Part 9 - Once Again

2380 Words
"Mau kemana?" tanyaku saat masuk ke dalam mobil Nata. Dia-lagi-lagi menjemputku di kantor. Aku hanya berusaha mengimbangi keinginan Nata yang akhir-akhir ini menjadi aneh bagiku. Baiklah, tidak usah berpikir macam-macam dulu. "Ke rumah. Mama mau ketemu kamu" jawabnya santai, kemudian melajukan mobil dengan cepat. Dia melirik ke arahku sebentar, membuatku menatapnya balik. "Seatbelt kamu" komentarnya, aku langsung menunduk dan menemukan aku belum memakai seatbelt tersebut. Aku terkekeh pelan. "Oh iya, lupa" aku segera memasang seatbelt dengan cepat, kemudian menatap jalanan di depanku. Aku sudah sangat lebih baik pasca jalan-jalan bersama Farhan itu. Aku tidak lagi mengingat-ingat kesedihanku dan mulai menikmati hari-hariku. "Kamu sudah jarang ke rumah kata mama" aku langsung menolehkan kepala dan menatap Nata tak percaya, dia memang sudah tidak sependiam dulu lagi, dia berusaha keras untuk berubah, aku bisa melihat dengan jelas gelagatnya itu. Tetapi tetap saja, aku terlalu kaget menerima ini semua. "Iya, aku lagi urus program baru" jawabku cepat. Kembali hening. Merasa tidak ada yang bisa kulakukan, aku kemudian mengambil ponsel dari dalam tasku dan memainkannya, hanya melihat-lihat foto jepretanku kemarin. Farhan juga langsung mengirimkan hasil foto-fotonya padaku, yang jauh lebih bagus. Aku tersenyum-senyum sendiri memandangi hasil foto tersebut. Saat sadar mobil Nata berhenti aku baru memalingkan wajah dan mendapati Nata tengah menatapku dengan sangat serius. "Kamu.." Aku langsung mengalihkan perhatian. "Udah hijau nat!" potongku langsung dan menunjuk lampu jalan yang berwarna hijau tersebut. Nata mendesah entah untuk apa dan kembali melajukan mobilnya, membuat senyumku tertahan. Nata kembali menoleh kepadaku. "Kamu berubah setelah pergi sama temanmu itu" kata nata tiba-tiba, aku kembali melihatnya. "Oh ya? Masa sih?" tanyaku mencoba santai. Aku memasukkan ponsel lagi ke dalam tas dan memandang lurus ke depan. "Iya. Kamu lebih ceria" "Sejak kapan kamu perhatian sama aku?" tanyaku pelan. Nata benar-benar berdehem kali ini, "Aku mencoba jadi pasangan normal"  ujarnya cepat, membuatku kembali lagi-lagi menatapnya tidak percaya. Apa dia masuk angin? Atau kejedot pintu? Kenapa otaknya menjadi gila seperti ini. "Pasangan normal? Seperti apa?" tanyaku memancing, namun aku bisa merasakan hatiku  gugup menantikan jawabannya. Nata menatapku sekilas. "Hanya normal. Perhatian dengan pasangannya, itu kan yang kamu mau? Kamu mau aku memberi perhatian sama kamu seperti yang kamu berikan?" ujarnya cepat, sekilas aku mengingat pertengkaran kami tentang ajakan kencan yang kuungkit beberapa waktu lalu. "Nggak perlu kalau kamu terpaksa" "Aku mau kita mulai kencan-kencan kita Saras, bersikap seperti pasangan normal" katanya lagi, yang kini benar-benar berhasil membuatku diam sepenuhnya. Aku merasakan wajahku memanas, dan pasti tampangku saat ini bodoh sekali. "Kamu mau apa?" tanyaku meyakinkan diriku sendiri lebih tepatnya. Nata menghentikan mobilnya lagi ketika kembali terjebak lampu merah. Dia menatapku lagi, kembali tepat di iris mataku, membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan. Sama sekali. "Aku mau kita mulai kencan-kencan kita, tanpa suruhan mama, tanpa pemaksaan kamu" dia mengatakan penuh penekanan, menandakan dia tidak akan suka dengan penolakan. Aku hanya bisa terdiam mendengar itu. Aku kembali mencerna kata-katanya. Apa yang baru saja  dia katakan? Apa itu artinya dia mempersilahkanku untuk merebut hatinya? * Tante Olla langsung menyambutku saat masuk, aku memang sudah jarang sekali menghubungi beliau. Membuatku merasa bersalah, sedikit. Aku jarang membiasakan diri untuk mengabari orang rumah dari dulu, tiba-tiba dihadapkan dalam keluarga yang cukup hangat seperti keluarga Nata membuatku kewalahan untuk beradaptasi. "Akhirnya dia bawa kamu kesini juga" ujar Tante Olla melirik Nata dengan kesal, aku terkekeh pelan dan membiarkan Tante Olla membawaku ke ruang tengah. Aku dan Nata memang tidak bisa lama-lama disini, karena kami sudah memutuskan untuk menonton salah satu film malam ini, meskipun agak malam, jam sembilanan. Tante Olla tetap menggandeng tanganku saat kami sudah duduk di sofa ruang tengah tersebut. Kemudian tersenyum ramah ke arahku "Kamu apa kabar? Gimana kerjaan?" tanya tante olla penuh perhatian, aku menganggukkan kepala cepat. "Baik-baik aja tante. Tante gimana? Kok kayaknya kurusan?" aku memperhatikan wajah Tante Olla yang semakin menua. "Masa Ras? Tante harus ke salon nih besok. Kapan kita ke salon bareng lagi?" tanya Tante Olla, memperhatikanku lagi. Nata sudah beranjak ke kamarnya, aku tidak tau dia akan mengambil apa atau berganti pakaian, dia tidak mengatakan apapun. "SecepatnyaTante. Saras akhir-akhir ini ngurus program baru, jadi susah nyari waktu luang" aku mencoba memberi pengertian kepada Tante Olla. Tante Olla menganggukkan kepalanya paham. "Nata gimana? Sudah ada perkembangan sama kamu?" aku terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. "Sudah lebih baik dari tahun lalu, tante" "Syukurlah. Tante benar-benar nggak tau harus bagaimana lagi kalau dia masih belum bisa melupakan perempuan itu" aku hanya tersenyum tipis menanggapinya, tentu saja tau kearah siapa pembicaraan ini berakhir. "Mbak Tania kan sudah menikah tante" ujarku memberitahu. Tante Olla mengangguk cepat. "Tante tau, bagus dong, nggak ada yang bisa menghalangi hubungan kalian" mendengarnya aku hanya bisa menghela nafas dalam. Sampai saat ini, aku tidak bisa mencerna apa alasan Tante Olla sebenarnya memusuhi Tania , baiklah dia gadis yang baik, benar-benar ramah, mungkin lebih baik dariku, tapi Tante Olla setengah mati membencinya, membuatku kewalahan sendiri apabila membicarakan dia. "Nggak usah nuduh-nuduh gitu. Mbak Tania nggak seperti yang mama pikirin. Dia jauh lebih baik" suara itu membuatku menolehkan kepala dengan cepat, Alodia, Oddi, adiknya Nata ternyata sudah pulang, mungkin sedang berlibur. Sejak dia lulus kuliah, Oddi memilih untuk menetap di LA daripada disini, dia beralasan tidak mau dikekang Tante Olla, membuatku meringis mendengar jawabannya, apabila aku ada di posisinya aku akan dengan senang hati menuruti semua perintah mamaku, orangtuaku. Sayangnya aku tidak pernah merasakannya. "Kamu masih saja bela dia" tante olla mendengus cepat, aku hanya diam dan mengamati penampilan oddi yang sudah cukup modis dibandingkan saat dia kuliah dulu. "Lo juga mbak, nggak perlu gunjingin orang kayak gitu sama mama" "Oddi! Yang sopan sama Saras" Oddi mendengus cepat dan berjalan menuju tangga, aku masih mengamati langkahnya saat dia menghentak-hentakkan kakinya seperti itu. Sangat paham bagaimana kesalnya Oddi sekarang kepadaku atau Tante Olla. Oddi sangat menyayangi Tania dan dia berpikir bahwa pertunanganku dengan Nata adalah kurungan bagi kebahagiaan kakaknya, dia tidak akan pernah setuju dengan pertunangan ini karena membuat nata tidak bisa bersama orang yang dia cintai. Aku bisa paham jika itu alasan dia membenciku, tapi dia juga tidak pernah menunjukkan tanda-tanda ingin dekat denganku, padahal aku juga mau mengakrabkan diri dengannya. "Ras" panggil Nata yang sudah turun dari lantai dua, ternyata. Aku mengamatinya perlahan. "Udah selesai?" nata mengangguk patuh. "Ma aku sama saras nggak bisa lama-lama, kita ada urusan" pamit Nata kepada mamanya, aku juga langsung berdiri dengan mengamati wajah sedih Tante Olla yang sepertinya sudah kehilangan anaknya itu. "Yuk Ras" nata berjalan terlebih dahulu kepadaku sedangkan aku berusaha untuk tidak langsung lari, aku masih mengingat Tante Olla di depanku, ku salami tangan wanita paruh baya itu dengan cepat. "Tante, Saras pergi dulu" "Mama, saras. kamu harus biasain diri memanggil tante Mama" Aku terkekeh pelan. "Iya kalau sudah menikah, Tante. Oh ya, mungkin minggu ini saras bisa menemani Tante" "Benar?" tanya tante olla girang. Aku menganggukkan kepala dengan cepat dan segera pergi dari hadapan beliau. Menyusul Nata yang sepertinya sudah berada di mobil. Dia benar-benar mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih santai. "lama banget" komentarnya ketika aku baru saja masuk. Malas menanggapi perdebatannya, aku langsung menutup pintu tanpa mengucapkan hal-hal yang bisa menarik urat kami berdua lagi. * Aku mendekati Nata yang masih memperhatikan jadwal film, dia belum mengantre sama sekali. Aku sengaja membeli popcorn terlebih dahulu untuk mengemil, aku memang sudah kelaparan dari tadi karena dia tidak mengizinkan kami untuk makan lebih dahulu. "Gimana? Udah tau mau nonton film apa?" tanyaku, berdiri di sebelahnya, ikut memperhatikan jadwal film tersebut. "Saya nggak ngerti" aku menolehkan kepala kepadanya langsung. "Kok saya lagi? Kemaren kan udah berubah jadi aku" aku mencoba untuk memprotes panggilannya, agak menjijikkan bersikap manja seperti ini, seolah-olah aku ingin sekali dia mengatakan aku-kamu dari pada saya-kamu kepadaku. Biarlah. Nata diam sejenak dan melirikku dengan mata menyipit. "Keceplosan" Aku terdiam dan tersenyum. "Oke" aku memperhatikan satu judul film, yang jam tayangnya sebentar lagi, "Itu aja gimana?" tanyaku sambil menunjuk judul film romantis itu. "Nggak. Terlalu romantis" Aku menatapnya tak percaya. "Ini nggak ada lagi selain film fantasi sama disney. Kamu mau nonton film Disney itu?" tanyaku menunjuk salah satu film Disney yang baru keluar. "Yasudah terserah kamu" Aku mendengus pelan menanggapinya dan siap mengantre, tapi lagi-lagi tangannya menahannya. "Nggak usah film romantis ya. Please?" pintanya, kali ini benar-benar sudah memohon. Aku langsung menepis tangannya dengan cepat dan melangkah  keluar dari bioskop. Moodku sudah hancur mendapati dia seperti itu. aku memakan popcornku dengan cepat. "Ras! Saras!" panggilnya dan kembali menarik tanganku, membuat beberapa popcorn tumpah ke lantai. "Tuh kan! Popcornnya jatuh!" balasku sebal, aku menyingkirkan popcorn yang jatuh itu dengan kakiku hingga ke pembatas lantai, mengeluarkan tisu dari tasku dan mengambilnya dengan cepat sebelum membuang ke dalam tong sampah. "Kan kita mau nonton" Wajahku kembali muram. "Udahlah! Kapan-kapan aja, nanti kalau ada film horror atau film keluarga yang release aku kasih tau kamu. Kayaknya kamu alergi film romantis" "Bukan gitu ras" "Aku udah nggak mood, Nata" jelasku cepat, membuat dia diam di depanku sepenuhnya. Aku kembali jalan duluan. Benar-benar menguji emosi, dia yang mengajakku menonton dia pula yang banyak protes. Kalau tidak niat, tidak usah mengajakku. Aku sebal sekali kali ini. aku terus berjalan tanpa menghiraukannya lagi. Entah apa yang dia lakukan dibelakang sana. Baru ketika aku masuk ke dalam salah satu outlet, dia menahan tanganku lagi. "Ras, kita makan aja ya?" Aku menepis tangannya cepat, "Makan aja sendiri" terus menuruti egoku dan masuk ke dalam outlet terkenal itu dan mulai melihat baju-bajunya satu persatu. Kali ini, aku yang harus membuat nata keki setengah mati, aku tidak ingin kesal sendiri. * Kami baru keluar dari outlet itu satu jam kemudian. Nata benar-benar terlihat kebosanan mengekoriku kesana kemari, beberapa kali dia ingin menarikku namun aku aku terus mengabaikannya. Aku benar-benar seperti pasangan yang tengah merajuk. Bahkan saat ini, popcorn yang tadi ditanganku sudah berpindah ke tangannya. Aku tidak protes sama sekali ketika dia mengambilnya dan memakannya perlahan sembari menungguku memilih-milih, untung saja tidak dilarang membawa makanan. "Aku lapar" kataku cepat, dan membuat Nata sepenuhnya menoleh ke arahku. "Aku dari tadi lapar. Sekarang udah nggak lapar lagi" jawabnya ketus, membuatku mengulum bibir untuk tidak tersenyum. Kenapa dia menjadi menggemaskan sekali saat merajuk seperti ini? Aku langsung mengandeng tangannya, membuat barang belanjaanku menjadi penghalang diantara kami. "Ceritanya kamu marah nih?" tanyaku polos, Nata menjauhkan badannya dariku, namun dia tidak menepis tanganku yang menggandeng lengannya. membuat hatiku lagi-lagi menghangat. astaga. kenapa hari ini dia manis sekali? semakin membuatku jatuh cinta saja. "Kalau kamu nggak mau makan, yaudah, liat aku makan aja. Kamu pasti kenyang" ujarku cepat seraya terkekeh. "Makanan dan shopping benar-benar membuat kamu berubah ya?" dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan meraih barang belanjaanku dengan cepat, sekarang berada di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih kugandeng. "Kamu yang bikin aku bete. Ini makan dimana?"  tanyaku pada akhirnya, nata hanya diam dan mengarahkan kami pada foodcourt yang berada di lantai empat. Aku langsung menurut saja, sedikit girang karena dia tidak menolak perlakuanku sama sekali. "Aku nggak mau nonton film romantis karena itu kesukaan Titania" jelasnya, yang membuat tanganku melepaskan gandengan tangannya, namun Nata kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, menyelipkan jari-jarinya diantara jariku. Pas, namun terasa dingin. Mungkin karena perasaan Nata masih sepenuhnya pada Tania, bukan kepadaku. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain dan membiarkan Nata menuntunku berjalan. aku diam seribu bahasa, tidak akan bisa memenangkan objek yang selalu dia agung-agungkan itu. Langkah kakinya berhenti seketika, aku juga turut melakukan hal yang sama. Bisa kurasakan nata menegang mencengkram jariku, aku sedikit meringis dibuatnya, baru setelah aku menatap ke depan aku tau apa yang membuatnya seperti ini. Tania dan suaminya juga tengah melihat kearah kami dengan tegang. Aku hanya bisa menghela nafas dalam. Dari semua orang yang bisa kami temui di dunia ini, kenapa lagi-lagi aku harus bertemu dengan dia? Sedangkan reaksi Nata membuatku sakit hati sendiri. Tania dan suaminya sudah kepalang tanggung untuk tidak berjalan ke arah kami. Aku langsung tersenyum sopan kepada mereka, melepaskan dengan paksa jariku yang digenggam Nata dan menghampiri keduanya. "Hai mbak, jalan juga?" aku bersikap ramah dan bercipika cipiki dengan Tania, yang kalau bisa kujambak rambutnya sekarang karena berhasil membuat Nata jungkir balik seperti ini. Tapi aku tidak bodoh, toh Tania sudah menemukan kebahagiaannya, hanya Nata saja yang bodoh dan belum move on. "Iya. Kalian juga?"' Aku menganggukkan kepala dengan cepat. Dapat melihat juga Bima –suami Tania dengan tegang menatap Nata, ada aura ketidaksukaan yang dipancarkan dua laki-laki itu. aku sibuk memperhatikan keduanya, sampai-sampai aku tidak merasakan bahuku dirangkul Nata dengan paksa. membuatku menggigit bibir sebentar "Aku dengar dari farhan, mbak udah isi ya? Jalan berapa bulan?" tanyaku beramah-tamah, meskipun aku ingin menyingkirkan lengan Nata saat ini. "Jalan tiga bulan ini" Tania sepertinya berusaha keras untuk tidak melirik ke arah Nata, aku bisa melihatnya dengan jelas. Situasi ini sangat tidak menguntungkanku, disatu sisi aku merasa aku sangat tersingkirkan kali ini, disisi lain aku hanya ingin bersikap normal kepada seseorang yang kukenal. aku tidak bisa membayangkan reaksi Nata setelah ini. tidak akan bisa. "kamu kapan ketemu Farhan?" "kenal farhan?" Dua pertanyaan itu membuat Nata juga menolehkan kepalanya padaku juga. Tania dan Bima menanyakan hal yang sama, membuatku merutuki pertanyaanku sendiri. Kedekatanku dengan Farhan kan memang tidak diketahui oleh siapapun. "Ketemu di kantor, dia lagi update iklannya gitu, trus masih ingat dan lanjut ngobrol deh" ujarku sekenanya, aku langsung menoleh pada Nata yang masih mengamati Tania dan perutnya. Sekali lagi, aku harus mengurusi orang gagal move on seperti nata. "Yaudah Mbak, Mas, kita makan dulu ya" "okee, see you" ujar Tania padaku, dia melirik enggan ke arah nata yang masih mengamatinya dengan terang-terangan, aku menoleh kepada bima yang juga menatap Nata dengan aura permusuhan. Ada sesak yang kurasakan saat ini, sangat menghujam pernafasanku, tapi aku tidak bisa mengartikan apa ini sebenarnya. Aku hanya bisa menghela nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Kepalaku mendadak terasa pening. "Ayo nat" ajakku cepat, membuat Nata mengangguk dan tersenyum tipis kepada dua orang itu dan berlalu, baru beberapa langkah aku langsung melepaskan rangkulan Nata di bahuku kemudian menatapnya dengan pandangan tidak suka. "Nggak perlu kamu bersikap kayak gitu di depan Tania dan Bima" ujarku langsung. "Bersikap gimana?" tanya nata dengan cepat, guratan emosi terlihat dimatanya. Aku menghela nafas dalam. "Bersikap kamu belum move on dari Tania. Oh ya, aku lupa, kamu memang belum move on!" tembakku langsung. Aku masuk ke dalam foodcourt dan meletakkan barang belanjaanku dengan sembarang tempat, kemudian langsung memesan makanan. Aku tidak peduli dengan suasana hati Nata saat ini, aku juga merasa tidak nyaman sekarang. Benar-benar tidak nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD