Part 1 : Let Me Love You

2210 Words
Don't you give up, nah, nah, nah I won't give up, nah, nah, nah Let me love you Let me love you (Justin Bieber ft DJ Snake– Let Me Love You) Aku melantuntan lagu yang akhir-akhir ini menjadi kesukaan itu. Dimana-mana, aku selalu menyetel lagu itu. Lagu dari Justin Bieber ini benar-benar menggambarkan suasana hatiku saat ini. Usiaku sudah lewat dua puluh delapan tahun, sudah dua tahun bertunangan dan hilal akan menikah belum juga terlihat. Sudah satu tahun sejak Titania menikah, Nata semakin tertutup saja, satu tahun ini sepuluh jariku tidak penuh untuk menghitung pertemuan kami. Setiap kali aku mengajaknya bertemu dia ada rapatlah, capeklah, sibuklah, atau proyek diluar kota, bahkan dia saja kemarin tiga bulan berada di Makasar untuk mengurus cabang baru. Menyebalkan. Apa aku benar-benar memiliki tunangan? Dalam mimpimu, Saras. Aku sampai di sebuah Mall ditengah kota, hanya ada satu hal yang membuatku bisa melupakan sifat-sifat Nata. Makan! Aku tidak bisa tidak makan apabila stres, Aku tidak peduli dengan bisikan orang-orang disekitarku untuk mengurangi porsi makanku, badanku susah gendut fyi, dan itu sangat membantuku menjalani hobiku ini. Aku tidak perlu dicaci Nata jika dia melihatku karena bentuk tubuhku yang tidak proporsional. Memangnya dia peduli dengan berat badanku? Kakiku pincang sebelah saja dia tak akan melirik apalagi peduli. Dia benar-benar antipati terhadapku, menganggapku jamur parasit yang tidak ada harganya. Uh. Memikirkan Nata hanya membuat otakku penuh. Aku baru saja memasuki Restoran Korea dan berniat akan mencari tempat duduk ketika pandanganku bersirobok dengan seseorang. Ya Tuhan, apalagi kesalahanku hingga aku harus bertemu Titania dalam kondisi mood yang sangat tidak stabil? Sial, aku sudah diarahkan lagi untuk duduk di meja Tania bersama teman-temannya. Dia sedikit kaget melihatku, namun kemudian seulas senyuman tulus terukir di wajahnya. Tidak perlu bertanya kenapa aku tau itu senyuman tulus atau tidak, aku sudah hampir sembilan tahun berjibaku dengan skenario dan acting, aku bahkan juga belajar psikologi untuk mendukung pekerjaanku ini. "Saras!" sapanya ramah. Ketiga teman yang ada di mejanya juga turut melirikku. Sial, aku benci sekali menjadi pusat perhatian. Kalau sudah begini, tidak ada pilihan lain selain memasang tampak polos seperti biasa. "Hai, Mbak" aku berusaha tetap ramah, mengimbangi Tania yang sangat ramah padaku. Bohong sekali aku mengatakan tidak iri dan ingin marah pada perempuan di depanku ini, perempuan yang secara tidak langsung membuat pertunanganku terombang-ambing seperti ini. Meskipun kesalahan tetap pada Nata sepenuhnya. "Tania aja" dia berdiri dan kami bercipika-cipiki sebentar. Teman-temannya sudah tampak tak peduli lagi padaku dan melanjutkan obrolan mereka. "Sendiri aja?" tanya Tania dengan ramah, aku mengangguk pelan. Jangan tanya Nata dimana, dia di negeri antahberantah mungkin. "Siapa, Ta?" tanya seorang laki-laki yang sepertinya masih memperhatikan kami. Tania menoleh padanya, "Ini Saras, tunangannya Nata" aku tidak perlu berpikir dua kali untuk merasakan suasana di sekitarku mencekam. Sepertinya nama tunanganku menjadi topik sensitif. Tentu saja, mana ada mantan kekasih yang akrab dengan tunangan mantannya. "Kalau sendiri gabung aja" celutuk seorang perempuan yang duduk dihadapan Tania yang tadinya membelakangiku. Aku buru-buru menggeleng. "Nggak perlu, mbak. saya bisaa—" aku belum sempat menyelesaikan kata-kataku tapi tanganku ditarik Tania untuk duduk di sampingnya. "Kita masih lama kok, ini mau gossip dulu. Nggak enak tau, Ras, makan sendiri" aku tidak bisa lagi menolak ucapan itu, ketiga teman Tania langsung mengangguk dan mereka melanjutkan obrolan. Tania memanggilkan pelayan untuk memesan pesananku. Aku memperhatikan cara Tania berinteraksi dengan teman-temannya, tidak  terlihat dibuat-buat, dia begitu lepas. Baru beberapa kata dia menimpali, Tania kembali menoleh padaku. "Udah isi?" tanyaku melirik perutnya. Tania menggeleng lemah. "Belum. Kok Pak Nata nggak nemenin kamu? Udah ada rencana nikah?" Boro-boro menikah, nata masih terpaku sama lo, masih belum move on. Jawabku kurang ajar di dalam hati. Aku menggidikkan bahu. "Masih di Makasar kayaknya" "Oh. Makasar? Ngapain?" tanyanya lagi antusias. Aku mengerinyitkan dahi. "Urus cabang baru. Mbak masih satu kantor kan sama Nata?" Tania kemudian menggelengkan kepalanya. Ini fakta baru, aku pikir dia masih berada di ruangan yang sama dengan Nata. "Setelah Nikah, saya balik ke kantor cabang, nggak pernah ketemu lagi" Oh.. karena ini juga Nata masih uring-uringan. Aku menghentikan pembicaraan itu ketika pesananku datang. Cepat juga. Tidak apalah, yang penting aku bisa terbebas dari kecanggungan ini. Aku tidak ingin berbasa-basi terlalu lama dengan Tania, meskipun dia baik padaku. Berhadapan dengannya hanya akan membuatku membandingkan diri dengannya. Secara fisik, kami jelas sama, Nata tidak akan mau berdekatan dengan perempuan-perempuan yang tidak cantik seperti kami. Secara kepribadian, Tania jauh mengungguliku. Dia anggun dan ramah pada semua orang, suaranya lembut, kulitnya putih bersih semakin membuatnya bersinar dan dia apa adanya. Dia benar-benar apa adanya, meskipun sikap itu juga yang akan menyulitkannya. "Kalian udah dua tahun bertunangan, masih belum ada rencana?" tanya Tania lagi, membuat moodku yang akan makan hilang seketikan. Tania buru-buru meralatnya, tampak terlihat gugup. "Maksud.. saya...." Aku menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa mbak, memang belum ada pembicaraan ke arah sana" aku berusaha untuk tidak merutuki wanita di depanku ini di dalam hati, tidak seharusnya dia disalahkan atas keputusanku dan Nata yang belum mengambil langkah maju akan hubungan ini. Tapi, aku benar-benar iri padanya. * Aku dan Nata berada pada lingkar sekolah yang sama dari dulu. Dari jenjang pendidikan SD hingga SMA, saat kuliah saja kami tidak berada di satu sekolah yang sama. Lingkar pergaulan kami juga sama, aku tidak pernah sulit mendapatkan informasi tentangnya dari dulu. Nata terkenal di kalangan kami, kalangan gosip yang hanya menghambur-hamburkan uang hanya untuk hangout. Jika boleh aku memilih, aku ingin seperti Tania dan teman-temannya kemarin yang hangout biasa di mall dan bisa tertawa selepas-lepasnya diantara teman-teman lain. Kemana temanku? Tidak perlu aku jawab kan? Aku hanya berusaha mengimbangi gaya hidup mereka, namun setelah aku bekerja menjadi creative director di salah satu Stasiun TV ternama, pelan-pelan teman-teman yang biasanya mengelilingiku menghilang. Aku yang sibuk dengan duniaku tidak pernah lagi mendapat undangan hangout, hanya acara-acara penting. Aku sama sekali tidak masalah dengan keadaan itu. Justru itu menguntungkan. Aku tidak perlu berpura-pura menikmati gaya hidup glamour disaat aku sama sekali membencinya. Aku tidak suka hidup dalam kemewahan dan dibawah diktator uang dan kekuasaan. Untuk itulah aku menolak mentah-mentah keinginan Papi untuk belajar bisnis, dan memilih menekuni hobiku dengan menjadikannya pekerjaan. Hal itu malah ternyata menjadi bumerang dalam hidupku. Aku harus memilih salah satu antara dipilihkan pekerjaan atau dipilihkan suami. Karena aku terlalu cinta dengan pekerjaanku, aku memilih pilihan kedua. dan benar saja, pilihan Papi jatuh pada Nataniel Hendra Liam yang sudah memiliki daya tarik tersendiri bahkan sebelum menstruasi mengganggu pola hidupku. Kupikir cinta akan datang pelan-pelan, namun menyaksikan sendiri bahwa Nata sangat mencintai Tania membuat nyaliku mengecil hingga ciut. Aku tak berani lagi membuatnya mencintaiku, yang kulakukan hanya terus memastikan bahwa dia tau bahwa aku ada. Kisah cinta mereka bak romeo dan Juliet, kapan-kapan aku akan menjadikan ide hubungan mereka menjadi FTV atau Sinetron atau yang lebih ekstrim Film di bawah production house yang bekerjasama dengan Stasiun TVku. Nataniel dipilih Papi bukan karena tanpa alasan. Kutukan itu jatuh karena Papi sahabat baik Josh Liam yang merupakan ayah kandung Nata dan juga Papi sangat tertarik dengan jiwa usaha Nata yang memang sudah diasah dari kecil. Papi sangat berharap perusahaan migas yang selama ini Papi kelola bisa terus bekerjasama dengan perusahaan Nata yang memiliki cabang diberbagai hal. Aku pusing jika memikirkan ini. Aku tidak ingin mengerti Saat ini aku sudah berada di car port kediaman tunanganku. Pintu di sampingku langsung terbuka, aku menghela nafas sebelum mengambil tasku dan menatap ramah pada satpam di rumah ini. Aku segera memberikan kunci mobilku dan berjalan menuju pintu depan, membukanya dengan cepat. Tante Olla mengundangku untuk makan malam. Aku tau Nata sudah pulang, dan makan malam ini akan menjadi satu desakan dari keluarganya untuk segera melangsungkan pernikahan. Aku harus menabahkan hati jika aku kembali mendengar kata-kata yang tidak ingin kudengar. "Saras!" Tante Olla ternyata duduk di ruang tamu, sedang membaca majalah. Aku segera memberikan Tante Olla cake dari Baskin Robins yang tadi aku sengaja pesan. Bisa dimakan sebagai dessert. Aku tidak mungkin tidak bawa apa-apa untuk sebuah undangan makan malam calon mertuaku kan? Aku mencium pipi kiri dan kanan Tante Olla sebelum mama Nata itu menarikku berjalan ke ruang tengah. Rumah Nata tidak ubahnya rumahku, besar namun kosong. Hanya diisi oleh penjaga dan asisten rumah tangga yang terlampau banyak. Sedangkan orang-orang di dalamnya sibuk masing-masing di luar sana. "Tante apa kabar?" Tante Olla tersenyum ramah, hanya Tante Olla yang menyambutku sangat ramah di keluarga ini. Om Josh hanya seadanya, tidak peduli tidak juga tidak peduli, hanya biasa saja padaku. Nata dan Adiknya Oddi jelas mengabaikanku. Dua tahun berada disini sudah cukup membuatku mengerti bahwa aku tidak diterima kecuali oleh Om Josh dan Tante Olla. "Kan udah mama bilang, panggil mama" ujar Tante Olla lagi, membuat pipiku bersemu, aku selalu mengabaikan ajakannya, kalau Oddi tiba-tiba mendengar dia pasti akan mengajukan protes tepat di depan wajahku. "Gimana kabarnya, Tan?" ulangku lagi. Tante Olla akhirnya menyerah untuk menyuruhku memanggil beliau mama. Dan menjawab pertanyaanku. "Baik banget, apalagi calon mantu datang terus kesini" aku terkekeh pelan namun langkahku terhenti ketika melihat Nata yang juga berjalan menuju ke arah kami, tampaknya baru keluar dari ruangan kerja Om Josh. Pandangan kami bertemu sesaat, sebelum akhirnya dia mengalihkan. Selalu seperti itu. Tante Olla langsung menyodorkanku pada Nata, aku merasa mual seketika. Perutku selalu tergelitik apabila berada di dekatnya. "Iniloh tunangan kamu datang, kamu masa diam saja?" Tante Olla langsung memarahi anak sulungnya itu. Aku hanya berdiri kikuk di depan Nata, aku tidak memiliki ide untuk membuatnya tertarik padaku saat ini. Kubiarkan saja. "Bisa bicara bentar?" tanyanya pada akhirnya, aku mengangkat wajah dan tiba-tiba terperangah. Nata memiliki suara yang luar biasa seksi dan itu lagi-lagi membuatku terpana. Tanpa berpikir lebih panjang lagi dia menarikku ke lantai dua, sepertinya kami akan membicarakan hal yang cukup serius. * Aku menatap tanganku yang masih ditariknya, kami sudah berada di taman belakang yang ada dilantai dua ini. Sesaat aku merasakan jantungku berdebar cepat, namun buru-buru aku harus mengendalikan diri. Aku harus tetap jual mahal di depan Nata. "Papa nyuruh saya untuk segera menikahi kamu" Syukurlah. "Saya belum punya ide tentang pernikahan, jadi saya minta waktu satu tahun untuk berpikir" SATU TAHUN?! Aku melotot ke arahnya tidak percaya. Benar-benar orang ini, jika Titania yang sekarang ada dihadapannya pasti dia akan menikah hari esok juga. Aku menghempaskan tanganku yang masih dipegangnya, menyadari hal itu dia juga menarik tangannya. Mungkin aku terlalu menjijikkan. "Kamu minta waktu berpikir satu tahun? Kalau kamu nggak mau menikah satu tahun lagi, saya harus nunggu kamu lagi. Begitu?" tanyaku tak percaya, aku tidak bisa menahan emosi kali ini. Seenak jidatnya saja dia memutuskan sesuatu. "Enam bulan" putusku pada akhirnya. Nata balas menatapku tak percaya. "Apa? Nggak! Saya nggak mau menikah secepat itu" Aku mendekap tanganku di depan d**a. "Usia saya tahun depan dua puluh sembilan tahun, Nataniel. Usia produktif saya sudah semakin menipis! Saya nggak punya waktu lagi untuk nunggu kamu" Nata mengerang frustasi. "Saya nggak akan menikah tanpa cinta, Saras" "Kamu nggak akan menikahi saya dengan cinta, Nata" tekanku pada akhirnya. "Nggak akan pernah" ucapan itu cukup berbisik namun karena hanya kami berdua disini, kata-kata itu masih terdengar oleh Nata. Aku memutuskan untuk duduk di gazebo yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku harus menenangkan pikiranku. Ini pertama kalinya kami beradu argumen, biasanya hanya aku yang menggodanya dan dia diam, atau dia memutuskan sesuatu dan aku menurut. Biasanya? Seperti dua tahun ini kami memiliki banyak kenangan saja. Shit. Aku benar-benar merasakan sakit. Nata duduk di depanku, dia sama kacaunya denganku, masih mengendalikan diri untuk tidak lepas kendali saat ini. Aku mendengus dan menatap bunga-bunga di depanku, pemandangan ini lebih menarik sekarang. "Baiklah, enam bulan. Kita pendekatan" putusnya pada akhirnya. Aku menatapnya sekilas, "menurut kamu apa yang aku lakukan dua tahun ini kepada kamu, nggak pendekatan?" tanyaku sarkatis. Aku tidak tau kenapa aku harus seemosi ini, biasanya aku bisa mengendalikan diri. Namun sekarang, tidak bisa. "Aku nggak keberatan kamu membatalkan. Aku bisa dipilihkan Papi calon suami lebih hebat dari kamu" "Kamu gila? Mama berharap banyak sama kamu" "Kamu yang gila, Nata! Aku nggak bisa terus-terusan menunggu kamu. Ini sudah cukup, kalau kamu masih menunggu Titania janda, silahkan saja! Aku udah nggak peduli" mulutku sepertinya harus di stop. "Siapa yang menunggu dia?" Aku tersenyum mengejek padanya, tidak peduli lagi dengan reaksinya ke depan. "Baik, sepertinya pembicaraan kita mengarah ke satu solusi, kita harus membatalkan pertunangan ini" ujarnya lagi, membuatku mendelik tidak percaya kepada. Dua tahun! What a jerk! Percuma aku menunggu selama ini, berharap selama itu dia akan setidaknya melihatku. Kalau hasilnya sama saja dengan dari awal kami dijodohkan, kenapa dia tidak membatalkan dari awal? "b******k" desisku tajam. Nata menghembuskan nafas kasar. "Lalu kamu punya solusi apa? Kita udah buntu!" "Nggak perlu cinta, Nat. sejak awal kita menjalaninya tanpa cinta, kenapa kamu malah mempermasalahkannya sekarang? Ini bukan akal-akalanmu untuk membatalkan pertunangan ini kan?" aku mengonfrontasi. Mata sipit Nata langsung membelalak kepadaku, ekspresinya yang datar berubah menjadi sangat dingin kepadaku. Nyaliku langsung menciut seperti cicitan tikut. Ini tidak bisa dibenarkan, ini tidak boleh. Aku akan kalah oleh tatapan ini. "Oke. Kalau itu mau kamu. Nggak mempermasalahkan cinta kan? Enam bulan lagi, kalau kepala saya masih buntu saya akan langsung menikahi kamu" desisnya tajam sebelum akhirnya berdiri. Aku buru-buru berdiri juga, melanjutkan kata-kata yang ingin kuucapkan dari tadi. "Enam bulan itu, biarkan aku membuktikan kalau aku pantas mendampingi kamu" Aku pantas mendapatkan cintamu. Nata melirikku sekilas sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Apa yang baru saja terjadi?   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD