Part 4 - Nowhere Home

2434 Words
"Jojo..." aku menelepon Jonathan teman yang cukup baik denganku saat kuliah dan beberapa kali hangout denganku beberapa tahun terakhir atau beberapa tahun yang lalu?. Dia bekerja di perusahaan yang sama dengan calon orang tua asuh Raia. Benar-benar menyenangkan mempunyai teman-teman yang berada di deretan atas, setidaknya mereka punya investasi disana untuk mengintervensi, memudahkanku mencari tahu. Aku memang benar-benar sangat berlebihan apabila ada orang tua yang ingin mengadopsi anak-anak di Rumah Kita, sangat-sangat protektif dan memastikan bahwa mereka pantas mendapatkan izin kami untuk mengasuh. Belum lagi pekerjaanku untuk program yang bermasalah selesai, aku juga harus membagi waktuku untuk hal-hal seperti ini. Aku berjalan cepat saat melihat pintu lift akan segera ditutup. Jantungku sedikit merosot mengetahui siapa yang ada di dalam lift. Nata. Hanya sendiri. Aku seketika merutuk kenapa aku harus sedang menghubungi Jojo untuk hal-hal seperti ini. Dia cukup kaget dengan kedatanganku namun pada akhirnya hanya cuek saja menatap kedepan. "Iya, gue butuh informasi lo. Kalau perlu lo cariin itu catatan hutangnya" aku melanjutkan percakapanku dengan Jojo. Sudah kepalang tanggung, besok aku ada screening untuk program baru, tidak mungkin akan selesai cepat. Jonatan terbahak diseberang sana. "Buat apa sih? Ini klien bokap lo?" tanyanya mulai ingin tahu. Aku harus memutar otak agar dia tidak membocorkan apapun yang kulakukan sekarang. "Nggak perlu lo tau. Lo mau kan bantuin gue?" "Ngedate sama gue tapi ya?" "Ah elah, gue udah punya tuna...' aku mengutuk mulutku yang tidak bisa menghentikan sesuatu. Aku langsung melirik nata dengan ekor mataku, dia juga ternyata tengah menatapku dengan raut bingung. "gue udah punya tuna netra" s**t. Apa yang baru saja ku katakan? "Lo ngomong apa sih?" Aku berdecak, lama-lama kesal juga dengan temanku. "Lo bantuin gue aja sih... gue ada jam Armani, limited edition. lo pecinta Armani kan?" "Bohong lo" "Ck. ngapain gue bohong, nanti gue fotoin" "Sumpah? Mau. Oke, gue nggak akan mengecewakan lo" Haha. Aku mendengus dan menutup pembicaraan itu baik-baik. Kesal sekali, beginilah kalau ingin mencari keuntungan, harus tau apa yang target suka, sama seperti membuat program televisi. Harus butuh persiapan matang. Kami ternyata sudah sampai di lantai apartemen kami. Aku sudah menduga Nata tidak akan bertanya apa-apa padaku. Dia kan sama saja dengan papi, tidak mau mencampuri urusanku . aku mengekor di belakangnya, tidak berniat pula membuka pembicaraan. "Begitu kamu meminta tolong sama seseorang? Dengan menyogok?" oh ternyata dia berminat juga berbicara denganku. Aku menghela nafas, mempersiapkan amunisi untuk melawannya. "Nggak usah sok tau kamu" aku menghentakkan kaki dan berjalan lebih dulu, cepat-cepat ingin sampai ke unitku. "Tadi saya menghubungi kamu, tapi kamu nggak bisa dihubungi" Aku mengerinyitkan dahi. "Ngapain?" Nata terdiam sebentar, seolah-olah sedang berpikir. "Mau makan?" "Hah?" Wajah datar Nata langsung berubah menjadi kesal sekarang. "Kamu mau makan malam nggak?" nadanya terdengar kesal sekali. Aku benar-benar melongo dibuatnya, aku langsung menganggukan kepala dengan cepat, "Mau" aku tersenyum kearahnya. "Kamu nggak lagi ngajak aku kencan kan?" aku tersenyum-senyum dan menekan kombinasi password apartemenku. "Nggak usah kegeeran kamu, saya lapar, lagi nggak mau makan sendiri" dia langsung berjalan menuju unitnya dan melakukan hal yang sama. Aku mencibir. "Alasan!" * Aku nyaris tertawa melihat ekspresi Nata yang sedang melahap makanannya. Tuan muda kita sedang menikmati makan malam di warung pinggir jalan depan apartemen. Setelah berberes sebentar dan akhirnya memutuskan untuk makan malam, aku segera mencegat nata yang ingin memencet tombol basement di lift dan sebagai ganti memencet ground floor. Aku tidak bisa menebak ekspresinya karena setelah keluar dari gedung apartemen karena aku langsung menariknya dan menyeberang melalui jembatan penyeberangan. Aku kemarin menemukan warung pecel lele paling nikmat di Jakarta, itu berada lima ratus meter di depan gedung apartemen kami dan buka hanya saat malam. Percayalah, warung pinggir jalan lebih nikmat dari restoran fancy yang orang-orang idamkan. Plusnya adalah, aku bisa mengambil nasi sepuas hatiku disana. Aku memang seperti gajah jika makan, tidak bisa berhenti. Untungnya aku bisa menahan lapar jika saat berada di acara-acara penting. Aku menikmati pemandangan di depanku. Nata makan menggunakan sendoknya, dia tampak kesusahan menyisihkan ayam yang ada di piringnya, wajahnya sama sekali tidak terbaca. Saat aku melihat penampilannya lagi aku terbahak seketika. Nata langsung mengangkat wajah, menatapku curiga. "Aku baru sadar penampilanmu kayak mau meeting" komentarku melihat dia yang rapi, wangi musk juga tercium jelas di hidungku, tidak luntur karena polusi jalanan dan asap penggorengan. Aku tidak perlu menyebutkan merk parfumnya sekalian kan? Aku segera mencomot ayam dengan tanganku dan melanjutkan makanku. "Saya baru sadar, kamu suka sekali mengomentari sesuatu" Aku terus melanjutkan makanku, dengan tangan. Ini benar-benar tidak seperti gadis yang menjaga image di depan gebetannya. Namun siapa yang bisa menolak sensasi ayam goreng dengan sambal dan lalapan yang sekarang tersedia didepanku? Aku sangat menyayangkan sifat burukku. "Kalau pagi, disini biasa jual bubur ayam. Kalau kamu mau ngapelin aku pagi-pagi. Bawain bubur ayam itu ya, sebenarnya lebih enak yang dibelakang apartemen kita sih. Juga udah punya tempat juga" aku membuka percakapan, aku tau aku aneh tapi biarlah, mencari topik yang pas dengan nata tanpa berdebat sangat memusingkan untukku. "Yang dekat pangkalan ojek itu?" tanyanya. Aku langsung mengangkat kepala. Ternyata dia tau juga! Belum seminggu tinggal disini tapi bisa menyortir warung-warung enak dan rekomended disekitarnya. Kemampuanku dalam menelan rasa memang sudah tidak bisa diragukan. "Kok kamu tau? Kamu pernah beli disana ya?" tanyaku antusias, aku melanjutkan makanku tanpa menoleh pada nata. "Itu bubur ayam kesukaannya Tan..." gerakanku mengunyah berhenti sebentar sebelum aku bisa menguasai diri. Sakiiiiiit. Setelah bertahun-tahun tak pernah ada tempat untukku. Tapi aku tidak bisa sebal dan bertingkah seperti perempuan manja pada umumnya. Lagipula kami sama-sama tau, Nata tidak akan bisa move on dari Tania. Oh. Jadi dulu mereka tinggal di apartemen ini. Aku kembali menatap Nata yang terdiam sebentar, sebelum kembali kesusahan menyantap makanannya. "it's okay. Bubur ayam itu memang enak, dan Tania pasti juga suka" lanjutku, mencoba biasa saja setelah mengatakan itu. Acting dan drama adalah bagian pekerjaanku jangan sampai menjadi bagian hidupku juga. "Maaf" desisnya pelan. Entah kenapa aku risih mendengar permintaan maafnya. "For what? Untuk pikiran kamu yang selalu berpikir tentang Tania? Itu juga diluar kuasa kamu kan?" Nata menggelengkan kepalanya cepat, namun pandangannya menerawang. "Kangan pergi sendiri kesana, dulu dia sering digoda tukang ojek yang ada disana. Saya nggak mau kamu..." ucapan Nata terhenti saat melihatku tersenyum lebar. "Kamu nggak mau aku...?" Tanyaku semakin antusias, Nata langsung memalingkan wajah dan berdecih pelan membuatku tanpa sadar mengibaskan rambutku yang sudah memanjang. "Kayaknya nggak sulit bikin kamu suka sama aku. Kenapa kita nggak ngelakuin ini dari dulu ya?" "Stop bermimpi" Aku langsung tertawa dan melanjutkan makanku. Nata hanya diam saja ketika aku mengatakan pada mamang-mamangnya untuk menambah ayamku yang sudah habis. Semakin sering aku bertemu Nata sepertinya semakin banyak porsi makanku. "Kamu nggak takut gendut?" tanyanya setelah aku menuangkan air putih dari ceret. Aku mengangkat sebelah alisku. "Kamu malu ya?" tanpa sungkan dia mengangguk. "Porsi makanmu porsi makan kuli" Aku terkekeh. "Kuli hatimu~" membuat Nata berdecih pelan –lagi. Sepertinya saat bersamaku dia sering sekali berdecih, entah karena ucapanku atau karena aku didepannya. Setelah tertawa aku kembali melanjutkan. "Pekerjaanku butuh berfikir, Nat dan sikap kamu juga bikin aku tambah frustasi, daripada aku kelaparan dan sakit lebih baik aku makan" jelasku padanya. "perutku kenyang, aku senang" aku tertawa lebar di depannya. Mungkin orang-orang disekitar kami menganggapku gila karena tertawa sendirian, untung saja wajahku cantik. Jadi bisa dimaafkan. Aku langsung menerima ayam tambahan dari mamang penjual pecel lele tersebut. "Tapi kalau kamu nggak suka, aku bisa menguranginya. It's okay" jelasku padanya. Tanpa kuduga, nata menggeleng. "Jangan berubah karena saya" Aku tersenyum tipis dan tidak lagi menanggapinya. Aku tidak ingin terlalu memasukkan ucapan itu kedalam hatiku. Itu sama sekali tidak benar. Aku tau nata berkata seperti itu karena dia tidak akan pernah melakukan hal yang sama. Aku benci merasakan kejanggalan ini. * Aku turun dari mobil uber yang mengantarku dari stasiun kereta. Hingga siang tadi aku dan tim produksi meeting tentang tema baru reality show yang mengusut kehidupan vlogger youtube. Vlogger sedang marak-maraknya saat ini di dunia bukan hanya di Indonesia, jadi kami membentuk program televisi yang menguak cerita keberhasilan vlogger tersebut dari beauty vlogger hingga travelling vlogger. Berbentuk reality show tapi sangat disambut penoton dengan antusias. Akibat meeting tersebut, aku melupakan janjiku pada Papi untuk datang ke Bogor merayakan ulangtahun Karissa, bungsu Om Raymond. Aku tidak terlalu dekat dengan keluarga besarku, kecuali keluarga Om Raymond. Itupun karena mereka dulu sering kerumah saat ada Mami. setelah kepergian Mami, intensitas kunjungan om Raymond semakin berkurang hingga tidak sama sekali. Aku naik KRL agar cepat sampai. Siang hari memang waktu yang pas untuk naik KRL, karena penggunanya tidak terlalu banyak hingga berhimpitan. Setelah sampai di stasiun bogor aku langsung memesan taksi uber. Perayaan itu dirumah Om Raymond langsung, aku mengeluarkan hadiah untuk Karissa dan masuk ke dalam rumah tersebut setelah dibukakan pintu. Birthday party Karissa ada di halaman belakang yang langsung tersambung dengan pintu kaca menghadap ruang keluarga. Saat melewati ruang keluarga, kakiku otomatis berhenti melihat siapa saja yang ada disana. Aku mengabaikan mereka yang ada di ruang itu dan langsung masuk ke halaman belakang, tempat Karissa, sepupu-sepupuku dan teman-temannya merayakan ulang tahunnya. Om Raymond termasuk orang yang cukup keras mendidik anak, dia tidak mau kecolongan karena pergaulan anak zaman sekarang terlalu bebas. Jadilah, Karissa hanya boleh mengadakan birthday party ke 16nya di rumah, bukan di club. Tapi aku tau Karissa sering mencuri-curi waktu datang kesana. "Birthday Girl, Happy sixteen!" aku langsung mendatangi Karissa dan memeluknya sebentar dan menyerahkan kadoku kepadanya. "Samsung NX500 yang pernah kamu tanyain ke aku!" Karissa langsung terpekik mendapatkan hadiahku, dia sebenarnya mampu membelinya memang, tapi dia request kepadaku untuk membelikan yang asli dari Korea. Kebetulan beberapa hari yang lalu, rekanku di bagian produksi terbang ke Korea untuk pengambilan gambar, karena itulah aku menitipkan kamera ini. "Mbak Saras emang yang terbaik!" dia mencium pipi kanan dan kiriku dan menggandengku untuk bergabung bersama sepupu-sepupu lain. Saat berkumpul seperti ini kami memang jarang tak absen, dulu karena Oma yang mengomel tidak bisa melihat semua cucu-cucunya, kebiasaan ini berlanjut hingga sekarang. Flora langsung melambaikan tangannya padaku dan menyuruhku duduk di dekatnya. Aku langsung menghampiri sikecil yang ada dipangkuannya, menciumnya sekilas "Suami lo mana?" tanyaku akhirnya, Flora satu tahun dibawahku dan dia sudah menikah, sudah memiliki anak, aku hanya stuck distatus bertunangan tanpa dinikahi. "Lagi sama Alfin" jawabnya sambil menggoyangkan pangkuannya, aku tersenyum lembut dan memainkan tangan Haruka, pipi gembulnya memerah. Aku tidak tahan untuk tidak menciuminya. "Ras." Tanya Flora. "Hmm" Aku tidak mengalihkan perhatianku dari Haruka, malah semakin gencar bermain dengan anak itu. Menggemaskan sekali. "Lo lewat ruang tengah?" entah kenapa Flora harus berhati-hati disana. Aku langsung mengangkat wajah dan tersenyum kecil, "Menurut lo? Gue datang dari langit?" aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan kembali bermain dengan Haruka. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan Flora saat ini, aku hanya ingin bermain dengan Haruka. "Ras, I know you're not okay" Aku terdiam sebentar. "Terlalu tua untuk marah-marah Flo. Itu udah keputusan Papi buat bawa perempuan itu masuk ke keluarga kita, sekarang. Gue cuma bisa menghargai" jika ditolak Nata dan keluarganya sudah bisa dikatakan sakit, maka kata-kata yang baru saja kuucapkan mampu menghunus jantungku beribu-ribu kali lipat. Sangat menyakitkan mengetahui Papi seperti itu. Terlalu menyakitkan bagiku untuk tahu semua ini. Namun aku tidak ingin menjadi manusia tidak berguna yang hanya bisa mengagung-agungkan perasaan. Aku ingin lebih baik, setidaknya aku ingin kehidupanku lebih baik dari kehidupan mami. Aku sudah terlalu kebal dengan rasa sakit dan kecewa. Sebenarnya, aku tidak apa Papi menikah lagi. Di hari tuanya, Papi memang harus memiliki teman daripada diperbudak oleh pekerjaan. Aku toh tak keberatan jika papi membawa perempuan itu baik-baik kehadapanku. Tapi aku sangat-sangat menyayangkan ketidakhadiranku pada pernikahan kedua Papi empat belas tahun yang lalu itu. Anak macam apa sebenarnya aku ini? * Perasaanku menjadi sangat kacau setelah pulang dari Bogor. Aku hanya empat jam disana, berbasa basi sebentar dengan paman-pamanku dan langsung pamit, mengatakan aku telah diundang keluarga Nata untuk makan malam. Itu hanya kedok. Nata memang mengundangku, tapi aku sudah mengatakan aku tidak bisa datang. Aku hanya tidak mau bertemu papi dan istrinya. SHIT! Aku sepertinya harus tenggelam dengan pekerjaanku. Kalau tidak, satu hal yang paling kubenci didunia ini akan datang sebentar lagi. Berniat untuk kembali ke kantor, langkah kakiku berhenti saat melihat siapa yang ada di pintu keluar stasiun sudirman itu. Kenapa hari ini menjengkelkan sekali? Aku tidak mempedulikan Nata yang berdiri dihadapanku sama sekali dan bermaksud keluar, dia langsung mencegat tanganku ketika aku sampai didekatnya. Kalau begini, aku harus kembali memasang tampang pura-pura. "Aku udah bilang kan nggak perlu jemput aku?" ujarku setelah sampai di hadapannya. Dia seperti biasa tidak menjawab sama sekali, hanya mematung di depanku. Aku tidak butuh orang-orang seperti ini dihadapanku. Berpura-pura didepanku padahal menusukku dibelakang. Membuatku merasa tersakiti. "Mama benar-benar ngundang kamu makan malam" "I don't care" sentakku langsung. "Aku minta maaf, tapi aku sedang tidak dalam keadaan baik untuk berhadapan dengan orang lain sekarang" ujarku jujur, percuma juga menutupi perasaanku, jelas mukaku sangat masam sekarang. "Mama akan bunuh aku kalau pulang nggak bawa kamu" Aku menghembuskan nafas kasar. "I don't care!" aku mengeluarkan masker mulut dari dalam tasku dan memasangnya. "Kamu menantu idaman mama, kita udah berkorban banyak hingga sampai ke tahap ini, Saras. Kamu mau mengacaukan semuanya?" Aku menatapnya tajam. "Cuma kamu yang berkorban, aku nggak berkorban sama sekali" desisku. Aku langsung mengambil langkah untuk pergi namun tanganku masih ditahannya. "Ada apa lagi denganmu?!" Aku akhirnya mengalah, mengatur ekspresiku dari balik masker, menenangkan diriku selama beberapa detik. Hanya meditasi singkat seperti ini yang kubutuhkan, rasa sakit yang sempat kurasakan tadi harusnya bisa membuatku menghasilkan naskah lebih baik besok. "Fine. Kamu nggak akan ngalah kan?" aku melepaskan tautan tangan kami dan membiarkan dia jalan terlebih dahulu. Aku berkali-kali menyugesti diri untuk tidak kacau setelah ini, aku tidak mungkin bertemu calon mertuaku dalam keadaan wajah sangat kusut. Selama perjalanan Nata tidak mencoba lagi mengajakku bicara dan aku memilih tidur. Melelapkan diri sebentar dari kenyataan hidupku memang terasa lebih mengasyikkan daripada menikmatinya. Hanya saat di Rumah Kita aku bisa menikmati hidupku. Lain daripada itu, aku hanya merasa dunia sangat tidak adil padaku. Aku masih tersadar dalam lelapku. Aku tidak boleh seperti ini, menjadi manusia yang tidak bersyukur hanya merugikanku. Nasibku masih jauh lebih baik daripada anak-anak di Rumah Kita. Setidaknya aku tidak dibuang langsung oleh orangtuaku seperti mereka, aku diabaikan pelan-pelan. Masih banyak orang-orang yang ingin berada diposisiku sekarang, aku tidak boleh banyak mengeluh. Mami pasti tidak menyukai hal ini. Mereka hanya tidak pernah tau kehidupan sempurna yang mereka lihat hanyalah tipuan yang dibuat oleh mata mereka sendiri. Rekayasa hidup yang mereka percayai tanpa sadar. Padahal dibalik itu semua, sang pemeran utama tertatih-tatih untuk menampilkan hidup yang luar biasa itu. Hanya menampilkan. Sama seperti aktor-aktris yang bermain film, mereka hanya membuat kehidupan seolah-olah hanya demi kepuasan orang yang melihat mereka, meskipun mereka tidak menikmati sama sekali.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD