngacir saat abangnya sudah melotot dengan mata bulat dan tajamnya. Cekikikan senang. Belakangan ini, kalau Ghifari mulai kumat nyebelinnya, Olivia selalu pinjam nama Vivi. Awalnya dia cuma iseng-iseng saja. Coba-coba, siapa tahu Ghifari akan lunak. Dan ternyata percobaannya mujarab! Maka dari itu, Olivia jadi kebiasaan jual nama Vivi di depan abangnya. Bermanfaat. Dia selalu terjauh dari p**********n Ghifari. Tidak heran kalau Olivia menjadi sangat terkenal di kalangan mahasiswa baru. Tentu saja, bergaulnya sama cewek-cewek kece di Fakultas Ekonomi. Terutama Bella yang memang jadi kembang kampus. Sepupuan dengan Bellavina, tampangnya pasti nggak diragukan. Yah, walaupun Olivia nggak sebening Bella. Setidaknya cewek itu punya sosok manis dan imut. Bikin orang-orang di sekitarnya nggak bosan buat berinteraksi dengannya. Belum lagi Dina yang juga sama-sama anak Ekonomi. Tidak terkecuali Vivi dan Sarah yang nyasar di Fakultas Hukum. Namun, jika cewek-cewek cantik itu mengajak Olivia hangout. Wassalam. Bakalan bikin mata cowok melek sampai lupa caranya kedip. Segar banget, mamen! Jangan lupakan sebuah fakta kalau Olivia juga adiknya Ghifari. Siapa yang menyangka kalau ternyata abang kampretnya yang na'udzubillah bikin Olivia pusing tujuh keliling itu punya image sangat berbeda di Kampus? Mahasiswa legend-mythical glory yang sampai sekarang belum beresin skripsinya itu ternyata sangat terkenal. Berpredikat sebagai cowok ganteng yang bikin anak perawan pingsan setiap dia lewat. Punya geng yang isinya cowok-cowok keren semua. Dan menurut informasi dari Dina, salah satunya adalah Fatur, Hanif, serta Juna yang memang sering main ke rumah. Bahkan sampai nginap dan bikin rumah jadi kapal pecah. Teman-teman Ghifari yang memang suka ngajak Oliv nyemil dan main kartu Uno sampai larut malam. So, nggak heran kalau Olivia yang baru menginjak dunia perkuliahan itu sudah dikenal banyak orang. "Kenapa, Liv?" tanya Bella saat adik sepupunya naik ke mobil sambil cekikikan. "Lu jahilin Aghi lagi?" Olivia membenarkan. "Saatnya memutar balikkan keadaan, Kak. Oliv senang banget! Sekarang Oliv bisa bikin Aghi kicep. Semua berkat nama Mbak Vivi. Hehehe." Bella geleng-geleng kepala karena kelakuan adik sepupunya ini. "Bagus ya... sekarang udah bisa ngelawan abangnya." Cewek itu mengusak ringan rambut Olivia. "Lu ada kelas jam berapa sih, Liv? Kayaknya bakalan macet nih." "Tenang... sebenarnya kelasku itu jam sepuluh, Kak. Cuma aku sengaja bilang punya kelas paling pagi biar bisa bareng Kak Bella. Males kalo diantar sama Aghi," jelas Olivia dengan bibir dimanyunkan. "Good lah kalo gitu. Soalnya gue mau jemput Sarah sekalian." Mendengar itu, mata Olivia berbinar-binar. "Kak Sarah? Emang rumahnya di mana sih, Kak? Oliv tuh suka banget sama style fashionnya. Make upnya juga kece abis!" "Ya iyalah, Liv. Namanya juga selebgram. Followersnya udah ratusan ribu begitu." Bella terkekeh. "Lu nanti tanya langsung aja ke Sarah biar langsung difollowback. Siap-siap aja nanti followers sama direct massage lu bakal bejibun!" Tadi berbinar-binar, sekarang Olivia melotot. "Oh, pantesaaan!" Cewek itu makin girang. "Bagus dong kalo akun aku nambah followers. Bisa endorse-endorse cantik kekinian akunya!" Dan obrolan dua saudara sepupu itu pun terus berlanjut. Dari ngomongin soal Sarah yang jadi selebgram dengan segudang endorse, Dina yang suka tebar-tebar gebetan di Usakti dan sekitarnya, serta Vivi yang suka ngecover lagu-lagu jadul. Sedangkan Bella, cewek itu kurang tertarik dengan dunia ajang pamer di media sosial. Tidak heran kalau semua akun miliknya dikunci hanya untuk pribadi dan orang-orang terdekatnya saja. Separuh perjalanan, Bella dan Olivia pun menjemput Sarah. Seperti biasa, gaya berpakaian dan dandanan perempuan bermata bulat sipit seperti kucing itu selalu sukses bikin Olivia kagum. Dan kalau dipuji, pasti jawaban Sarah adalah; "Hahaha. Ini tuh barang endorse, cinta!" Cewek itu senyum manis. Bikin diabetes. "Nanti fotoin gue ya, Liv. Kayak kemarin, hasil foto lu cantik abis!" "Boleh," kata Olivia nyengir, "tapi nanti follow sama promote aku ya, Kak?" "Gampang laaah..." sahut Sarah dan bikin cewek bertubuh mungil itu senang bukan main. "By the way, Kak, ingat sama teman aku yang namanya Hera kemarin, nggak?" tanya Olivia tiba-tiba dengan topik baru. Setelah dua kakak-kakak cantik tadi mengiyakan, dia langsung melanjutkan, "Dia jago nyanyi lho! Nah, rencananya aku sama dia mau bikin channel yang isinya macam-macam. Kayak ngevlog, review make up sama makanan, cover lagu, banyak deh pokoknya! Nanti Kakak-kakak jadi guest gitu ya... biar viewers sama subscribers-nya banyak!" Bella cekikikan. "Hahahaha! Lu mau jadi youtubers kayak abang lu, Liv?" "Hah?" Tanggapan Olivia membuat Sarah bertanya, "Lho, elu nggak tau? Abang lu itu youtuber beken yang subscribers-nya jutaan. Masa adiknya nggak tau sih?" Olivia melongo. Sumpah, dia tidak mengetahui apapun tentang ini. Yang dia tahu hanyalah, "Bukannya Aghi cuma main game-game nggak jelas?" "Ya itu, gamer sekaligus youtuber gitu, Liv! Wah, parah! Masa nggak tau abangnya sebeken itu... Hahahaha!" Sarah ikutan ketawa. "Nggak heran sih, Bel! Abangnya kan agak gaib ajaib!" Yang punya abang cuma bisa cengar-cengir. Pantas saja Ghifari sering ngomel marah murka jika kegiatannya tengah diganggu. Abangnya sering berteriak, "Gua lagi recording, kamprettt!!!" kepada Oliv. Kalau begitu, dia tidak perlu pusing mencari cara untuk merayu Ayah agar dibelikan kamera dan berbagai perlengkapan rekaman. Tinggal pinjam, semua beres. Dan tenang saja, selagi Olivia punya rahasia besar abangnya, dia pasti bisa bikin konten video yang keren! ¤¤¤¤ "HOY!!!" "Ayam ayam ayam ayam!!" Dan berbagai nama binatang lainnya. Angga tertawa puas saat mendapatkan reaksi yang sudah dia duga. Dua cewek yang lagi duduk santai di salah satu gazebo taman di Kampus A itu sibuk mengelus d**a sambil menenangkan kelatahan mereka. Angga pun beralih dari tempatnya dan menghadap duo tersebut. "Apaan sih, Ngga! Bikin jantungan!" omel Hera ngegas. "Nggak lihat kita lagi ngomong serius apa?! Kurang kerjaan banget!!" tambah Olivia yang ikutan keki. "Lagian dari tadi gua berdiri di situ nggak dilirik sama sekali," sahut Angga. Hera memutar bola matanya. Menatap Angga seolah berkata, 'I'm so done with you, dude.' "Elu berdiri di belakang, monyet! Gimana kita bisa lihat sih?!" Angga cengengesan. Nyengir nggak jelas karena sudah tersudut oleh segala omelan Olivia dan Hera. "Emang lagi pada ngobrolin apaan?" "Lagi nyari konten buat video pertaman kita, Ngga. Kira-kira konten apa yang cocok biar kita punya banyak subscribers ya? Lu ada ide, nggak?" Cowok itu mengangkat kedua bahunya. "Mau bikin video gimana emangnya? Kalo ditanya soal girl stuffs, gua angkat tangan." Olivia mencibir. "Nanya ke elu sama nanya ke pohon itu nggak jauh beda. Sama-sama nggak ngasih jawaban inspiratif sama sekali! Huuw!" "Ya lagian, lu berdua nanyanya ke gua. Mana gua ngerti soal begituan." Angga balas mencibir. "Betewe, tadi gua nggak sengaja papasan sama Leo. Dia nitip ini ke elu, Her." Dua cewek hyperactive itu berubah lebih serius. Perkara penasaran, menunggu Angga yang membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah paperbag ukuran kecil. Hera menyambutnya dengan alis hampir menyatu. "Apaan nih?" Angga mengedikkan bahu kanannya. "Nggak tau." Kemudian dia mengusak rambut sebahu Olivia lalu berkata, "Makan yuk?" "ke mana? Jangan bilang terserah! Coba lu berdua tentukan menu hari ini!" tanya Olivia yang cuek-bebek dengan kondisi rambutnya. Dia menyenggol Hera yang masih betah untuk cengo sendiri. "Her, lu mau makan apa?" Bukannya menjawab, Hera malah mendumal tak jelas. Berbicara dengan dirinya sendiri sembari mengeluarkan sebotol minuman penambah ion tubuh dan sebungkus roti dari paperbag di tangannya. "Mending cabut dulu aja dah!" ajak Angga. "Nanti pilih makannya nyambi lewat." Olivia mengangguk setuju. Tanpa meminta persetujuan Hera, dia langsung menarik cewek itu dan pergi meninggalkan gazebo. Menuju parkiran dengan segala omelan dari Hera karena main tarik-tarik sembarangan sampai bikin dia hampir jatuh. Biasa, kalau lagi lapar semua pasti tambah galak. Sekitar lima belas menit di jalan, keluar dari area Kampus A mengarah ke tempat kost Hera, tiga mahasiswa baru itu pun singgah di sebuah rumah makan yang menyajikan berbagai masakan khas Padang. Berdebat pengin makan ini lah, itu lah... ujung-ujungnya malah menepi di sana. Karena tak bosan bersiteru, mereka sampai terus-terusan melewatkan berbagai tempat makan yang sebenarnya punya menu yang sangat direkomendasikan. Terutama untuk kantong mahasiswa. Angga memarkirkan mobil jenis citycarnya agak sedikit lebih jauh. Terpaksa begitu, soalnya parkiran di rumah makan itu sedang dipenuhi pengunjung. Kebanyakan pegawai kantoran yang sedang beristirahat. Kata Hera, biasanya rumah makan yang masakannya enak itu pasti selalu ramai pengunjung. Jadi, tidak ada salahnya untuk mencoba. Pesan sendiri. Makan sendiri. Bayar? Sepertinya hari ini Angga lagi-lagi kesurupan. Setelah kemarin makan junk food, cowok itu malah mentraktir makan siang menu khas Padang. Olivia sampai bengong sendiri saat Angga langsung pergi ke kasir setelah menaruh piringnya di meja. "Gue nggak enak, Her. Dari kemarin dia yang bayarin kita makan. Nanti kalo uang jajannya habis gimana?" Hera tertawa lepas. "Ini anak sebenarnya polos apa b**o sih?" "Kok malah ngatain gue sih?!" "Udah! Biarin aja. Lagi pamer kapasitas dompet tuh! Entar kalo udah kering juga bakal sadar." Hera melipat kedua tangannya dan memejamkan mata. Berdoa sejenak sebelum mengangkat sendoknya. "Let's eat! Go go go!" Olivia cuma bisa mengembuskan napas dan membenarkan. Namanya juga rezeki. Syukuri saja. Pada akhirnya, cewek itu juga mengikuti jejak Hera. Membaca doa sesuai dengan keyakinannya dan mulai menyantap rendang daging di piringnya. Lalu cengengesan saat Angga kembali duduk bersama mereka. "Santai aja makannya, ibu-ibu," tegur Angga jenaka. "Tuh, tuh! Sampai belepotan gitu!" "Makasih, Ngga. Kita ditraktir lagi. Jadi enak nih," kata Olivia setelah meminum s**u stroberi yang selalu tersedia di ranselnya. "Sering-sering aja biar kita makmur dan sejahtera." "Hahahaha! Gua sekalian latihan nih." Tanggapan Angga membuat dua cewek itu mengangkat alis. Masih nyengir, dia menambahkan, "Sekalian latihan menafkahi istri nanti." "Jiaaah! Menafkahi, jidat lu penyok!" sambut Olivia dengan cibiran khasnya. "Kalo mau menafkahi itu ya pake duit sendiri lah! Jangan pake duit kiriman orang tua, o'on!" "Halah! Bahasa lu, menafkahi... Gayaan lu! Baru juga kemaren lepas seragam putih abu-abu!" tambah Hera. "Lu nafkahin kita berdua begini maksudnya mau punya bini dua, gitu? Bisa bangkrut lu!" "Ini bocah bukannya ngucap syukur kek, terima kasih kek, kasih pujian dikit gitu... Malah ngatain!" ujar Angga pura-pura sewot. "Yeee... Pamrih! Pamerrr!!" "Kan tadi gue udah bilang makasih..." Olivia cengengesan. "Gue doain cepat laku deh! Biar nggak jomblo lagi." "Laku, laku. Dikata dagangan!" "Ya iya! Elu kan barang obralan!" Angga ngakak. "s****n!" serapahnya. "Udah ah! Makan yang bener! Dari tadi lu berdua ngatain gua mulu!" Tanpa banyak cing-cong, dua cewek itu tak lagi menghiraukan Angga. Mereka memilih fokus kepada makanan yang tersisa separuh dan segera menghabiskannya. Sesekali ngobrol tentang rencana mereka yang pengin berkarya lewat media sosial terkini. Olivia juga membocorkan tentang alat-alat perekam yang akan dia pinjam dari Ghifari. Memberi tahukan teman-temannya bahwa ternyata abangnya itu adalah seseorang yang berpenghasilan lewat media yang sama. Namun dalam konten berbeda. Tak heran kalau selama ini Ghifari tak pernah ragu mentransfer sejumlah uang kepada adiknya. Olivia pikir, abangnya menyisihkan uang jatah jajan dari Ayah untuknya. Kalau tahu Ghifari punya penghasilan, mending sekalian minta duit buat shopping. Ditambah dengan upah jasa memasakkan mie goreng instan atau membuat alasan kepada Bunda demi kelancaran aktivitasnya. "Elu serius, Liv?" Hera menyeruput teh es manisnya. "Emang abang lu mau pinjemin kamera?" "Harus mau lah! Gimanapun caranya, gue harus dapetin kamera buat kita!" kata Olivia dengan tekad bulat. "Lu tenang! Gue pasti bisa kok! Yang penting sekarang, kita tentuin bikin konten apaan." "Hmm... Gimana kalo lu berdua introduce gitu? Kan masih video pertama, bikin yang ringan aja dulu," saran Angga. Olivia setuju. "Boleh juga. Tapi kalo cuma intro doang, durasi video bakal pendek. Bukannya bakal ngebosenin?" Ah, benar juga... Tiga remaja yang kini telah menginjak dunia kedewasaan itu mengangguk membenarkan. Mereka terdiam, memikirkan ide apa lagi yang bisa dijadikan konten menarik untuk saluran mereka nanti. Dan sebuah ide yang cukup gila tiba-tiba muncul begitu saja. "Eh, Liv! Gue punya ide!" seru Hera antusias. Bikin Olivia dan Angga hampir jantungan saja! "Astaga, Her! Empedu gue hampir loncat!" balas Olivia lebay. "Apaan sih?" "Gimana kalo elu bikin konten eksplorasi-investigasi tentang abang lu?!" WHAT?! Ini sih namanya... cari mati. "Gila lu, Her?!" pekik Olivia. Hampir berteriak. Sudah jelas beberapa pasang mata menatap bingung ke arah mereka. "Ngasih ide yang lebih masuk akal bisa nggak sih?!" "Investigasi? Hahahaha!" Angga tertawa keras. Dia tidak habis pikir. "Eh, serius!" seru Hera meyakinkan. "Abang lu kan youtuber juga. Apalagi subscriber dan fansnya udah bejibun. Nanti kita bakal gampang tenar dong!" "Panjat sosial lewat Aghi? Nggak mungkin lah! Sebelum gue minta izin ke dia, Aghi pasti langsung gantung gue di pohon jambu depan rumahnya Kak Bella!" "Anjir, abang lu galak amat—" "Itun!" Kalimat Hera terpotong oleh cowok berkemeja flannel biru donker yang berdiri di samping meja. Olivia lantas melotot dan tersedak s**u stroberinya sendiri saat melihat pelaku yang menyebutkan nama panggil tersebut. Siapa lagi kalau bukan abangnya yang tercinta? Olivia kaget setengah mampus. Seperti baru saja kepergok nyolong mangga tetangga! Mati kutu dan nggak bisa kabur karena kehabisan waktu. Keburu diserbu yang punya rumah. Sama halnya dengan keadaan Olivia sekarang. Dia baru saja kegep ngata-ngatain abangnya sendiri! Mampus! "Dari tadi gua tanyain lagi di mana, kenapa nggak balas, hah? Selesai kelas bukannya pulang, malah keluyuran lu!" omel Ghifari sembari menempelkan telapak tangannya yang lebar di puncak kepala adiknya. Lalu meremas-remas rambut halus sebahu tersebut sampai Olivia mendelik gusar. "Ih! Apaan sih!" tangkis Olivia yang pasang tampang sewot khasnya. "Aghi ngapain ke sini? Ganggu banget!" Reaksi Olivia itu membuat bibir Hera komat-kamit. Berteman dengan Olivia selama beberapa saat ini juga membuatnya mengenal bagaimana interaksi cewek itu dengan abangnya. Tak jauh beda dengan kucing dan tikus. Rasanya seperti nonton kartun Tom And Jerry saja. Dan sebenarnya Hera tidak terlalu peduli dengan kehebohan kakak-beradik ini. Baginya, ini justru tontonan yang sangat menghibur. Akan tetapi, kalau mengingat keperluan untuk membuat karya dan kreasi mereka nanti, sebaiknya Olivia lebih pintar menjaga sikap pada Ghifari. Kalau cowok k*****t itu nggak mau pinjamin kamera dan yang lainnya, gimana? "Abis makan lah!" sahut Aghi. Dia mengambil tas ransel Olivia yang tersampir di sandaran kursi. "Lu pada udah beres, 'kan?" "I-iya sih, Kak," jawab Hera agak gugup. Abangnya si Olivia itu cakep sih, cakep. Cuek dan juteknya itu lho! Nggak nahan! Pantesan Olivia rada susah punya teman, pasti takut sama abangnya! "Ya udah kalo gitu. Sini lu, Itun! Gua antar balik!" Olivia menarik tangannya yang dipegang Ghifari. Agak kasar. Soalnya udah keburu keki banget. Lagi asyik ngobrol sama teman malah disuruh pulang! Olivia kan udah gede! Udah mahasiswa, bukan anak sekolahan lagi! "Ogah!" tolaknya mentah-mentah. "Oliv mau balik sama Hera, sama Angga!" Gemesin nggak sih? Banget! Olivia kalau sudah sama Ghifari tuh pasti bakalan berubah kayak anak kecil umur lima tahun. Persis. "Oke." Ghifari memasang ekspresi serius. "Gua nggak bakal bantuin lu kalo Bunda marah. Gua sih tinggal bilang—" "Iya! Iyaaa! Ugh! Oliv balik sama Aghi nih!" Cewek itu bangkit dari kursinya secara tiba-tiba, membuat kursi berbahan kayu yang dia duduki pun berdecit. Mulutnya mendumal. "Nyebelin banget!" Kemudian cewek berambut pendek sebahu itu pun meringis pada Angga dan Hera. Berpamitan pada dua temannya tersebut sebelum mengikuti Ghifari yang sudah jalan keluar terlebih dahulu. "Gue duluan ya," kata Olivia. "Mending lu balik sama Angga deh, Her. Lumayan, hemat ongkos!" Hera cekikikan. Angga cuma ketawa nggak jelas. "Gue nggak langsung balik. Mau ke Carrefour bentar, belanja dikit," sahut Hera. "Entar gua bisa naik angkot lah, gampang. Lagian nggak jauh dari tempat kost juga." "Beneran, Her?" tanya Angga memastikan. Hera mengangguk. "Kalo gitu, gue balik ke Kampus aja deh. Ngumpul sama anak-anak." Sebelum mendengar Ghifari meneriakkan namanya dari depan pintu rumah makan, Olivia pun segera beranjak dan mengekori abangnya. Tak lupa untuk melambaikan tangannya sekali lagi. Lalu cewek itu dengan kesal mencubit lengan abangnya. "Nyebelin! Nyebelin! Nyebeliiiin!" geram Olivia dengan cubitan mautnya. "Aduh, Lip! Lip! Sakit! Fuaaaakkk!!" Cowok itu jelas tak tinggal diam. Sebagai balasan, dia memiting kepala adingnya di bawah ketiak. Mulutnya terus komat-kamit gemas atas kedurhakaan adiknya. Akan tetapi, sikap kebocahan mereka tak berlangsung lama. Ghifari menghentikan serangannya ketika menemukan salah satu temannya yang asyik menonton pergulatan mereka. "Lihat apaan lu, monyet?!" tegur Ghifari sok sangar. "Anjir, galak amat!" tanggap si cowok yang kini menjatuhkan rokoknya ke tanah. Menginjak puntungnya dan mematikan api. Dan ketika dia mendongak, rasanya Olivia langsung tersambar petir di siang bolong. Jedeeerrrrr!!! "Gua bawa ini bocah sekalian balik, Kaf. Gimana?" Kaf?! Iya, dia Kafka yang itu. Cowok berkaos polos hitam dilapisi kemeja flannel warna abu-abu itu mengangkat bahu. Menatap Olivia yang berdiri kaku di samping abangnya. Dia tersenyum simpul sebelum memberi jawaban. "Ngikut aja kalo gua mah." Cowok itu menampilkan seringaian yang tak berubah sedikitpun. "Adik lu, Bang?" "Bukan. Upil gua, Kaf," sahut Ghifari asal. Hm, rasanya Olivia pengin ngelepas sepatu dan kaos kakinya. Lalu menjejalkan kaos kaki tersebut ke mulut abangnya yang suka ngomong sembarangan. Tapi kasian, dia nggak bisa. Soalnya dia lagi spazzing sampai pening. Telinganya mendadak tuli. Nggak bisa dengerin abangnya ngomong apapun. Ugh! Siapa yang menyangka kalau ternyata dia berada di satu lingkaran sosial dengan cowok bernama Kafka itu? Aduh, Olivia tambah pusing! Apalagi saat Ghifari dengan somplaknya bilang; "Kagak usah melototin adik gua begitu, Kaf! Emang pendek sih. Lu lihatin gimana juga, ini bocah kagak bakal bisa tinggi lagi." Dasar kecebong nggak tau diri! "Iya, Bang. Kagak jauh beda ama sodaranya." Oh, yeah! Good!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD