Part 8 - Something Different

2331 Words
Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap-siap. Aku sudah menyiapkan kameraku untuk memotret hari ini. Dulu, saat kuliah aku sering melakukan ini bersama teman-temanku. Namun, setelah bekerja dan juga harus mengambil kuliah psikologi kelas malam, Aku jarang melakukannya kalau tidak ada urusannya dengan pekerjaan. Karena itulah aku excited sekali, hal-hal yang dulu biasa kulakukan kini akan kulakukan lagi. Aku sebenarnya lebih menyukai sesuatu yang berhubungan dengan naskah. Karena dari awal, basicku adalah menulis, seharusnya aku jadi copywriter saja dulu. Setelah melakukan meditasi semalam penuh. Aku bisa menyambut hari ini dengan penuh senyuman. Tentu saja, hari ini aku akan pergi, meninggalkan semua luka-luka yang kurasakan semalam dan siap menerima hari baru. Bukankah alurnya memang seperti itu? ada duka dan ada suka, ada kesedihan namun juga ada kesenangan. Semua itu menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Begitu juga dengan hidup, aku selalu percaya dibalik luka yang kurasakan akan ada kebahagiaan yang akan datang padaku. Entah kapan. Jadi daripada menangisi hidupku yang terlanjur seperti ini, aku lebih baik menikmati hari-hariku. Belajar lebih banyak tentang kehidupan sehingga aku juga bisa mengendalikan diri lebih baik Aku kadang sedikit heran dengan diriku yang terlampau santai seperti ini, seolah-olah aku tidak memiliki emosi. Sudah lama sekali aku tidak meledak. Aku memang suka mengomel dan marah-marah, tapi menurutku itu bagian dari diriku. Ketika aku marah dan masih bisa mengendalikan diri, itu berarti aku belum meledak. Entah ini karena faktor pengalaman, atau mungkin memang aku yang seperti ini. Setelah memastikan penampilanku sudah sangat kasual, aku segera keluar dari apartemen. Tadi Farhan sudah menghubungiku dan mengatakan akan berangkat menjemputku. Kami memang sepagi ini pergi untuk mengejar cahaya, satu komponen utama dalam fotografi  adalah memiliki lighting yang bagus, dan Farhan tidak mau ketinggalan momen itu. Saat akan keluar aku menatap box pizza di atas tempat sampahku. Seketika merasakan pipiku memanas karena mendapatkan perlakuan baik Nata semalam. Memang luar biasa, dia yang biasanya bersikap kaku padaku malah mengajakku berbicara berkali-kali. Tapi aku tahu itu hanya rasa simpatiknya, hanya kasihan. Aku tidak ingin terlena dulu dengan perlakuannya, selama dia belum mengakui juga menyukaiku. Aku harus bisa menahan diri untuk tak terjatuh terlalu dalam. Nanti pada akhirnya, dia juga mendapatkan diriku, seluruhnya, bukan hanya hati juga hidup dan masa depanku. Aku memutuskan untuk menunggu di lobby apartemen. Aku mengenakan tas punggung dan sepatu hiking, takut-takut kalau Farhan mengajakku masuk ke dalam hutan. Bukan tidak mungkin dia melakukan itu, apa saja bisa dipotretnya. "Ras" Aku terkejut mendapatkan panggilan itu. Kubalikkan badanku untuk menatap orang itu. dia berdiri dengan kaos putih dan celana selutut, memakai sepatu olahraga, tubuhnya sedikit berkeringat. Aku terpesona dengan penampilannya itu, baru memalingkan  wajah. "Kamu jadi jalan dengan temanmu itu?" tanyanya, aku tidak tau rasa simpati Nata masih dirasakannya sampai sekarang. Dengan enggan aku mengangguk, kembali menatapnya. "Kamu baru selesai fitness?" tanyaku, basa basi sebenarnya, aku terlalu canggung mendapati sikap nata yang seperti ini. "Jogging" ralatnya, aku hanya bisa mengangguk untuk merespon. "Kamu nggak mau sarapan dulu?" tanyanya, aku sedikit menegang mendapatinya duduk di depanku hingga pernafasanku terganggu. Aku memperhatikan wajah tampan Nata, wajah tunanganku. Tapi aku tidak pernah benar-benar menyentuh wajah tampan itu. Setelah pelukan waktu itu, memang otakku agak sedikit berkhianat memikirkan yang tidak-tidak. Yang bisa membuatku malu seketika, Padahal aku sudah setua ini. "Nggak, temenku udah otw" Nata mengangguk-anggukkan kepalanya. "Temen kamu cewek apa cowok?" Aku mengangkat alis, "Kenapa kamu harus tau?" "kalau kamu hilang? Aku nggak tau harus hubungi siapa" Aku berdesis pelan. Tapi kurasakan jantungku berdebar kencang. "Aku nggak akan hilang" aku segera berdiri mendapat pesan dari Farhan yang mengatakan sudah dipinggir jalan gedung apartemenku. Membuat Nata juga turut berdiri. "Temenku sudah sampai. Bye Nat" aku segera pergi dari hadapannya, setengah hatiku masih menghangat karena perlakuannya tadi. Aku tidak boleh tergelincir pesonanya dulu. * "Lo nggak bawa helm?" Farhan langsung bertanya ketika aku sampai di depannya. Aku menepukkan tangan ke jidatku. "Gue lupa. Aduh, pinjem pak satpam aja kali ya?" jawabku cepat. Aku akan membalikkan badan ketika farhan malah menahanku. "Kasian dong kalau mau pergi, kita kan pergi lama" Aku berpikir sebentar. "Yaudah beli aja" Farhan langsung mencibir. "Beli! Beli! Mana ada ini toko helm yang buka jam segini" kami terdiam untuk berpikir, aku berpikir untuk meminjam Nata, tapi mana mungkin dia punya helm, punya motor saja aku sangsi, mengingat dia sangat memperhatikan penampilan. "Yaudah. Balik ke rumah gue dulu aja gimana?" tawar farhan pada akhirnya. Aku sudah bersiap naik ke atas motornya dengan cepat. "Nggak apa -apa ini? nggak ada polisi kan?" "Udah tenang aja" setelah mengucapkan hal itu, aku membiarkan Farhan mengendarai motornya dengan cepat, sesekali masuk ke dalam permukiman untuk tidak melewati jalan utama. Aku sibuk memperhatikan pemandangan disekitarku, sedangkan tanganku mencengkram erat tas punggung farhan agar memastikan aku tidak jatuh. Kami berhenti di sebuah rumah minimalis di sebuah perumahan, aku tidak memperhatikan nama perumahannya karena terlalu sibuk mengamati hal-hal lain. Aku segera turun dan membiarkan Farhan sedikit berlari untuk masuk ke dalam garasi rumahnya. Perumahan ini sangat asri, bahkan Farhan masih memiliki halaman depan yang ditumbuhi bunga-bunga cantik. Sepertinya mamanya yang merawat bunga-bunga itu. aku tidak berani masuk melewati pagar, lagipula kami hanya sebentar disini. "Loh? Temen Aa nggak disuruh masuk? Masuk dulu atuh neng!" aku terkesiap mendengar panggilan itu. aku menolehkan kepala dengan cepat sembari memberikan senyum sopan, di depanku berdiri wanita paruh baya yang mengenakan terusan bunga-bunga dengan rambut yang dibiarkan di gerai, Dari penampilannya aku yakin ini mama farhan. Mau tidak mau aku masuk ke terasnya dan menyalami orangtua Farhan tersebut. "Ma, helmnya teteh yang warna ungu itu dimana?" tiba-tiba Farhan muncul dari garasi dan menatapku pelan bersama mamanya. "Kalau nggak ada di belakang coba cari di kamarnya" jawab Mama Farhan ramah. Aku hanya tersenyum tipis kearah Farhan yang kembali meninggalkan kami berdua di teras ini. "Masuk dulu yuk. Ini temennya Farhan yang mana?" Mama Farhan mengajakku untuk masuk, aku mengikuti saja takut salah tingkah Aku bingung menjawabnya. "Ehm..." "Satu kantor?" tanya mama Farhan lagi, kami sudah duduk di ruang tamu rumah ini. aku menggeleng cepat. "Pacar Farhan ya?" Aku cepat-cepat menggelengkan kepala. "Nggak tante, kita satu profesi gitu. Jadi ini mau hunting foto buat pekerjaan" aku benar-benar kehabisan bahan untuk berbohong, kenapa juga aku harus berbohong kepada orangtua ini. "Siapa ma? Pacar Farhan?" kami lantas dikejutkan dengan suara itu, suara laki-laki paruh baya, papa farhan. Gila. Bagaimana mungkin aku bisa terjebak diantara  keluarganya seperti ini? "Ngakunya bukan, Pa" "Emang bukan. Orang Saras udah punya tunangan" Farhan muncul dibelakang dan membawa helm berwarna ungu yang tadi dicarinya. "ini temennya Tita ma" "Ohh temen Tita, kalian mau kemana sih pagi-pagi begini sudah keluyuran?" Farhan duduk didepanku dan mamanya dan memberikan helm itu kepadaku. "Mau hunting foto di Bogor, takut nggak kekejar mataharinya kalau berangkat siang" jawab farhan santai, membuat mamanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Buat iklan?" tanya Mama Farhan masih penasaran. Aku hanya mengamati interaksi orangtua dan anak itu dengan nanar, merasakan perasaan yang siap meledak sepertinya. "Yasudah. Hati-hati dijalan. Ingat kamu bawa anak orang" aku langsung berdiri setelah Farhan berdiri. Membiarkan laki-laki itu menyalami kedua orang tuanya dengan patuh dan aku melakukan hal yang sama. Ketika melakukannya hatiku langsung bergetar, merasakan perasaan asing yang tak pernah lagi aku lakukan. "Pergi dulu tante, om" aku mengucapkan dengan sungguh-sungguh, seolah menikmati peranku menjadi seorang anak. Mama Farhan mengelus puncak kepalaku saat aku menyalaminya dan mengantar kami hingga ke depan rumah. Seolah benar-benar memastikan kami pergi dengan benar. Sampai motor Farhan meninggalkan kediaman itu aku terus mengamati kebelakang, melihat orangtua itu masuk ke dalam rumah. Hatiku tercubit, seraya bertanya-tanya di dalam hati. Kapan aku benar-benar pamit pada orang tuaku? Kapan terakhir kali aku melakukan hal sesantun tadi terhadap orang tuaku? Aku ingat, mungkin itu adalah sebelas tahun yang lalu, ketika aku merasa Papi masih menyayangiku. Saat aku mengetahui semuanya dan merasakan perhatian papi sudah tak lagi untukku. Aku berubah sampai seperti ini, aku berubah dari anak manja yang disayang menjadi wanita angkuh yang seolah-olah tidak membutuhkan orangtua. Aku ingin seperti itu. Aku ingin hidup seperti Farhan yang disayangi oleh orangtuanya, yang diperhatikan orangtuanya. Aku juga ingin orangtuaku tau nama-nama temanku dan mendukung apa saja yang ingin kulakukan. Aku juga ingin seperti itu. Tidak bisakah aku mendapatkannya? * "Kok mama lo tau soal Mbak Tania?" tanyaku ketika kami berada di warung bakso karena masih merasa kelaparan. Farhan yang duduk disebelahku spontan menolehkan kepala. "hmm. Tita sama Bima lumayan sering ke rumah dulu, waktu itu ngapain ya? Gue lupa, kayaknya mereka jadi customer mama gue deh, soalnya mama gue masih bisnis MLM gitu" Aku mengangguk-anggukan kepala dengan cepat. "Maaf ya mama sama papa gue tadi anggap lo pacar gue, yah... lo tau lah, umur gue udah berapa, takut gue nggak nikah-nikah. Makanya ditagih pacar terus" Aku tertawa pelan mendengar hal itu, hidupku tak pernah ada tuntutan selain tuntutan pekerjaan. Aku tak pernah lagi dituntut papi sejak masuk kuliah, papi membiarkanku hidup sesukaku, tuntutan terakhirnya hanyalah tagihan janjiku yang akan menurut dipilihkan jodoh, bersama Nata. "Lo nggak ada niat gitu cari pacar? Kayaknya lo terlalu enjoy sama hidup lo sampai lupa sama yang satu itu" Farhan terkekeh pelan. "Iya sih. Ini gue juga lagi usaha kali nyarinya, capek sendiri terus. Temen-temen gue malah udah ada yang punya anak dua, gue masih aja begini-begini" Aku tersenyum pelan menanggapinya. "Gue kalau nggak dijodohin juga kayaknya masih sendiri" Farhan menatapku kaget, kedua matanya melitot tak percaya. Aku sangat suka bagaimana farhan mengekspresikan apa yang dia rasakan. "Bohong banget lo. Wajah-wajah lo kan wajah playgirl" Aku memukul bahunya pelan. "Kurang ajar!"  membuat dia meringis. "Nggak percayaan banget sih. Nih buktinya ya, Nata itu cowok pertama yang gue seriusin" Farhan tertawa keras. "Yaelah gue pikir Nata itu pacar pertama lo, eh langsung tunangan deh" Aku menggelengkan kepala. "Dulu sih, ada mantan gue. Waktu udah kuliah gue udah nggak pernah lagi pacaran. Capek sama tuntutan cowok, harus ini harus itulah, padahal kan gue sibuk" Farhan masih tertawa. "Gue juga putus gara-gara cewek gue posesif banget dulu. Nggak tahan terjerat, gue lepasin aja pas dia minta putus buat seratus kali" Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia katakan, "Lo ngitung dia berapa kali minta putus?" Tanyaku cepat. Farhan mengangguk pasti. "Iya, pokoknya dulu itu apa-apa putus, apa-apa putus, eneg juga gue. Yaudah gue lepasin aja" terangnya, seolah-olah tidak ada beban saat dia mengatakan hal itu. "Jadi lo udah jomblo berapa lama?" tanyaku penasaran, pada akhirnya. "Tiga tahun kali ya? Mau nyari yang serius, susah banget sekarang nyari cewek yang bisa diajak langsung ke pelaminan. Mana kalau gue belum nikah belum dianggap bahagiain orang tua" Aku tertawa lepas mendengarnya. "Bahasa lo! Pelaminan! Kenapa nggak tenda biru sekalian?" "gila, jadul abis. Desy ratnasari punya tuh" Tak sengaja lewat depan rumahmu Ku melihat ada tenda biru Kami berdua tertawa ketika mendengar suara kami masing-masing yang menyanyikan lagu tenda biru itu. "lo gila banget ya, ternyata" ujarku. Farhan tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo juga absurd abis. Eh, gue lihat hasil jepretan lo dong" Farhan menyodorkan tangannya untuk meminta kameraku, aku mengambil kameraku dari dalam tasnya dan memberikannya. "Gue pikir lo bawa tripod tau" komentarku cepat. Farhan mengernyitkan dahi. "Yaampun, sekarang udah zaman gorilla pod masih aja lo stuck di tripod. Ribet gue kalau bawa kemana-mana" Aku mengangguk cepat dan sesaat kemudian kami membahas hasil-hasil fotoku yang ku potret di Hutan Pinus Gunung Pancar tadi. Kami memang memotret beberapa jam, namun sebelum siang akhirnya kami memutuskan untuk makan di kota bogor sendiri, sekalian menikmati jajanan. Farhan ternyata juga menyukai kuliner, bahkan dia bisa lebih kalap dariku. Seperti sebelum makan bakso ini, kami sudah memakan asinan dan doclang, sekarang kami akan menuju ke Desa Malasari untuk mengejar sunset dan memotret kehidupan pedesaan. Benar-benar hari yang menyenangkan. * "Lo pernah nggak sih nggak bersyukur dalam hidup?" tanyaku tiba-tiba saat kami sedang menikmati pemandangan sunset di Kampung Citalahab. Farhan yang masih sibuk berkutat dengan kameranya menatapku sekilas. "Ngapain? Dulu sih pernah, sekarang udah nggak lagi. Gue menghargai banget sama apa yang gue punya" jawabnya santai. "Oh ya?" "Lo liat sunset dulu. Nikmati" ujar Farhan, tapi jari-jarinya tetap memotret. Aku membeo dan kembali mengangkat kameraku, ikut mengabadikan momen sepertinya. "Indah banget" komentarku tiba-tiba. Farhan kembali menatapku pelan. "Itu maksud gue Ras. Semuanya bakalan indah kalau lo nikmati. Sama seperti sunset ini, kalau lo nggak peka dan malah sibuk sama diri lo sendiri, lo nggak akan bisa mendapatkan pemandangan seindah ini" ujarnya pelan, kali ini benar-benar membuatku diam. "Untuk momen kita punya kamera buat mengabadikannya ras, tapi dalam hidup kita nggak punya kamera, saat itu lo menikmatinya saat itu juga lo merasakan sebenarnya hidup lo indah dan saat itu juga lo perlu bersyukur atas semua itu" Aku menarik senyum simpul membalasnya. "Gila gila. Lo emang the best deh" Farhan yang tadi berdiri duduk di sampingku, kami tidak lagi membahas apapun dan menatap matahari yang perlahan-lahan akan turun. "Farhan, menurut lo... Nata bakalan cinta nggak sama gue?" tanyaku lagi, menyuarakan apa yang ingin kutanyakan pada banyak orang dari kemarin. Farhan hanya diam. "Lo tau kan, Nata stuck sama Titania. Dia belum move on, gue nggak tau juga. nggak berani nanya" ujarku akhirnya. Entah kenapa bersama Farhan aku rasa aku bisa menyuarakan segalanya, termasuk kegelisahan hatiku saat ini. "Bisa kok. Dulu Tita juga stuck sama Nata, sampai dia sadar kalau Bima yang the onenya" Aku tertawa pelan. "itu karena gue tunangan sama Nata. kalau gue nggak tunangan sama Nata, mungkin mereka udah menikah sekarang" Farhan diam sebentar. "Gue nggak bisa mengomentari Ras. Tapi mungkin lo benar, seandainya lo sama Nata nggak tunangan, mereka pasti bersama. Dan Bima masih menjomblo kayak gue" Farhan terkekeh pelan. "Tapi jodoh akan tetap jadi jodoh, semau apapun lo sama orang itu, kalau dia memang bukan jodoh lo ya mau gimana? Itu udah digariskan dan udah dijanjikan sama kita. Gue yakin, Nata bakalan suka sama lo cepat atau lambat" Aku masih menerawang kedepan. Memikirkan Nata tau kondisi keluargaku, membuat dia tersentuh sedikit karena merasa kasihan. Aku benar-benar tidak yakin dia merasakan sesuatu untukku. "Nikmati aja, jangan terlalu banyak pikiran. Over thinking will kill you" Tapi kurasa Farhan benar, aku harus menikmati saat ini dan mulai berhenti berpikir. Mungkin selama ini aku terlalu banyak berasumsi dan membunuh mata batinku pelan-pelan. Mungkin. Apa bisa aku melakukannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD