2

1022 Words
Satria menatap sekelilingnya dengan bosan. Diperhatikan, didekati, dipuja.. Itu membuat dirinya jenuh. Jenuh dengan orang-orang yang menilai sesuatu berdasarkan cover. Padahal sifat Satria cenderung egois dan cuek, namun bagi orang lain sifatnya yang seperti itu tertutupi hanya karena ia memiliki paras yang tampan. Sudah dua bulan Satria resmi menjadi siswa SMA. Tidak ada kegiatan atau hari spesial yang dilaluinya. Semuanya monoton dan membosankan. Ia hanya mengikuti kegiatan OSIS di sekolah dan klub basket. Sebenarnya ia malas mengikuti kegiatan di luar jam pelajaran, namun daripada harus pulang kerumah yang sepi lebih baik mengisi waktu luang dengan kegiatan. “Hei, lagi apa?”Tanya Putri menghampirinya yang sedang duduk di belakang taman. Satria menatap Putri, gadis yang akhir-akhir ini dekat dengannya. Satria nyaman bersama Putri karena Putri tidak pernah menunjukkan ketertarikan apapun padanya sehingga membuatnya lebih leluasa dalam komunikasi. Selain cantik, supel dan smart, Putri juga sama seperti dirinya seorang anggota OSIS, sehingga membuat mereka banyak menjalankan aktifitas bersama-sama. “Suka suasana sepi ya?”Tanya Putri. Satria mengangguk dan menatap langit yang cerah. “Kenapa?”Tanya Satria menatap Putri yang kini mengikutinya menatap langit. Satria menggeleng kepala karena sempat terpesona akan kecantikan gadis itu. Ia kembali menatap langit... merasakan ketenangan. “Besok ada tanding basket ya? Gue dengar lo ikut tim inti?”Tanya Putri. Satria mengangguk. “Tau darimana?" “Dari Kak Alya manajer tim basket cewek. Hebat banget lo baru masuk udah jadi tim inti! Besok gue liat lo tanding deh sekalian semangatin, siapa tau makin semangat kalau ada cewe cantik yang datang!" Satria hanya menatap putri datar. “Thanks," “Eh itu Christin kan? Anak kelas sebelah juga anggota Osis?”Tanya Putri menunjuk Christin yang tengah berjalan bersama temannya dari arah pintu belakang. Sepertinya mereka baru saja pergi keluar untuk jajan. Karena hanya pintu tersebut yang menghubungkan murid dan pedagang kaki lima di mana harga makanan lebih murah dibandingkan makanan kantin yang relatif mahal. Satria melirik sebentar,lalu kembali menatap langit. Tidak tertarik. “Tin!”Panggil Putri di sebelah Satria. Christin yang merasa di panggil berjalan menuju arah Putri dan Satria bersama sahabatnya, Raina yang tengah menenteng keresek hitam berisi berbagai makanan dan gorengan. “Darimana Christin?”Tanya Putri ramah. “Panggil Utin aja, formal pisan Christin. Abis jajan cilok sama gorengan nih, mau?”Jawab Utin menyodorkan jajanannya. “Bukannya makanan kayak gitu ga sehat ya?”Tanya Putri. “Ah kata siapa. Makanan sehat juga belum tentu dibuatnya bersih,”Balas Utin santai. Putri tertawa pelan. “Eh ini kan teman lo yang nyanyi kabogoh jauh itu ya? Pas kita ospek." Satria menatap orang yang dimaksud Putri cepat. Dalam diam mengamati gadis yang kini tengah nyengir dan memakan gorengannya dengan cuek. “Gokil lo nyanyi waktu itu! Keren!" Raina tersenyum masam, merasa malu karena telah diingatkan momen memalukan itu. “Lo liat dia nyanyi kan, Sat? Yang dikasih hukuman gara-gara telat datang pas hari pertama ospek." Satria tidak menanggapi dan hanya diam menatap Raina yang kini pura-pura menatap sekeliling. “Hayu ke kelas, Tin! Lapar!”Ajak Raina menarik tangan Utin seperti anak kecil. Membuat Satria gemas karena gadis ini sangat lucu. Christin mengangguk dan menggakkkndeng tangan Raina. “Gue duluan ya. Eh katanya besok lo tanding ya Sat, good luck ya!" Satria masih menatap punggung Raina yang menjauh. Hingga tiba-tiba langkah Raina terhenti dan tertawa. Entah apa yang ia tertawakan bersama sahabatnya. Pertama kalinya Satria melihat gadis menarik itu tertawa. Pertama kali dalam seumur hidupnya ia mengakui kecantikan seorang gadis. Raina. Menyebut nama itu membuat hatinya berdesir hangat. “Kenapa?”Tanya Putri melihat senyum kecil tersirat di muka datar Satria. “Hanya menemukan sesuatu yang baru," “Apaan? Kasih tau dong!" Satria hanya tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Putri yang berdebar sendiri menatap senyum indah di paras tampan Satria. ... “Jadi, sabtu lo ke pangandaran Tin? Asyik euy ke pantai.”Ucap Raina begitu masuk ke dalam kelas. “Malas gue sebenarnya, mending di rumah nonton TV. Tapi Mama nyuruh ikut pisan, ya kalau ada teman sebaya mah gue hayu-hayu aja, lah ini ibu-ibu arisan RT hungkul." Raina tertawa. “Biarin atuh Tin, itung-itung lo ngasuh! Siapa tau salah satu emak-emak disana itu calon mertua lo," Utin mendengus. “Eh Na, lo sepemikiran sama gue enggakkkk?" “Apaan?" “Si Satria sama Putri, gue berani taruhan mereka itu pacaran," “Bagus atuh, bukannya kita pendukung hubungan mereka?" “Tapi yah.. Enggakkkk kebayang sih mereka kalau langgeng sampai nikah, anaknya gimana ya Na?" “Ya cantik atau cakep lah. Pabriknya aja kece gitu." Utin mengangguk. “Mereka kalau di ruang osis berdua mulu kayak perangko, gue yang kadang sebelahan sama mereka jadi malas sendiri." “Ah bilang aja lo ngiri pengen punya cowo ganteng macam Satria, Tin!" “Ya ngirilah! Itu mah bukan rahasia umum, gue yakin yang lain juga sama." “Gue enggakkkk tuh." “Ya lo mah beda," Raina nyengir. “Gue cuma sekedar nge fans aja tapi enggakkkk terlalu di ambil ke hati juga dan lagi.. Ahhh gue sama sekali enggakkkk ada niatan pacaran di SMA, Tin." “Bapak Ibu lo enggakkkk ngijinin?" Raina mengangkat bahu. “Cuma prinsip aja. Gue maunya di lamar bukan di tembak hahaha." “Lagak lo Na, badan leutik tapi pikiran kolot," “Biarin!" ... Sepulang sekolah Satria dengan sengaja keluar terlebih dahulu. Ia duduk di bangku koridor dekat kelas Raina. Sengaja ingin kembali menatap gadis mungil itu sekali lagi. Tidak ia hiraukan tatapan dari siswi lainnya yang menatap heran Satria heran, mengingat jarak kelas Satria dan Raina cukup jauh. Mata Satria langsung menangkap pemandangan yang ia tunggu. Gadis kecil itu kini tengah berjalan sambil berbicara dengan sahabatnya, Utin. Satria sedikit kecewa karena Raina sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Begitu Raina melewatinya Satria berdiri dan berjalan di belakang Raina. Menatap punggung mungil itu dengan lekat. Sesampainya di parkiran, Satria berjalan menuju mobil yang ia parkirkan di ujung. Ia kembali menatap Raina yang kini tengah mengambil sepeda. Satria tersenyum menatap Raina yang dengan serius membuka gembok sepeda, wajah mungil itu terlihat sangat menggemaskan. Satria sekuat hati menahan keinginan mendekati Raina dan hanya mengamati Raina dari kejauhan. “Belum waktunya.”Bisik Satria pada dirinya sendiri.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD