kisah kasih tak sampai

3491 Words
"Bugnya kagak nahan, njir. Gua sampai hampir ngebanting meja. Gua saranin entar jangan di server itu."   "Alah! Alibi! Lu aja yang lemah."   "Serius, Pak! Kapan gua bohong?"   "Ler, yang benar itu, kapan lu pernah jujur? Congor lu bakal busuk kalo kagak bokis sehari aja."   "Perlu gua belah d**a gua biar lu bisa percaya sama gua, Bang?"   Um... oke. Olivia terjebak dalam situasi paling awkward sekarang. Cewek itu cuma bisa duduk di jok penumpang belakang sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sedangkan orang yang duduk di depan bersama abangnya tersebut adalah cowok yang kurang lebih sekitar dua tahun lalu pernah menolongnya.   Sejak beberapa menit lalu, saat Olivia diseret oleh Ghifari menuju lokasi di mana mobilnya diparkirkan, hingga pada akhirnya dia bertatap muka secara langsung dengan cowok bernama Kafka yang tak lain merupakan teman abangnya sendiri. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sampai detik ini. Duduk diam dengan mulut tersegel. Bingung harus berbuat apa. Tak tahu harus bicara apa. Padahal biasanya cewek itu selalu cerewet. Meski di depan teman-teman Ghifari sekalipun.   "...terus gua juga dapat email yang kemarin kita mention di postingan minggu lalu."   "Oh, ya udah. Kalo gitu hari ini kita ajakin Bima atau Ical aja," kata Ghifari yang masih fokus mengemudi.   "Jangan Bima, Bang. Gua kemarin nyolong item dia, belum diganti sampai sekarang—"   dan bla...bla...bla!   Nggak tau! Olivia nggak ngerti. Dia pakai headset. Iya, beneran. Olivia lagi pakai headset sambil dengerin lagu Taylor Swift yang judulnya You Belong With Me. Ah, jadi pengin berkata kasar karena lirik lagu itu benar-benar bikin risih. If you know what it means.   Cewek berambut pendek sebahu dengan kacamata bulat itu menoleh ke jendela. Menikmati situasi jalanan yang ramai di sore hari. Sekaligus merenungi nasibnya yang miris. Dulu, jika saja dia tidak tahu kalau ternyata Kafka itu pacar sahabat lamanya, mungkin dia akan sangat senang. Tapi sekarang sudah berbeda. Olivia terlanjur patah hati. Jadi cewek itu cuma bisa pasrah saja. Ya... terima nasib.   Olivia melirik pada tas ransel yang tergeletak di sampingnya. Teringat akan sebuah benda yang tidak pernah absen sekali pun untuk dibawa. Apa lagi kalau bukan jaket denim punya cowok yang duduk di samping abangnya sambil bercanda nggak jelas itu?   Sebenarnya, Olivia pengin banget ngembaliin jaket tersebut, tapi takut tengsin. Nanti kalau Kafka ternyata lupa soal kejadian itu, gimana? Ketemu sekali saja dengan kejadian tak biasa itu nggak bisa dijadikan faktor utama agar Kafka masih mengingatnya. Dua tahun, cuy! Lagian juga sejak ketemu tadi mereka nggak saling sapa dan memperkenalkan diri. Cuma bertukar senyum saja. Itu pun sudah hampir bikin Olivia ngayal keblinger.   Detik demi detik, kemacetan dan hembusan udara segar dari pendingin membuat Olivia hampir terbuai oleh rasa kantuk. Jika saja mobil abangnya tak berhenti, mungkin sejak tadi Olivia sudah melesat ke alam mimpi. Cewek itu mengedipkan matanya berkali-kali. Tangannya otomatis melepas headset yang menyumpal kedua telinganya dengan musik.   "Lho, Aghi mau ke mana?" tanya Olivia dengan suara yang agak serak.   Abangnya yang sudah melepas sabuk pengaman pun turun sembari menjawab, "Beli sebat. Lu mau apa? Biar sekalian."   Olivia senyum manis. "Yang biasa. Hehehe."   Dan Olivia baru sadar saat suasana mobil tidak terasa sepi. Kafka masih ada di tempatnya. Duduk dengan ponsel yang menjadi pusat perhatiannya. Berharap apa? Cowok itu akan mengajaknya mengobrol—   "Adiknya Aghi ya ternyata..."   "Hah?"   Kedua bola mata Olivia membesar saat mendengar suara Kafka. Ya, cowok itu baru saja bicara padanya. Terbukti dengan sebuah gerakan yang dilakukannya. Kafka menoleh ke belakang, menggerakkan tubuhnya agar dapat melihat wajah Olivia dengan jelas.   "Elu cewek yang dulu pernah kebocoran anu itu, 'kan?"   Olivia nyengir canggung. Wajahnya seketika memanas. Pipinya pasti sudah merah sekarang. Malu? Oh, bukan lagi! Olivia rasanya udah nggak punya muka!   Eh, tapi tunggu dulu! Kalau Kafka barusan nanya begitu, berarti dia ingat dong?!   Dan sebagai jawaban, cewek itu cuma bisa mengangguk pelan. Kafka tertawa. Dia menaruh ponselnya begitu saja ke pangkuan, lalu menyodorkan tangan kanannya pada Olivia sembari berkata, "Gua Kafka. Senang ketemu lu lagi."   Tidak ingin bersikap jauh dari kata sopan, Olivia menyambut dan menjabat tangan Kafka dan bergumam, "Oliv. Makasih banget dulu udah bantuin. Entah gimana deh nasib aku kalo nggak ditolongin."   Cowok itu tertawa renyah. Sudut mata dan pangkal hidung mancungnya mengerut lucu. Senyum lebarnya memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih dengan dua gigi terdepan layaknya kelinci yang menggemaskan.   "Santai. Dulu nyokap gua juga pernah begitu soalnya. Gua langsung disuruh lepas jaket buat nutupin itu. Jadi ngerti harus gimana kalo ada kejadian begitu." Kafka membenarkan duduknya. Mengangkat kaki kanannya agar merasa lebih nyaman. "Betewe, jaket gua masih ada di elu, 'kan?"   Olivia lantas mengangguk cepat. "Iya, Kak. Ada di aku." Cewek itu dengan sigap membuka ranselnya dan mengambil jaket denim milik Kafka. Sebelum menyodorkan pakaian tersebut, dia menyemprotkan cologne miliknya terlebih dahulu. Takut bau. "Ini, Kak."   "Lho? Dibawa?"   "Hehe, iya, Kak." Olivia nyengir dengan polosnya. "Sering aku bawa buat jaga-jaga siapa tau kalau nanti ketemu lagi."   Kafka melongo. Mulutnya terbuka, namun tak mengeluarkan sebuah suara sama sekali.   "Tenang aja, Kak. Aku nggak pernah pakai jaketnya lagi kok. Beberapa kali aku cuci karena takut apek soalnya disimpan di tas sih. Tapi, beneran, aku nggak pernah pakai kok!"   Kafka masih diam. Tetap setia dengan tampang yang sama.   Olivia pun meringis. Hatinya terasa seperti diiris. Perih. Dia semakin serba salah. Bingung harus berkata apa. Mungkin seharusnya dia tidak perlu menjelaskan itu semua dengan sangat mendetail. Terkutuklah mulut ceriwisnya yang tak pernah bisa diajak kompromi. Setidaknya jaga image sedikit.   Tidak ada tanggapan, cewek itu perlahan menarik kembali jaket yang dia sodorkan. "Um... kayaknya nggak pantas dibalikin ya, Kak? Kan jorok, bekas kena itu..."   "Hah?"   Hanya gumaman itu yang menjadi respon Kafka. Alisnya berkerut saat Olivia menaruh jaket denimnya ke pangkuan.   "Aku ganti aja ya, Kak, jaketnya. Soalnya pasti nggak enak dipakai kalo ingat sama itu."   "Eh, nggak! Nggak usah--"   Pintu kemudi mobil tiba-tiba terbuka. "Apanya yang kagak usah?" timbrung Ghifari dengan raut muka masam. Kepanasan. "Kagak usah apaan, hah?"   Duh, sangar betul!   Kafka memutar matanya jengah. "Kagak ngapa-ngapa!" sahutnya separuh kesal karena obrolannya terputus oleh teman kampretnya tersebut.   Ghifari mengangkat kedua bahunya. Dia memutar tubuhnya dan menyodorkan sebuah kantong plastik kecil berisi dua kotak s**u stroberi dingin. "Nih, Tun. s**u lu."   Olivia melotot seketika. Dalam hati dia mengutuk abangnya yang sembarangan memanggil dirinya dengan sebutan menyebalkan itu. Apalagi di depan Kafka. Sudah cukup Hanif, Juna dan Fatur yang ngakak habis-habisan saat mendengar nama panggilnya yang terkesan sangat pribumi tersebut. Tidak ingin memperkeruh suasana, Olivia pun menyambut kantong plastik tersebut. Meski tak dapat dipungkiri bahwa wajah merengutnya terus terpajang.   "Lha, punya gua mana, Bang?" tagih Kafka.   "Emang lu tadi nitip apaan?" Ghifari menyalakan mobilnya. "Eh, tapi, kalo lu emang nitip, lagian gua juga males kok belinya."   Kampret, kan?   Iya, emang gitu. Olivia sampai capek. Maka dari itu, dia memilih untuk memasang kembali headsetnya lalu memutar lagu dengan volume nyaring. Dan ketika dia tersadar akan jaket yang masih ada di pangkuannya, dengan berat hati, dia juga memasukkan kembali jaket denim milik Kafka tersebut ke dalam tas ranselnya.   Rasanya seperti baru saja ditolak mentah-mentah setelah menyatakan perasaan. Eh, boro-boro! Sebelum ketemu saja, Olivia sudah potek duluan. Kecian, kecian, kecian.             ¤¤¤¤             Hal pertama yang dilakukan Olivia setelah mengetahui bahwa ternyata Kafka justru ikut ke rumah untuk menghabiskan waktu bermain game online bareng abangnya adalah... curhat. Iya, curhat. Dan orang yang dinobatkan sebagai pendengar setia adalah Hera. Siapa lagi?   Olivia tertunduk sedih di hadapan ponselnya yang terhubung dengan Hera melalui fitur video call. Cewek itu baru saja menjelaskan kronologis secara mendetail tentang Kafka. Dari bagaimana dia bertemu dengannya, menyimpan rasa sekian tahun untuk seseorang yang tak pernah ditemui, penyebab dia menyukai s**u rasa stroberi, asal muasal jaket denim ukuran laki-laki di dalam ranselnya dan itu bukan milik abangnya, hingga sebuah fakta mengejutkan mengenai status Kafka yang sebenarnya. Bahkan termasuk ruang lingkup pergaulan Ghifari yang ternyata terdapat Kafka di dalamnya.   Lalu, bagaimana reaksi Hera atas semua kisah kasih tak sampai yang polos namun tersirat sangat menyedihkan ini? Cewek bermata sipit keturunan Tionghoa itu speechless. Benar-benar lupa dengan cara bicara. Dia memerlukan beberapa saat agar dapat mencerna semuanya.   "Mingkem, ih! Mulut lu bisa kemasukan laler!" kata Olivia keki.   Sebel banget. Pasalnya, Hera cuma diam saja menatap wajah Olivia dari layar ponselnya.   "Gue... nggak tau harus komentar apa, Liv." Dia meniup poni tipis yang menutupi dahinya. "Terus, sekarang gimana?"   Olivia hanya bisa mengangkat kedua bahunya untuk dihentak lemas. "Gue juga nggak tau, Her. Bingung."   "Hmm... kalo menurut gue sih, ya mending lu lupain aja. Move on-lah. Cowok masih banyak kok," saran Hera sekenanya. Melihat Olivia yang menunduk lebih dalam, dia menambahkan, "Emang sih, nggak semudah yang diomongin. Tapi kalo nggak begitu, emangnya lu sanggup bikin teman lu itu sedih? Mereka pacarannya udah lama lho! Mau lu jadi pelakor?"   Cewek yang katanya sedang dilanda kebimbangan itu pun melotot. "Nggak lah! Gila lu!"   "Hahaha. Kalo gitu, ya udah. Tuh cowok kan emang udah jadi pacar orang. Apalagi yang jadi pacarnya itu teman lo dari kecil." Hera senyum simpul. "Coba lu pikir deh, Liv. Semua orang bisa mengalami kejadian kayak gitu, kalo saat itu yang ngebantuin elu kakek-kakek bangkotan, apa elu juga naksir? Nggak, 'kan? Jadi, ya anggap aja orang yang nolongin lu waktu itu tuh kakek-kakek."   "Mana ada kakek-kakek cakep kayak diaaa?!" erang Olivia. Cewek itu mengacak-acak rambutnya. Frustasi. "Gue nggak tau harus gimana kalo ketemu tuh cowok. Apalagi dia masih ada di rumah gue sampai sekarang!"   "WHAT?! Itu cowok belum pulang-pulang?!" Nampak Hera menoleh ke arah jam dinding kamar kostnya. "Udah jam sebelas, njir."   Olivia cemberut. "Abang gue emang biasa gitu... Teman-temannya sering main ke sini dan selalu lupa waktu. Bahkan sampai nginap segala."   "Hahahaha." Hera ketawa lagi. "Kalo gitu, elu jangan keluar kamar!"   "Emang. Sehabis sholat isya, gue nggak pernah keluar kamar lagi sampai sekarang. Soalnya di luar lagi rame, ada teman-temannya Aghi."   Bukannya turut prihatin, mata sipit Hera justru terlihat berbinar-binar. "Banyak, Liv? Cakep-cakep, nggak? Sesekali nanti gue nginep di rumah lu ya, Liv... Terutama pas teman-teman abang lu lagi pada ngumpul!"   "Dih!" cibir Olivia. "Kalo dengar cowok ngumpul aja lu semangat. Ini gimana nasib gue, Heraaa? Sumpah ya, gue nggak tau sama sekali kalo ternyata Aghi temenan sama dia! Dan sekarang gue malah ngurung diri di kamar, takut keliaran di rumah sendiri!"   "Alah, lebay lu!" balas Hera dengan dengusan khasnya. "Kalo elu begini, entar itu cowok malahan jadi gede kepala. Lagian cuek aja deh, Liv. Anggap kayak elu ketemu sama teman-teman abang lu yang lain aja."   "Hmm... gitu ya?"   Hera memutar bola matanya. "Iye, monyeeettt."   Sialan. Berniat ingin membalas, tiba-tiba pintu kamar Olivia terbuka lebar. Menampilkan Aghi dengan wajahnya yang menyebalkan. Cowok yang terpaut lima tahun lebih tua darinya itu nyelonong masuk ke kamar menuju meja rias. Dan tanpa mematikan sambungan video call, Olivia mulai berteriak.   "Astaga, Aghi!! Nggak bisa ketuk pintu dulu apa? Kalo Oliv lagi ganti baju gimana?!" pekik Olivia marah.   "Kelihatan dong," jawab Ghifari asal. Dia membuka beberapa kotak berisi aksesoris milik Olivia tanpa ada basa-basi pada adiknya tersebut.   Ugh! Nyebelin!   "Ini kamar Oliv! Kamar cewek! Nggak ada sopan-sopannya banget sih!"   "Ini tuh kamar adik gua. Adik gua yang dulu sering mandi bareng gua dan minta pakein celana dalam motif bunga matahari sama gua."   Olivia kicep. Matanya kedap-kedip. "Ta-tapi kan itu waktu Oliv masih kecil! Oliv udah gede! Abang, ih!"   Akhirnya Ghifari memutar badan untuk menatap adiknya yang sudah kesal minta ampun. "Terus?" tanyanya.   "Ya terus, Aghi harusnya ketuk pintu dulu! Oliv kasih tau Bunda—"   "Nanti aja kasih taunya. Bunda udah bobo," potong Aghi sembari kembali mengubek-ubek meja rias Olivia. "Pinjam lipstik lu dong, Tun. Yang warnanya ngejreng."   "Nggak punya!"   "Terus, ini apaan?" Ghifari menunjuk sebuah kotak berisikan pewarna bibir dengan berbagai macam warna. "Ini apaan?"   "Nggak mau! Oliv nggak mau kasih!" ketus si adik yang merajuk. Cewek itu meninggalkan ponselnya di atas kasur, mencengkram kaos tanpa lengan Ghifari sembari menarik-nariknya ke arah pintu kamar. "Keluar! Oliv mau bobo!"   "Bobo apanya? Lu barusan lagi VC, 'kan? Sama siapa, Tun? Cowok yang tadi siang?! Udah mulai ganjen ya, main pacar-pacaran?!" tuduh Ghifari dengan suara yang tak kecil.   Malu banget! Olivia rasanya tengsin abis waktu lihat teman-teman Ghifari yang lagi nongkrong di ruang tengah. Dan tentu saja, mereka mendengar ocehan si abang.   "Apa siiiih!!"   Bukan Ghifari namanya kalau dia dengan mudah mengalah pada adik manjanya. Cowok itu menahan tubuhnya dengan berpegangan pada sisi pintu kamar agar tidak bergerak sedikitpun. Olivia tentu memerlukan tenaga lebih besar untuk mengusir abangnya. Bodo amat deh dengan tawa renyah teman-teman Ghifari yang menonton! Sudah kepalang malu begini!   "Keluar! Keluar, nggak?! Atau Oliv kasih tau Mbak Vivi kalo Aghi tuh cowok kardus yang suka modusin maba?!"   OOOHHH!!!   Go~ Bitjh! Get out of the way~   Ghifari kicep. Olivia berkacak pinggang. Dan cowok-cowok somplak yang duduk di ruang tengah melongo takjub.   Detik selanjutnya, Olivia tersadar atas omong kosong apa yang baru saja dia ucapkan saat salah satu teman karibnya Aghi berdiri dari sofa. Dia menghampiri cewek itu dan tak lupa memberi beberapa tepukan pada bahu sahabatnya. Melerai pertikaian dua saudara kandung tersebut.   "Udah malam, Oliv istirahat aja ya?" bujuk cowok jangkung itu sembari mengusak pucuk kepala Olivia.   Cewek itu mengangguk lemah dan menjawab, "Iya, Mas Fatur."   Namun sebelum Olivia masuk kembali ke kamar, Fatur bertanya, "Mas boleh pinjam lipstik yang nggak kamu pakai lagi, Liv? Buat main sama anak-anak."   "Oh? Iya, Mas. Boleh. Sebentar ya..." Cewek itu lantas mengambil salah satu lipstik berwarna merah keungu-unguan yang nyentrik. Tentu saja dia tidak akan memakainya lagi. "Ini, Mas."   Fatur menggumamkan kata terima kasih. Lalu dia menyarankan Olivia untuk kembali masuk ke kamar untuk beristirahat. Semua terlihat santai dan wajar. Rukun dan damai. Hingga pintu kamar cewek itu tertutup, baru Fatur menghampiri Ghifari yang mendecih.   "Kadang gua bingung, abangnya Oliv itu gua apa elu, Tur." Sindiran Ghifari sukses membuat teman-temannya tertawa ngakak.   "Elu tuh udah kayak Hitler kalo sama adik sendiri, Ghi!" kata Juna. "Kurang-kurangin lah... Oliv udah gadis. Bisa aja lagi PMS atau gimana gitu, 'kan?"   Ghifari berakhir duduk di samping Kafka dengan tangan yang tak berhenti memijat pelipis. "Gua mulu yang salah, anjir," makinya. Membuat Kafka ikut tertawa bersama lima temannya yang lain. Matanya diam-diam melirik ke arah pintu kamar Olivia yang telah tertutup rapat.         ¤¤¤¤         "Liv... Oliv sayang... Bangun, ayo sholat subuh dulu."   Iya, Kafka. Bentar.   "Cepat bangun, terus wudhu dulu. Sholat. Kalo sudah, langsung ke dapur."   Iya, bikinin sarapan buat kamu, 'kan?   "Olivia!!"   Sabar... Lagi ngumpulin nya—WANJEER!!   Muka Olivia basah. Kecipratan air. Entah air dari mana, yang jelas, saat dia membuka mata, yang dia lihat adalah ekspresi kesal Bunda serta sebotol air mineral di tangannya. Serius, Olivia sedang berada di antara dua dunia. Separuh sedang berkelana di alam mimpi dan sisanya ngos-ngosan kaget hampir mampus sambil mengelap wajah ke selimut berwarna pastel kesayangannya.   "Bangun! Sholat! Bantuin Bunda di dapur! Sekarang!"   Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan Olivia yang langsung berlarian keluar menuju kamar mandi saja sudah cukup. Sang Bunda juga cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak gadisnya. Kaki-kakinya yang tak jenjang berhenti mendadak di depan kamar mandi kala seseorang membuka pintu.   Mampus! Yang dimimpiin beberapa saat lalu muncul di hadapan Olivia!   Cewek itu refleks mengangkat tangannya untuk menutupi sebagian wajah. Sadar dengan keadaan rambut yang benar-benar berantakan, Olivia cepat-cepat merapikannya. Belum lagi baju tidur bermodel terusan warna merah muda motif garis vertikal yang kusut.   Subuh-subuh sudah ketiban malapetaka! Ada si kekasih tak sampainya!   "Permisi, Kak... Oliv mau ke kamar mandi," kata cewek itu dengan suara agak serak.   Kafka mengulas senyum simpul. Tangannya terangkat untuk menyisirkan jari ke rambutnya yang agak basah. "Mau wudhu ya?"   Olivia yang masih menutupi mulut serta pipinya pun mengangguk sebagai jawaban. Dan tanpa menunggu Kafka bicara lebih lanjut, dia segera melesat masuk ke kamar mandi. Menyisakan Kafka yang masih berdiri di sana.   Sedangkan Olivia, cewek itu rasanya pengin nangis saja. Malunya tak terbendung. Siapa yang menyangka kalau Kafka ternyata numpang menginap? Dia pikir, cowok itu sudah pulang tadi malam. Kalau sudah begini, mau ke mana dia akan menyembunyikan wajahnya jika berhadapan dengan cowok itu? Tak terbayang bagaimana kusut dan kucelnya Oliv tadi.   Eh, tunggu!   Buat apa Olivia memikirkan hal-hal seperti ini? Toh, cowok itu sudah jadi punya orang lain. Dan orang lain tersebut adalah Tasya, sahabat semasa kecilnya sendiri. Mau kucel, jelek, bau, atau berbagai hal-hal yang biasanya bikin cowok ilfeel lainnya tidak akan memberikan pengaruh apapun.   Yang lebih memalukannya lagi, tadi Olivia sempat bermimpi tentang Kafka. Rasa-rasanya dia pengin terjun ke tebing jurang nan curam saja. Untung tadi yang membangunkannya adalah Bunda. Jika itu Ghifari, Olivia pasti sudah habis di tangan abangnya itu.   Cewek itu pun cepat-cepat cuci muka, sikat gigi, dan berwudhu. Lalu dia segera kembali ke kamar untuk melaksanakan kewajibannya sebagai perempuan muslimah. Tentu saja sebelumnya dia harus melewati ruang tengah yang menjadi tempat Ghifari Cs. sholat subuh berjamaah.   Maklum, mesjid lumayan jauh dari rumah. Dan Olivia dapat bernapas lega saat dia telah kembali memasuk kamarnya. s**l, saat di kamar mandi tadi, dia baru sadar kalau tidak sedang mengenakan b*a. Dalam hati, dia hanya berdoa agar pacar temannya itu tidak menyadari kondisi tersebut.   Selesai melaksanakan kewajiban, Olivia pun segera kembali keluar dari kamar. Tanpa menyetor sebuah lirikan, dia langsung menuju dapur. Walaupun Ghifari dan teman-temannya sedang bercengkrama di ruang tengah keluarga, Olivia tidak peduli. Dia mendengar namanya disebutkan. Ada yang memanggilnya. Namun cewek itu memutuskan untuk tidak mengindahkannya. Berpura-pura tidak mendengar.   Dan benar saja, saat dia mendatangi Bunda dan mempersiapkan bahan masak untuk sarapan nanti, salah satu teman Ghifari yang memanggilnya tadi menghampiri. Cowok dengan rambut agak keriting itu menjawil bahu Olivia. Membuat anak gadis semata wayang di rumah itu pun menoleh.   "Eh, Kak Hanif..." kata Olivia dengan senyum merekah. "Kenapa, Kak? Udah lapar ya?"   Hanif sumringah lebar. "Banget. Mau masak apa, Bunda?"   "Nasi goreng sosis," jawab Bunda, "kebetulan Bunda beli banyak sosis kemarin. Lagipula, kan memang sudah jadwalnya kalian bakalan nginap di sini setiap weekend."   "Hehehehe. Tau aja, Bunda." Hanif cengengesan. Dia mengangkat sebuah kantong plastik dan menaruhnya di meja makan. "Ini, Bun. Bakpia titipan Mama. Habis pulang dari Jogja."   Bunda menghentikan kegiatannya dan menyambut plastik bawaan Hanif. "Makasih ya, Nif. Sampein salam Bunda buat Mama kamu ya?"   "Siap, Bun."   "Buat Oliv mana, Kak?" tanya si bungsu dengan wajah dicemberutkan. "Cuma Bunda yang dikasih oleh-oleh?"   "Tadi aku kan manggil kamu biar bisa ngasih ini. Tapi karena kamu nggak mau noleh, jadi aku kasih aja ke Bunda."   Olivia manyun. "Idih! Kok gitu sih!"   "Hehehehe. Siapa suruh!" Hanif menghadiahi Olivia dengan sebuah ekspresi mengejek. "Pakai acara sok-sok nggak dengar. Emangnya suaraku sekecil apa? Orang sampai dapur aja kedengaran. Ya, 'kan, Bunda?"   Sang Ibu hanya mengangguk dengan sebuah senyum atas  menggemaskannya dua anak yang sedang berdebat ini. Ada-ada saja yang mereka bahas. Belum lagi keisengan Hanif untuk mengerjai Olivia. Tidak jauh beda dengan putra sulungnya, Ghifari.   "Oliv nggak dengar, Kak. Oliv pakai headset," sahut cewek itu asal.   "Mana headsetnya?"   "Tuh, di kamar."   "Berarti bohong."   "Nggak, ih!"   Hanif menyilangkan tangannya di d**a sembari bersandar ke lemari. "Katanya nggak dengar waktu aku panggil gara-gara pakai headset."   "Hm, kurang tepat." Olivia melepas pisaunya dan berkacak pinggang. "Oliv dengerin lagu di kamar, terus lagunya terngiang-ngiang di telinga. Jadi, Oliv nggak tau Kak Hanif manggil."   Cowok itu memutar bola matanya. Dia mengacak-acak rambut Olivia dengan gemas. "Makin gede, makin jago sekarang ngelesnya ya, Bun?"   "Ya begitu deh, Nif," sahut Bunda. "Kebiasaan suka debat sama Aghi. Jadi makin terlatih dia buat ngejawab pertanyaan yang nggak jelas."   Hanif ketawa kencang. Dari tempatnya berdiri, Olivia tahu kalau teman-temannya Ghifari pasti mendengar tawa itu. Dan sebentar lagi salah satu dari mereka pasti akan datang. Nimbrung. Tak perlu diragukan lagi. Arjuna pun tiba dengan senyuman khasnya.   "Seru banget, ada apaan nih?"   "Telat, Jun," sahut Hanif. "Udah habis serunya." Kemudian dia beralih ke Olivia. "Liv, temenin Kakak keluar yuk? Cari kue-kue enak buat dicemil."   "Sama Kak Juna aja. Oliv sibuk nih, bantuin Bunda."   "Males ah! Masa pagi-pagi boncengin cowok? Sama kamu aja lah, Liv. Biar dikira suami-istri gitu," bujuk Hanif tak tahu malu.   "k*****t," dengus Juna. Lalu tertawa juga.   Olivia mendengus. "Kalo itu alasannya, Oliv makin mantap buat nolak. Bweee!" Dia menjulurkan ujung lidahnya pada Hanif. "Lagian bentar lagi juga nasi gorengnya beres. Para cowok-cowok, tolong kembali ke habitatnya. Jangan gangguin kita yang lagi konsen masak!"   Hanif dan Juna tertawa lepas saat Olivia mendorong mereka untuk menjauh dari dapur. Kaki mereka mau tak mau ikut bergerak hingga kembali berada di ruang tengah. Menjadi pusat perhatian teman-teman karena telah sukses membuat Olivia kesal.   Ngerjain Olivia merupakan prestasi bagi mereka. Patut dibanggakan. Terutama di depan Ghifari. Seperti sudah menjadi kewajiban paten saja. Kurang pas kalau rumah Om Kautsar tidak terdengar pekikan jengkel putri bungsunya. Namun hanya cukup sampai di situ saja. Kalau sampai Olivia menangis... percaya deh, pelopor tercetusnya gerakan 'kerjain zaitun' itu bakalan jadi orang pertama yang akan menghajar si penyebab adik manjanya mewek.   Pemandangan terlampau akrab antara Olivia dan dua teman abangnya itu telah berhasil membuat kening seseorang berkerut. Cewek itu terlihat sangat menyenangkan dan supel terhadap siapapun. Namun tidak bagi seorang Kafka.   Apakah karena dia baru bertemu dengannya hari ini? Tidak. Pasti bukan karena itu. Karena tadi sore dia melihat Olivia menyapa sopan Tria yang juga pertama kali bertemu dan main ke rumah ini. Mereka bahkan basa-basi santai sampai berbagi tawa. Sedangkan dengan Kafka, semua terasa sangat kaku dan canggung. Apakah ada yang salah?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD