Part 3 : Deeper than the ocean

2459 Words
"Pagi, Om" Nata menyapa ramah kepada Papi yang tengah menyantap sarapannya. Pagi ini aku akan membersihkan unit baruku yang terletak tepat di depan unit Nata, juga memindahkan barang-barangku. Nata datang hari inipun karena kusuruh, aku tidak ingin repot sendirian. Papi membalas sapaan ramah Nata dan membuat mereka terlibat dengan pembicaraan bisnis setelahnya. Aku benar kan? Papi tidak akan pernah membuang-buang waktu hanya untuk mengurus anaknya. Saat aku mengatakan untuk tinggal sementara di apartemen, Papi malah mendukung karena dekat dengan Nata, artinya aku ada yang mengurusi. Papi memang tak pernah repot-repot memikirkan keselamatanku. Aku juga baru tau bahwa Nata sudah menyicil pindah sedikit demi sedikit –hanya pakaian dan peralatan mandinya- kemarin, dia tiba-tiba saja memberitahuku hal itu. Padahal aku tidak bertanya. satu lagi kemajuan akan hubungan ini. Namun dari semalam, aku tidak memiliki kondisi hati yang bagus untuk meladeninya. Jadi aku hanya manggut-manggut saja saat di telepon. "Nggak apa-apa nih, Om lepasin Saras tinggal sendiri?" tanyanya, yang membuatku mengangkat kepala dan menatap tajam kepadanya. Dia pura-pura bodoh atau apa? Sudah kukatakan dari kemarin-kemarin papi tidak akan.. "Nggak apa.. biar Saras belajar mandiri. Nggak selamanya Saras akan bergantung dengan Om kan? Dia juga perlu belajar menjadi istri yang baik untuk kamu" jawab Papi ramah, namun ucapannya sangat menusuk di dalam hatiku. Aku meneruskan makanku dan menyelesaikannya dengan cepat. Memangnya selama ini aku tidak mandiri? Manja? Begitu? "Ras, Nata, Papi ada urusan sama partai, nanti malam baru pulang. Kamu pulang akhir minggu ini kan?" tanya Papi, aku mengerinyitkan dahi. "Kenapa Pi?" "Kita ada acara ulangtahun bungsunya Om Raymond di Bogor, Nata kalau mau ikut bisa langsung mengantar kamu" aku hanya diam mendengar hal itu, apa yang hatiku harapkan? Berharap papi menginginkanku di rumah? Papi saja jarang di rumah. Aku hanya menghela nafas dalam dan mengangguk. "Yaudah kita ketemu di rumah Om Raymond saja" "it's sounds great. Papi berangkat dulu" Aku hanya terdiam sepenuhnya, setelah Papi meninggalkan meja makan, aku turut berdiri untuk membereskan beberapa barangku yang belum sempat ku packing. Barang-barangku sebenarnya sedikit dan aku tidak berniat memindahkan semua barangku yang ada di rumah ini ke apartemen, tapi di apartemen aku perlu memiliki ruang khusus untuk keperluan pekerjaanku. Dan barang-barang itulah yang sangat merepotkan. Aku memindahkan peralatan kameraku dan kebutuhan broadcasting ke dalam kardus. Baju-bajuku hanya dua koper, itupun sudah termasuk sepatu dan lain-lain, Apabila ada yang tertinggal aku bisa pulang untuk mengambilnya. Tapi untuk urusan peralatan pekerjaanku sepertinya tidak bisa. Aku benar-benar berniat memindahkan ruang kerjaku ke apartemen, jadi meeting akan program TV atau apapun bisa dilakukan di apartemen mulai dari sekarang. Nata beranjak dari duduknya di ruang makan saat aku memintanya tolong untuk membawakan barang-barang itu ke mobil, juga meminta tolong kepada beberapa asisten rumah tanggaku. Aku tersenyum lirih ke arah Bibi Minar yang selama ini merawatku bahkan dari aku sangat kecil. "Sering-sering pulang ya, Non" ujar Bibi kesayanganku itu saat barang-barangku sudah sepenuhnya berada di dalam mobil CRV Nata, sebenarnya beberapa barang kemarin juga sudah kupindahkan, beserta mobilku. "Bibi yang sering ke apartemen dong" ujarku manja, membiarkan Nata memperhatikan interaksiku. Aku mencium pipi kiri dan kanan Bibi untuk berpamitan, tidak mempunyai sosok Ibu selama belasan tahun terakhir membuatku lebih dekat dengan asisten rumah tangga dibanding orangtuaku sendiri. Aku masuk ke dalam mobil Nata dan menatap pelan rumahku. Entah kenapa aku seolah-olah akan pindah selamanya dari rumah ini. * Aku lebih dahulu membereskan barang-barang untuk kebutuhan pekerjaanku dibanding pakaianku. Itu bisa menyusul, tapi menyulap satu ruangan ini menjadi ruang kerja sangat merepotkan. Nata sepertinya sudah berada di apartemennya, dia tadi pamitan saat sudah membantuku membawa barang-barang dengan trolley yang disediakan pihak apartemen. Aku menjadikan ruangan ini menjadi ruang studio di kantor. Mini studio. Di ruangan ini aku menyortir project jika harus membawa pekerjaan ke rumah mulai dari review naskah, menilai pengeditan video hingga screening program TV jika itu tidak on-air dan iklan-iklan yang ingin tampil di Stasiun TV kami. Sebelumnya ruangan ini bergabung dengan walkin closetku di rumah, karena Papi dulu menentang keras keinginanku untuk menjadi tim kreatif, namun seiring berjalannya waktu Papi diam-diam menikmati peranku saat ini dan tidak lagi protes. Apalagi setelah aku menurut untuk ditunangkan dengan Nata. Butuh beberapa jam untuk membentuk ruangan ini. Perutku menjadi sedikit lapar. Aku bahkan belum membereskan keperluan pribadiku di kamar. Sebaiknya aku harus mengerjakan semua ini dengan cepat supaya aku bisa membahagiakan diriku sendiri. Benar kan? Tidak ada yang bisa membahagiakan diri daripada diri sendiri. Aku sedikit terlonjak mendapati Nata berada di ruang tengah dan sedang menonton televisi. Kupikir dia sudah pulang. "Kamu nggak balik?" Dia menoleh sebentar ke arahku. "Kamu ngusir?" dia sepertinya sudah sangat pintar menjawab pertanyaanku sekarang. Nata menoleh pada kardus besar berisi layar yang kugunakan untuk bekerja. "Itu TVnya mau di taro dimana?" tanyanya. Kemampuannya untuk menarik perhatian orang lain benar-benar luar biasa. "Di ruangan itu?" aku menunjuk ruang kerjaku, saat melihatnya beranjak aku buru-buru menghalanginya. "Nggak perlu, nanti biar aku sendiri yang pasang" Nata mengangkat kedua alisnya, sekarang senyum mengejeknya mengembang. "Siapa yang mau bantuin kamu? Saya mau ke toilet" Aku terdiam sepenuhnya karena ucapannya. Membiarkan wajahku memerah karena malu sedangkan dia sudah masuk ke dalam ruang sempit itu. Nafasku memburu cepat dan membawa televisi itu sendiri ke ruang kerjaku. Sialan! Nata sialan! Aku terus merutuki laki-laki yang ada di apartemen itu sampai-sampai tidak sadar dia sudah masuk seenaknya di ruang kerjaku. Aku yang kesusahan mengangkat TV 30inch itu langsung merasa televisi itu sangat ringan. "Ditaruh dimana?" Aku menepis tangan Nata, namun laki-laki itu malah semakin membawa televisi itu sepenuhnya kepadanya. "Nggak perlu kamu bantuin" Dia terdiam sebentar padaku. "Kamu bawel banget ya?" Aku mendengus sebal. Dadaku bergemuruh tidak santai saat ini berada di dekatnya. "Gantung disana!" tunjukku pada dinding yang kosong. Aku memang tidak mengisi ruangan ini dengan tempat tidur, sehingga bisa membuatku sepenuhnya menata ruangan menjadi ruang kerja. "Peralatannya mana?" tanyanya. Seperti anak ayam, aku berjalan keluar dan mengambil apa yang diinginkannya dan memberikan padanya. Bodoh, dia hanya membantuku dia tak memiliki maksud lain apalagi mengkhawatirkanku. Tidak seharusnya aku terbawa suasana seperti ini. "Kamu beresin yang lain aja. Barangmu terlalu banyak! Biar saya yang mengurus ini" dia mulai duduk di lantai dan mengeluarkan peralatan-peralatan untuk memasang televisi tersebut. Aku hanya diam beberapa saat di depannya, sebelum akhirnya aku melangkah keluar dan masuk ke dalam kamar. Aku mendekati koperku dan memegang dadaku, detakannya bergemuruh disana, aku juga bisa merasakan pipiku memanas. Astaga. Aku tidak boleh seperti ini. * Apa yang kulakukan saat ini? Aku terus bertanya-tanya di dalam hati sambil terus melanjutkan pekerjaanku. Aku tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya, pikiranku terus menerus memikirkan Nata yang membantuku membereskan apartemen kemarin, yang berakhir dengan makan besar. Kali itu, aku menahan selera makanku dan kembali membeli makan diluar saat dia sudah masuk ke apartemennya. Aku bukan lagi bocah yang baru saja jatuh cinta kan? Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat dan memilih berkonsentrasi pada skrip yang saat ini sedang kureview. Ada beberapa kesalahan dan seharusnya ini diperbaiki, tapi aku sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi. Damn! Kenapa wajah Nata terus-terusan teringat olehku, sebelumnya aku memang menyukainya, bahkan aku mengikrarkan diri mencintainya, ini seharusnya bukan hal baru lagi! Tapi kenapa perhatian kecilnya saja bisa membuatku seperti ini. Sepertinya aku memang sudah gila. "Allen, tolong lanjutkan review naskah ini. Saya akan ngopi sebentar di pantry" aku memberikan naskah kepada Allen dan memilih untuk keluar ruangan. Menenangkan diri sepertinya sudah menjadi kebutuhanku saat ini. Aku tidak menyangka terlalu dekat dengan nata bisa berakibat seperti ini. Bodoh, Saras. Hanya kamu yang merasa seperti ini. Disana, Nata sedang sibuk mengerjakan pekerjaan. Dia tak akan pernah repot-repot memikirkan kamu. Bisikan itu berhasil membuatku lebih tenang, aku memanaskan air dan membuat kopi dengan cepat. Nata tak akan peduli padaku, dia sangat antipati. Tingkah lakunya kemarin itu bukan apa-apa. Bukan sesuatu yang harus kupikirkan hingga berhari-hari seperti ini. Dia hanya mencintai Tania. Hanya Tania yang ada di dalam hidupnya. Kamu hanya parasit yang tidak sengaja dijodohkan dengannya. Pikiran lain membuatku lebih baik. Aku terus menyugesti diri agar tidak jatuh terlalu dalam pada Nata. Dia masih belum menyukaiku, tidak baik aku menyerahkan seluruh hatiku padanya. Pelan-pelan. Aku harusnya menyisakan sedikit tempat untuk orang lain jika dia tiba-tiba ingin membatalkan pertunangan ini. Aku tidak mengerti. Kenapa aku harus seperti ini? * Hanya ada satu tempat selama ini yang bisa menenangkan pikiranku. ini selalu kulakukan apabila aku sedang sedih akan sikap Papi yang tak pernah mau ikut campur urusanku, tepatnya tidak mempedulikanku. Aku terus melajukan mobil dengan kecepatan tinggi ke sudut kota. Tempat yang sudah ku hafal bahkan saat aku menutup mata. Tempat dimana aku bisa merasakan kekeluargaan yang sebenarnya. Tempat yang bisa membuatku tenang seketika. Aku mampir sebentar untuk membeli ayam bakar madu sebanyak dua puluh lima kotak. Selama menunggu pesananku itu, aku mengirimkan pesan kepada Janeta bahwa aku akan datang hari ini. Janeta adalah satu-satunya teman yang kuanggap, yang kurasa bisa kubagikan keluh kesahku. Tentunya tidak semuanya. Setelah dibantu oleh pelayan restoran itu, aku kembali melajukan mobil, aku sudah tidak sabar untuk sampai. Aku ingin bertemu mereka semua. Ketika mobilku sudah terparkir dibahu jalan dengan sempurna, aku masuk ke gang sempit yang bahkan tidak bisa dilalui mobil itu dengan cepat. "Jaan... gue dateng nih" aku berteriak dari luar. "TANTE SARASS!!" sambutan hangat itu langsung membawa anak-anak yang luar biasa kusayangi itu keluar dari rumah dan memelukku. Andin dan Anto yang biasanya paling girang saat bertemu denganku, saat ini mereka sudah berusia sepuluh tahun. Anak-anak lain yang lebih besar dari mereka sepertinya sedang sekolah. "Bantuin tante ambil makanan yuk?" pintaku cepat, mereka langsung mengangguk. Janeta keluar dari rumah bersama Haris, mereka berdua menyalamiku sebentar dan kami berjalan beriringan untuk mengambil makanan di dalam mobilku. Aku duduk lesehan di ruang tamu, bersama dengan Janeta dan Haris, mereka sedang membagikan makanan yang kubawa untuk anak-anak yang berada disini, sebagian lagi ditaruh di dapur untuk anak-anak lain. Panti ini memiliki 25 anak asuh dan 3 balita yang dua tahun ini menjadi anggota keluarga baru. Aku selalu mengawasi perkembangan panti asuhan ini dari dulu, sejak Mami masih berada di antara aku dan Papi. Setelah Mami meninggal saat umurku tiga belas tahun, aku langsung mengambil alih panti asuhan ini dan mengelolanya hingga sekarang. Tidak ada yang tau akan hal ini, hanya aku dan Papi. Kami berusaha untuk tidak mengumbar ini kemana-mana demi alasan keselamatan. Bukan tidak mungkin ada saingan papi yang bisa memporak-porandakan rumah ini mengingat betapa hitamnya dunia bisnis. Janeta seumuran denganku, Haris tujuh tahun dibawah kami. Diantara anak-anak yang lain, hanya dua orang ini yang mampu bertahan hingga saat ini disini dan tidak tergiur dengan nikmat dunia yang pada akhirnya menjadi pengelola tetap, bersamaku. Menggantikan tugas Bu Radya dan Bu Susan yang masih sering mengunjungi kesini, namun sudah tidak sanggup lagi mengelola panti. Mereka hanya datang saat-saat tertentu saja.Bibi Minar adalah teman akrab dua orang itu. Tugasku selama ini adalah mencari donatur untuk menghidupi anak-anak ini. Papi menjadi donatur tetap, tapi itu tidak cukup mengingat semakin tingginya kebutuhan anak-anak disini dan juga kebutuhan sekolahnya. Aku yang mencarinya disela pekerjaanku menjadi creative director, hanya promosi kecil-kecilan. Hingga sekarang sudah ada lima donatur tetap untuk rumah ini, Aku lebih sering menyebutnya Rumah Kita dibanding panti asuhan. Papi, Om Josh, Presdir Stasiun TVku, Brand rokok ternama dan firma hukum milik Om Raymond. Masih banyak donatur-donatur lainnya namun tidak tetap seperti kelima orang itu, kami juga sudah bekerja sama dengan dinas sosial. Disinilah aku merasakan rumah sejak Mami meninggal dan Papi menjadi berubah total. Sudah terlalu lama aku hidup dalam dinginnya rumah, namun setiap datang kesini aku merasa kehangatan dan kenyamanan. Ditambah dengan perasaan bangga melihat anak-anak ini tumbuh dan mendapatkan pendidikan serta kehidupan yang layak. Kami seperti biasa membaca doa sebelum makan, aku mengusap kepala anak laki-laki yang berumur enam tahun bernama fatih dan tersenyum kearahnya. "Fatih udah lancar belum baca Al-Qurannya?" tanyaku padanya. Dia mencomot ayam dengan tangannya yang sudah dicuci. "Udah tamat alba..qayah" ujarnya membaca Al-Baqarah dengan terbata, aku semakin tersenyum dan mengusap kepalanya. Aku tidak makan memang, sudah terlalu kenyang melihat mereka semua ceria seperti ini. Aku merasa kami senasib. Tapi mereka jauh tidak beruntung daripada aku, aku tidak ingin mereka merasa kecil dan rendah diri karena tidak memiliki apa yang orang lain miliki. "Mbak Saras" Haris tiba-tiba duduk di dekatku, dia mulai mengode kami harus membicarakan sesuatu. Aku segera duduk dan mengikuti Haris ke ruangan kerja mereka. "Ada yang mau adopsi Raia" ucapan Haris membuatku menghentikan langkahku. Raia anak yang berusia lima tahun, dia cukup pendiam dari anak-anak lainnya namun sangat menyukai menyanyi. Aku mengerinyitkan dahi. Janeta menyodorkan berkas calon orang tua asuh mereka kepadaku membuatku langsung membaca data-data mereka. "Mereka udah lolos dari Dinsos?" tanyaku cepat. "Belum sih, kemarin katanya mau adopsi supaya jadi pancingan juga. Mereka udah sepuluh tahun menikah, belum punya anak" Aku mendengus. "Nggak usahlah. Nanti mereka malah beda-bedain Raia kalau udah dapat anak kandung" aku sangat kesal dengan orangtua yang menjadikan masa depan anak-anak hanya karena untuk memancing anak kandung mereka. Aku tidak pernah suka dengan pemahaman itu. "Raia sakit asma, mereka udah tau?" Janeta menanggukkan kepalanya. "Mereka nggak masalah, udah sayang gitu sama Raia kayaknya. Kita belum ngasih jawaban, masih mau diskusiin ini sama lo" Aku kembali membaca biodata dua orang yang akan mengasuh Raia tersebut, membaca pekerjaannya sekalian. Aku memang sangat tegas memberikan anak-anak yang berada disini ke tangan orang lain. Aku harus melakukan scaning psikologi untuk dua orang itu sebelum benar-benar menyerahkan ke dinas sosial. "Gue harus scaning psikologi mereka dulu. Gue mau ketemu sama mereka. Gue nggak mau nyerahin anak-anak disini ke psikopat atau orang yang bertanggung jawab" bebannya sangat berat memang, tapi aku ingin memastikan mereka hidup tercukupi dengan baik, secara materil dan emosional. "Nah itu, lo mau ketemu kapan? Mereka siap-siap aja ketemu sama lo" Aku memijit pelan pelipisku. "Akhir minggu ini?" tanyaku pada Janeta dan Haris. "Akhir minggu mereka ada acara keluarga di Cirebon" Aku menghela nafas dalam. "Gue nggak bisa weekdays, kerjaan gue numpuk banget. Mungkin weekend satunya. Mereka nggak buru-buru kan?" Janeta langsung menggelengkan kepalanya. Aku mengangguk-angguk paham dan menutup biodata itu dan langsung memberikannya pada haris. "Ris, tolong dicopyin buat Mbak ya. Mbak mau cari tahu dulu" Haris langsung menurut dan pergi dari ruangan itu. "Lo kacau? Papi lo kenapa lagi?" aku benar-benar berharap Janeta bisa tinggal bersamaku, hanya dia yang paham dengan suasana hatiku yang kacau saat ini. "Bukan Papi tapi Nata" "Tunangan lo? Tumben" Aku mengangkat bahuku cepat. Aku kemudian menceritakan apa yang terjadi padaku dan Nata saat kami pindahan itu. janeta menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya dan membuatku semakin frustasi. "Mungkin lo udah cinta sama dia deeper than the ocean" Aku tertawa seketika. "Omongan lo! Udah kayak anak Pramoedya!" Janeta tersenyum menggodaku. "Kalau perasaan gue sedalam itu mungkin gue butuh pelampung kali ya, dia nggak akan pernah nolong gue yang tenggelam karena dia" Seketika Janeta tertawa keras mendengar hiperbolaku. Aku menghela nafas pasrah. Sudahlah. Untuk apa pula aku bergumam aneh seperti ini. Seharusnya kujadikan saja ini untuk ide script sinetron yang ditayangkan oleh Stasiun TVku.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD