Part 2 - Dealing with You

2435 Words
"Kita nggak bisa dong di babuin sama rating!" mataku membelalak ke arah rekan-rekanku, ucapanku nyaring di ruangan rapat ini. Kesal. Aku sangat kesal. Acara yang seharusnya sudah selesai kontrak satu bulan lagi tiba-tiba diminta oleh pihak atas untuk menambah jam tayang. Padahal, ada acara lain yang mengantre dan menurutku sangat potensial ditayangkan. Dan lebih berguna. "Tapi kita juga nggak bisa, Bu tidak memenuhi selera pasar" ucapan Allen mampu membuatku menberikan tatapan tajam padanya. Aku menghela nafas dalam, inilah yang tidak kusukai dalam pekerjaanku. Diperbudaki oleh rating, hanya karena masyarakat sangat antusias dengan penayangan acara ini. Padahal, pasar juga lama-lama akan bosan jika yang ditayangkan hanya kajian haha-hihi-huhu yang tidak bermutu. Dari awal acara ini hanya akan sampai lima puluh episode, tidak boleh lebih. Apabila ditambah jam tayang rasa antusias masyarakat akan perlahan-lahan berkurang. Padahal aku dan PH yang mempertanggungjawabkan acara ini sudah akan rapat mengenai season kedua, dengan tampilan yang lebih fresh dan tema yang tidak mainstream. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Rasa ingin tahu masyarakat pasti akan menurun dan apabila penambahan episode ini tidak berhasil masyarakat hanya menilai acara ini tidak lebih dari sampah, padahal kami tim kreatif yang bekerja di balik layar harus tidak tidur berhari-hari untuk membuat acara ini layak. "Kita vote saja" ujarku pada akhirnya, kemudian kami menuliskan pendapat kami di kertas dan mereka semua memberikannya padaku dan Allen. Aku menghela nafas dalam ketika mengetahui rekan-rekanku lebih menginginkan penambahan episode daripada season kedua. Aku benci dikalahkan melalui otoritas seperti ini. Tidak ada gunanya mempertahankan idealismeku. "Kirimkan saya tiga hari lagi konsep episode tambahan. Jika telat, saya tidak akan mengizinkan penambahan episode" aku mengambil keputusan dan segera keluar dari ruangan rapat. Kepalaku tiba-tiba pusing, aku sepertinya butuh obat ntuk menurunkan kadar tensi darahku. Akhir-akhir ini aku sering sekali marah-marah. Ketika aku mengecek ponselku yang tiba-tiba bergetar, aku menghela nafas lelah melihat nama yang ditampilkan di layar. Nata menghubungiku entah untuk apa. Aku tidak sedang ingin meladeninya jika hanya untuk bertengkar. Kepalaku sudah sangat sakit saat ini. Sejak aku mengatakan akan memantaskan diri untuknya, kami sudah tidak lagi menutup diri. Aku memang yang lebih sering menghubunginya, namun dia juga memiliki perkembangan dengan merespon setiap tindakanku. Dia bahkan sudah mau menghubungiku, seperti tadi. Tapi perkembangan hubungan itu hanya terjadi di ponsel, tidak terjadi di dunia nyata. Setiap kali bertemu aku tidak bisa menahan rasa kesal karena sikapnya yang antipati itu dan akhirnya malah berdebat. Itu terjadi dua hari yang lalu. Aku merebahkan kepalaku ke atas meja dan memijitnya dengan tangan, aku butuh obat pereda rasa nyeri. Akhir-akhir ini aku memang lebih sibuk dari biasanya, karena ada project yang kujalankan dari satu bulan yang lalu tiba-tiba macet karena artis membatalkan kontrak begitu saja. Kami harus memutar otak untuk mengemas project ini dan tentunya tidak akan selesai dalam waktu dekat. Padahal acara ini seharusnya tayang minggu depan. Selain itu juga karena belum ada menurut kami artis yang cocok untuk menggantikan artis lama. Ugh. Kenapa hidupku akhir-akhir ini mulai berantakan? "Minum dulu, Bu" Allen membawakan beberapa obat di atas nampan serta air mineral untukku. Asistenku itu memang yang paling pengertian, dia wanita tangguh lain yang ku kenal selain seseorang. Aku tersenyum tipis dan segera meminum obat. "Bu, tadi Pak Nata menghubungi saya" Aku kembali merebahkan kepala diatas meja, rekan-rekan kami mulai berdatangan dan duduk di mejanya masing-masing. Memang ruangan ini kami sulap menjadi senyaman mungkin sehingga tidak ada batasan antara pimpinan dan staff, berbaur menjadi satu. "Saya lagi nggak mau mendengar nama dia Allen" jawabku cepat dan berusaha menutup mata, aku butuh istirahat sejenak. "Tapi bu.. Pak Nata sedang berada di perjalanan kesini" ujar Allen takut-takut, aku menegakkan badan sepenuhnya.  apa? "Saya nggak mau dia bikin gempar disini" tepat saat itu aku mendapati ponselku bergetar lagi, ada satu chat masuk dan itu dari nata. Chatnya muncul di layar dan mengabarkan dia sudah berada di lobby utama. Aku mengabaikan sakit kepalaku dan segera berlari menuju lift. Hanya Allen dan beberapa rekanku (yang mengikutiku di **) yang tau bahwa aku sudah bertunangan, aku memang tidak mengumbarnya kemana-mana. Saat itu aku masih takut apabila pertunangan ini batal di tengah jalan. Foto-foto yang aku upload pun atas suruhan Tante Olla, aku segan tidak menuruti ucapan beliau. Jadilah beberapa orang tau status hubunganku saat ini. Nata cukup terkenal, di majalah bisnis tahun ini dia muncul dua kali. Aku tidak mau dia menciptakan kehebohan dan semua orang tau bahwa akulah tunangannya. Ini akan menjadi gempar. Saat pesta pertunangan, rata-rata yang diundang hanya pegawai di perusahaan keluarga Nata dan rekan bisnis Papi, tidak ada temanku kecuali Janeta. Jika orang-orang tau maka identitasku juga terancam.Aku memang sengaja menyembunyikan nama belakangku untuk masuk kesini. Hanya Sarasvati Bratawijaya A, tidak ada yang tau bahwa A adalah kepanjangan dari Ardika. Kalau ada yang tau, mereka akan meremehkanku dan menganggap bahwa apa yang kudapat selama ini adalah campur tangan Papi. Aku tidak mau dibayang-bayangi oleh itu. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian. Orang-orang yang bekerja dibelakang layar seperti kami bukan orang-orang yang show off malah lebih ke pemalu. Kami selalu mendukung artis-artis yang berada di layar kaca untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik. Meskipun nama kami tidak akan setenar artis, itulah pekerjaan kami. * Aku langsung masuk ke dalam mobil Nata ketika dia hendak menyerahkan mobilnya itu ke valet. Gedung kantorku juga memiliki petugas valet, untuk mendukung petinggi-petinggi atau artis yang tidak mau berkeliling sebentar di basement. Dia hanya menatapku datar dan menjalankan mobilnya. Beberapa detik kemudian, kepalaku kembali berdenyut nyeri. Sudah beberapa hari aku sakit kepala. Mungkin kelelahan, aku juga tidak tau dan tidak sempat memeriksakan diri ke dokter. Dengan mata yang tidak fokus aku menyambungkan panggilan pada Allen yang langsung di jawab olehnya dengan cepat. "Allen saya ada urusan, tolong handle beberapa hal yang ada di notes saya di atas meja. Ada beberapa file yang harus kamu periksa. Oh ya, ada klien dari manajemen artis yang harus kamu temui jam tiga nanti, tolong ajak Surya. Kalau acara saya sudah selesai, saya sendiri yang akan menemui mereka. Tolong keep tas saya juga ya. Terimakasih" Aku yakin sekali ini bukan acara abal-abal sampai bisa membuat Nata menjemputku di kantor. Ini sudah pasti acara penting. Aku menatap Nata yang masih fokus mengemudikan mobil, tangan tegapnya terlihat jelas karena kemejanya dilipat hingga mencapai sikut. deg. Dia kenapa maskulin sekali? Juga sangat tampan jika serius seperti ini. Aku berdehem pelan untuk menetralkan perasaanku. "Ada apa?" tanyaku lagi, aku sedikit meringis merasakan hentakan terjadi di kepalaku lagi, aspirin yang diberikan Allen sepertinya belum bekerja dengan baik. "Ada acara makan siang keluarga, mama memaksa saya menjemput kamu" Aku melongo. Tak percaya bahwa ini adalah acara yang sangat-sangat sepele. Aku sedang tidak ingin makan sekarang, aku butuh istirahat. Egoku yang setinggi gunung bahkan bisa mengalahkan perasaanku yang sedikit senang mendapatinya menjemputku seperti ini. "Bisa kamu turunkan aku sekarang?" tanyaku pada akhirnya, dia menolehkan kepalanya padaku. "Apa maksudmu?" Aku memandang ke arah luar. "Aku nggak ada waktu untuk makan siang" "Kamu pikir saya punya waktu?" Here we go again. Aku kecewa dia melakukan semua hal yang berkaitan denganku karena paksaan Tante Olla, hanya sekali dengan inisiatifnya sendiri. Aku juga sudah lelah bersabar menghadapinya, apalagi dengan tensiku yang sepertinya belum turun-turun dari tadi. Membuatku ingin meledak. "Aku ada meeting jam tiga nanti, mau kamu bawa kemana aku?" "Ancol" What the. "Turunkan aku disini sekarang!" perintahku pada akhirnya. Dia menepikan mobil sebelum kami benar-benar masuk ke dalam tol. "Jangan memerintah saya!" desisnya tajam, aku tidak berkutik mendengar geraman itu. Mungkin dia kaget saras yang biasanya sangat lembut menjadi pembangkang seperti ini. "Saya pikir kamu itu wanita penurut, tapi nyatanya--" Aku langsung menolehkan kepala, "Apa? Aku kenapa?" tantangku langsung, berani-beraninya dia menilaiku padahal berdekatan denganku saja dia tidak mau.  "berarti kamu belum mengenalku" Dia mengunci mobil dan kembali melajukannya, memasuki tol. "Kamu dan saya sudah sepakat untuk pendekatan, Saras. Kamu jangan menghancurkan itu semua dengan tindakan kekanakanmu" ancamnya, aku tidak mampu lagi melawannya, bukan karena aku tidak sanggup atau takut dengan ekspresinya saat ini. Tapi karena kepalaku dihantam rasa sakit, akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mata dan jatuh tertidur. * Acara ini ternyata bukan acara makan siang biasa. Aku bisa melihat dari deretan mobil-mobil mewah yang terparkir disini. Aku tak banyak protes ketika Nata berjalan lebih dahulu dariku, dia bahkan bersabar untuk membangunkanku dengan tangan dan bukan dengan kakinya. Aku refleks menggandeng tangannya saat kami masuk ke restoran di sebuah hotel berbintang itu. Nata tak menanggapi, dia malah menurunkan tanganku dan menyisipkan jari-jarinya di jemariku. Aku menunduk di belakangnya, merasakan pipiku memanas. Jantungku sudah tidak berkompromi lagi. Meskipun aku sekarang sering kesal dan dongkol kepadanya aku tak pernah melupakan fakta bahwa laki-laki didepanku ini adalah laki-laki yang mampu menarik perhatianku dan seluruh hatiku. Nata tak akan pernah percaya bahwa gandengan ini mampu membuat hormon kebahagiaan di dalam diriku bekerja maksimal. Papi yang menyambut kami untuk pertama kali, aku langsung menyalami tangannya dan begitu pula Nata. Kami langsung diajak untuk duduk di meja panjang, saat mataku melakukan scanning ternyata ada calon presiden yang akan maju saat pemilu tahun depan. Aku langsung menyimpulkan bahwa ini bukan makan siang keluarga tapi makan siang politik dan bisnis. Papi dari dua tahun yang lalu memang sangat sibuk dengan partainya, entah kenapa orangtuaku  satu-satunyaitu gencar berpolitik, bahkan kudengar Papi ditawarkan posisi menteri kalau calon presiden ini berhasil menang. Aku melirik Nata di sampingku, dia sudah memakai celemek dan sedang membersihkan alat makannya. Wajahnya tenang sekali, seperti anak kecil. Aku jadi paham kenapa dia mengatakan ini adalah makan siang dua keluarga bukan makan siang bisnis seperti ini. Dia pasti juga tidak suka berada disini. Om Josh datang lima menit kemudian dan langsung bergabung bersama Papi. Aku tidak tahu menahu soal ini, yang pasti bisa kupastikan saat kampanye nanti Papi akan merecoki stasiun televisiku agar lebih condong ke partai mereka dan pasti akan merecoki jadwal tayang program-programku dan itu sangat menjengkelkan. Mungkin. Aku tidak tau. Aku tidak mengerti dengan hal-hal seperti ini. "Nat?" panggilku saat makan siang ini dimulai. "Nikmati makanannya" jawabnya singkat. Aku tak perlu menjadi dia untuk paham apa yang dia rasakan saat ini. Sama. Sama denganku. Kami akhirnya terperangkap kembali pada situasi yang tak benar-benar kami inginkan. Sesaat aku lupa bahwa tadi aku sempat sakit kepala. * "Aku mau kita tinggal bareng" Nata tersedak ketika mendengar usulanku itu. Setelah makan siang luar biasa tadi, aku mengajaknya untuk makan malam bersama. Sekalian. Dia tidak menolak saat aku mengajukan usul itu. "Kamu gila?" Sudah berapa kali dia mempertanyakan kewarasanku? Tentu saja aku waras, aku sudah memutar otak untuk mencari cara bagaimana bisa lebih dekat dengannya. Satu bulan ini, stuck. Benar-benat stuck. Kami hanya berkembang di telpon selular itupun kalau ada hal yang penting. Tidak ada kalimat-kalimat manis ala pasangan yang kami lontarkan satu sama lain. Jujur saja aku gugup, aku tau Nata akan menikahiku cepat atau lambat tapi aku juga mau dia menyerahkan seluruhnya kepadaku bukan hanya jiwanya. Jika pada akhirnya dia memang tidak bisa memberikan hatinya, setidaknya aku sudah berusaha kan? Kami berdua sangat sibuk, itulah alasan lain selain Nata yang tidak move on kenapa hubungan kami yang bahkan sudah dua tahun jalan di tempat, seperti pertama kali bertemu. Kami tidak akan sempat bertemu jika bukan aku yang memaksanya dan menghubunginya duluan. Begini-gini aku juga ingin dikejar. "Anggap aja begitu" Nata menghempaskan sendoknya kasar, tidak ada sopan santunnya sama sekali. "Kamu mau tinggal di rumahku?" Aku menghela nafas dan menatapnya singkat. "Aku tau kamu punya apartemen dua kamar yang nggak jauh dari kantormu" ujarku padanya. Kerutan di dahi nata semakin menjadi karena ucapanku. "Apa yang kamu pikirkan? Belum menikah sudah tinggal bersama! Apa kata orang lain nanti?!" sepertinya dia benar-benar tidak suka dengan usulanku, padahal ini satu-satunya cara agar aku bisa lebih dekat.  "Gaya hidup kita bebas, Nata. Nggak ada orang yang akan ikut campur dengan itu. Lagipula kita udah bertunangan" "Saya nggak akan pernah setuju! Kamu mau dianggap jalang?" Aku berdecih. "Seolah-olah dulu kamu nggak pernah tinggal dengan wanita ya?" sindirku pada akhirnya. Ini satu-satunya tembakan yang bisa mematahkan lidahnya itu dan menuruti kemauanku. Aku berhasil memancing nata, dia menegang di depanku. Aku melanjutkan makanku dengan santai. Dia pikir aku tidak tau seperti apa gaya pacarannya dengan Tania dulu? Seenak hatinya keluar masuk apartemen, tinggal bersama, hingga Tante Olla meneriaki Tania dengan kata p*****r. Aku tau semua tragedi itu. "Saya nggak akan mengulang kesalahan yang sama, Saras" desisnya tajam, aku tertawa penuh kemenangan di dalam hatiku. Sudah benar-benar tau bahwa dia akan menolak usulanku ini. "Kamu nggak mau?" tanyaku pada akhirnya. "Saya yang tidak waras jika setuju dengan usulanmu itu" Aku terkekeh pelan pada akhirnya. "Baguslah, berarti aku bisa membuat kamu gila. Bukan cuma Tania" Nata diam di depanku ketika aku lagi-lagi membahas tania. Tania itu kelemahannya dan juga kelemahanku sebenarnya, sakit rasanya dia bisa berlebihan seperti itu karena mantan pacarnya dibandingkan denganku.  Ck. Aku memang bukan siapa-siapanya. "Apa yang kamu takutin sih? Kita cuma berbagi dapur, ruang tamu dan ruang tv. Kita nggak berbagi kamar sama sekali apalagi ranjang!" "Nggak waras!" Mendengar hinaannya itu, aku berusaha untuk tidak terpancing. "Aku tau kamu bakalan nolak" ujarku tetap kalem. "Aku punya opsi lain" Nata mengangkat alisnya, menungguku bicara. "Kamu tetap tinggal di apartemenmu dan aku akan ambil unit tepat di sampingnya. Kita nggak akan berbagi apapun. Kita cuma harus pergi dan pulang bareng" "Semua usulanmu itu memberatkan" Aku tersulut pada akhirnya, membanting sendok dengan cara yang sama seperti dia tadi. "Kamu udah janji memberi kesempatan untuk hubungan ini. Nggak usah menutup mata, hubungan kita sama aja dengan dua orang asing yang dipaksa bertunangan. Kita nggak ada bedanya dengan pasangan palsu di infotaimen yang cari sensasi!" Nata hanya diam melihatku berbicara dengan nada yang cukup tinggi. "Aku juga ingin punya kehidupan normal. Dan satu-satunya pilihan masa depanku sama kamu! Aku mau hidup normal sama kamu. Kamu mau sampai kita menikah kita tetap canggung seperti ini? Sampai kapan aku harus menunggu kamu memulai duluan. Sampai kiamat?" Nata tak membalas ucapanku. Benar-benar menjengkelkan. "Terserahlah. Aku udah ngasih usul" aku meraih lagi sendokku dan memakan makananku, sepertinya aku harus menambah satu porsi lagi untuk malam ini. Berdebat dengannya membuat perutku lapar. Benar-benar menghabiskan energi. Tanpa malu lagi di depannya - dan juga akhirnya membuka topengku, aku memanggil pelayan dan memesan lagi makanan lain yang tadi sempat tertarik kupesan. Nata yang pandangannya tajam kepadaku sedikit melunak melihat tingkahku ini. Biarkan saja. Cepat atau lambat dia akan tahu porsi makanku. "Kamu pesan lagi?" tanyanya membuka suara. Aku mendelik kearahnya. "Kenapa? Kamu nggak mampu bayar?" entah aku sudah mengidap miopi atau tidak aku melihat sudut bibirnya terangkat. Hanya sedikit. Sepertinya aku hanya berhalusinasi.  "Kalau kamu pindah, gimana dengan ayahmu?" aku terdiam mendengar pertanyaannya. "Kamu tau papi nggak akan repot-repot mengurus anaknya ini. Urusannya jauh lebih penting dariku" Tunggu dulu. Apa dengan pertanyaannya ini dia setuju untuk kami berdua tinggal di bersebelahan? Hah?   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD