TUJUH PULUH LIMA: WORRYNESS

1341 Words
April berkedip kaget mendengar kalimat Bu Sabrina. Cepat - cepat dia mengubah raut wajahnya menjadi poker face. Tapi sepertinya terlambat. Bu Sabrina sudah melihat semuanya. “Dan ternyata kalian selama ini kalau kerja bareng karena rumah kalian bersebelahan. Bukan karena mendadak ada urusan pekerjaan yang mengharuskan kalian bareng seperti kata Mas Juned.” April pucat seketika. Kok orang ini bisa tau? Dari mana?! Hawa dingin merambat naik merayapi tulang punggungnya, merambat naik dengan pasti. Bu sabrina sudah tau?! Sejauh mana dia tau tentang semua ini?! Tapi April nggak boleh langsung menyerah, kan. Paling nggak, dia harus pura - pura bodoh sebentar. Mengelak sedikit. Yah, mencoba peruntungannya. Siapa tahu Tuhan masih mau sedikit berbaik hati pada pendosa seperti April. “Maksud Kakak apa, ya?” Tanya April berusaha terdengar dan terlihat sepolos mungkin. Bu Sabrina mendengus gusar. “Maksud Kakak apa, ya.” Dia menirukan pertanyaan April dengan suara yang sengaja dibuat menye - menye. “Nggak usah sok polos.” Dia lalu menarik April kasar ke depan cermin dan menyibak kerah kemejanya hingga dua kancing teratasnya lepas. “Lihat itu.” April sudah lihat. Sejak siang tadi Janu bilang ke dia, dia sudah lihat. Dia juga sudah berusaha untuk menutupi bagian itu dengan cussion yang dia bawa. Jadi agak samar, tapi nggak sepenuhnya menghilang. Yang nggak April perkirakan adalah, ternyata di balik kemejanya, ada lebih banyak lagi! Dia jadi seperti habis kesetrum ubur - ubur. Dan kenapa bisa Bu Sabrina tahu?! Dia saja yang yang punya badan nggak tahu! “K-kak, ini…” “Ini hasil karya Mas Juned, kan? Pinter sekali kamu, April. Berlagak nggak tertarik sama Mas Juned kalau di kantor, ternyata kelakuan kamu selama ini begini di balik punggung semua orang?” “Nggak gitu, Kak…” “Diem! Saya belum selesai ngomong!” Bentakannya membuat April seketika diam. Bukan karena April jiper, tapi karena khawatir malah jadi gaduh dan menarik perhatian banyak orang. Bisa gawat banget kalau itu kejadian. Satu ini aja belum tentu April bisa melawan. “Berapa kali April, saya datang ke kamu dan bilang jangan halangi saya untuk mendapatkan Mas Juned? Hmm?” Bu Sabrina sama sekali nggak menjambak, menampar apalagi mencakar April. Dia nggak melakukan semua itu. Tapi beradu tatap dengannya dari cermin saja sudah membuat April gemetar ketakutan. Seram! “T-tapi…” “Saya serius, April. Kamu gadis yang baik. Meskipun saya nggak suka sama kamu sejak awal karena kamu terlalu lurus dan sepertinya Mas Juned selalu saja membela kamu, tapi saya sungguh - sungguh. Ini peringatan, April. Jangan deketin Mas Juned lagi.” Bagaimana bisa?! Kenapa nggak Bu Sabrina bilang sendiri sama Jun?! Yang deketin kan bukan dia. Dia hanya menerima saja karena dia juga tertarik pada Jun. Tapi April nggak pernah berusaha untuk mendekati Jun! Sayangnya itu hanya bergaung di kepalanya saja. “Apalagi kamu juga main - main sama anak IT itu. Kamu nakal sekali April. Nggak cuma sama Mas Jun aja, tapi juga sama cowok lain. Ck ck ck. Saya nggak akan pernah menyangka kalau kamu cewek yang seperti itu kalau saya nggak lihat sendiri dengan mata kepala saya. Menurut kamu, apa yang terjadi kalau semua pegawai tau kelakuan kamu ini?” April terkesiap keras. Nggak mungkin Bu Sabrina beneran… “Oh, saya serius loh. Kapan saya pernah main - main dengan omongan saya, April?” “J-jangan Kak. Please. Saya mohon.” Bu Sabrina malah tertawa dengan bengis. Membuat April semakin takut, karena orang yang bersamanya kali ini lebih mirip dengan orang yang lagi kesurupan. “Apa kamu memohon kayak gini juga pas lagi sama Mas Juned? Hmm? April yang nakal.” Lalu sama mendadaknya seperti saat dia tertawa tadi, ekspresinya mengeras. Matanya menyipit mengerikan. “Buktiin sama saya kalau nggak layak diperlakukan kayak gitu. Bocor atau nggaknya fakta ini ke karyawan lainnya, itu tergantung kamu, April. Bukan saya.” *** Mei keluar dari kamarnya karena bau air mendidih dan bunyi desisan yang tak kunjung berhenti dari tadi. Penasaran. Siapakah yang sedang pakai dapur? April sudah pulang belum, ya? Tadi dia pulang, mandi dan langsung tidur karena seharian ini capek sekali. Siapin nikahan sambil kerja itu capek luar biasa! Udah deh, cukup sekali saja. Jangan diulang - ulang, amit - amit! Dia buru - buru lari saat melihat kompor menyala dengan panci yang nyaris kering di atasnya karena dibiarkan terlalu lama mendidih. Setelah mematikan kompor, dia berbalik, berkacak pinggang pada satu - satunya makhluk hidup yang ada di sana yang entah sedang tersesat di alam mana. "Woy!" Benar saja. Bahu adiknya terlonjak kaget saat mendengar suaranya. "Hah?" "Hoh hah heh heh." Kesel banget dia dikSih pandangan tanpa dosa April seperti itu setelah keteledorannya yang paripurna. "Gue nih bentar lagi mo nikah, jangan bakar rumah dulu! Belegug!" April manyun, karena tau - tau dibentak - bentak. Merasa bersalah aja nggak. "Apaan sih, lo. Gue anteng nggak ngapa - ngapain juga lo sewot aja." "Justru karena lo nggak ngapa - ngapain!!" Mei muntap. Rasanya ada merapi di dadanya yang sedang meletupkan lahar panasnya. "Salahnya di mana? Kan gue nggak ngapa - ngapain?" Cukup sudah! Sabarnya Mei cukup sampai di situ saja. Dia beranjak menarik lengan April yang awalnya sedang duduk di kursi makan ke dekat kompor. "Liat! Lo mau bikin apaan, sih?! Kalau mau ngelamun ya ngelamun aja, nggak usah idupin kompor! Mau bunuh diri juga liat - liat kali, ada orang lain nggak di rumah! Reseh lo!" Semprotnya berapi - api. April yang melihat air yang tadi di rebusnya menghilang dari panci mendesah kecewa. "Yah, kok abis. Harus bikin lagi, deh." Dia beranjak ke sink, mengambil air dengan gelas untuk dituangkan lagi ke dalam panci. Mei mencak - mencak melihatnya. Mungkin benar kata orang - orang. Orang jadi luar biasa sensian kalau mau menikah. Tapi kan dia memang udah sensian dari dulu, apa bedanya, kan? "Taro." Katanya menunjuk gelas yang di bawa April. Adiknya itu malah mengerutkan keningnya bingung. Dia mau bikin teh. Kenapa di suruh taro lagi airnya coba? "Taro, Pril. Sekarang!" "Apaan, sih, kakak, marah - marah terus. Gue mau bikin teh, ih." "Taro April. Lo nggak akan bikin teh malam ini.lo cuma pengen bakar rumah ini." Tandasnya. "Jangan lo berani - berani ya nyalain kompor terus lo tinggal melamun kayak tadi. Bahaya, beg*! Lo kenapa, sih?!" Satu pertanyaan sederhana dari Mei memicu semuanya. *** Sebuah pemandangan langka terlihat di sebuah meja makan mungil di suatu rumah. Pemandangan tersebut berupa dua orang gadis yang duduk berdampingan, yang satu curhat, yang satu mendengarkan. Biasanya mereka hanya melakukannya sambil lalu saja. Saat mereka kebagian jatah memasak berdua, di akhir minggu, atau saat salah satunya sedang amat selo sampai ingin mengurusi urusan yang lainnya. Tapi kali ini, mereka berdua melakukannya tidak samvil memasak dan nggak sedang terlalu selo. Ini kebutuhan. "Serius lo?" Mei bertanya tak yakin. "Yang mana?" April bertanya lirih. Hidung dan matanya merah saat menceritakan semuanya. Kesal, sedih, marah, kuatir dan putus asa semua campur aduk jadi satu di kepalanya. Dia bahkan lupa tentang fakta bahwa kakaknya amat tenang mendengar kalau dia menyukai Jun. Mungkin karena Kakaknya sudah ada Didit, mereka sudah akan menikah? Atai karena kakaknya sudah tau lama? Otak April terlalu tumpul saat ini untuk berpikir. Untungnya di rumah hanya ada mereka berdua. Mama dan Papa ke rumah budhe. Mau nengok cucu katanya. Kode kencang sebenarnya buat April dan Mei kalau orang tua mereka sudah ingin menggendong cucu. "Lo sama Bang Jun. Tapi kalian nggak… belum… lo masih segelan, kan, Pril?!" "Masih! Otak lo astaga." April berseru. "Tapi ya Kak, itu gue lakuin karena gue nggak tau perasaan Juni ke gue kayak gimana. Dia cuma bilang, pas kita abis makan bareng xi restoran itu. Yang lo berantem sama mbak - mbak nggak tau siapa. Pas di mobil, dia nyium gue dan bilang, sekarang lo tau perasaan gue ke lo. Nggak bilang apapun lagi. Kalau kaya gitu, gue harus jawab gimana lagi? Kalau seandainya Juni bilang yang sebaliknya, nggak tau deh gue. Mungkin aja itu… bisa… kejadian." Mei memandanginya dengan wajah tak terbaca. "Sumpah, lo ya, Pril. Kenapa lo suka banget zith, bikin apa - apa jadi susah?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD