Part 10 - Tired

2124 Words
Ada satu pertanyaan dariku yang tak bisa dijawab siapapun didunia ini, satu pertanyaan yang terus kucari jawabannya hingga kini. Apa aku pantas dicintai? Pertanyaan itu terus mengalir di telingaku dari umurku tiga belas tahun, sejak aku berada di bangku SMP, Papi kemudian menikah lagi dua tahun kemudian, namun baru kuketahui semua itu saat umurku tujuh belas tahun. Aku menggunakan kebohongan Papi itu untuk mendapatkan mauku, aku ingin kuliah diperfilman, aku ingin mendalami dan menenggelamkan diriku di profesi itu. Untuk itulah, saat Papi memaksaku untuk mengambil bisnis, apa yang kurasakan saat mengetahui hubungannya dengan perempuan itu langsung kuteriakkan saat itu juga. Membuat Papi terdiam sepenuhnya, dan menuruti kemauanku sejak saat itu. Benar-benar tidak bisa dipercaya, saat umurku tujuh belas tahun, aku harus mengerti bagaimana rasanya dikhianati dan bagaimana rasanya perang dengan orangtua sendiri. Membuatku hidup dalam perasaan yang tidak kuinginkan sama sekali. Papi tidak pernah tau akibat perbuatannya, aku kehilangan banyak hal. Hal yang paling besar adalah kepercayaanku untuknya, juga untuk orang lain dan diriku sendiri. Aku harus menelan rasa pahit disaat teman-temanku sedang sibuk menyicipi rasa manis kehidupan. Aku baru bisa menerima kebohongan Papi setelah lulus kuliah, ketika Papi tidak lagi merecoki kehidupanku dan pelan-pelan tak pernah lagi menghubungiku jika tidak perlu. Baru beberapa tahun kemudian, Papi mengatakan bahwa aku harus berbakti padanya, dan berhutang budi karena itulah aku harus berjodoh dengan orang yang dijodohkannya, karena aku telah memilih profesiku sendiri daripada melanjutkan usahanya. Sekarang, memikirkan kejadian waktu itu membuat otakku buntu. Betapa beruntungnya menjadi Tania yang dicintai dua laki-laki sekaligus, sedangkan aku, tidak ada limpahan kasih sayang sama sekali setelah umurku tiga belas tahun, dari aku baru memakai seragam SMP, semua hilang tak berbekas. Kehidupanku yang bak princess dulu berubah total, aku bukan lagi Princess Aurora yang disayangi oleh semua orang saat itu, aku berubah menjadi Maleficent yang membenci orang-orang disekitarku. Mungkin aku memang pantas mendapatkannya karena dulu telah berusaha melawan Papi, menyembunyikan nama belakangku hingga saat ini dan tidak berbakti padanya. Mungkin ini karma yang pantas bagiku. Aku masih bisa mengingat tangis piluku untuk terakhir kalinya saat mengetahui Papi membohongiku dan mami yang menikah dengan wanita itu. Bukannya aku tidak tau, aku tau pengkhianatan apa yang dilakukan papi dulu sebelum mami memutuskan bunuh diri dengan meminum habis pil ekstaksi yang entah sejak kapan di konsumsinya.  Aku juga baru mengetahui fakta itu saat aku berdebat hebat dengan papi dan mengatakan bagaimana mami bisa meninggalkan kami. Sakit sekali. Sekarang aku menangis lagi. Bodoh. Aku bodoh sekali, menangis untuk memikirkan nasib hidupku yang tak benar. Satu-satunya yang benar adalah pilihanku untuk masuk ke dunia pekerjaanku. Selain itu, tak ada lagi yang bisa kukatakan selain salah. Aku mengusap kasar air mataku dengan cepat, tidak mau mendapati orang lain mengetahui kelemahanku. Aku benci menangis, aku sangat membenci menangis pilu seperti dua belas tahun yang lalu itu. aku membencinya. Aku ingin hidup yang lebih baik, aku tidak ingin mati sia-sia. Aku tidak ingin hidup dengan suami yang tidak mencintaiku. Aku tidak ingin anakku merasakan seperti apa yang kurasakan saat ini. Aku tidak ingin anakku menjadi korban keegoisan orangtuanya. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Aku terus mengusap kedua mataku kasar hingga air mataku berhenti, kubasuh wajahku dengan cepat, mendapati mataku memerah –sangat memerah saat ini- aku mengeluarkan kaca mata tanpa lensa yang selalu menjadi cadanganku untuk menatap layar dan memakainya. Mataku memang diciptakan untuk berbohong, sehebat apapun aku menangis, mataku tidak akan terlalu bengkak, itu membuatku mudah untuk menutupi kesedihanku. Aku baru keluar dari apartemen setelah memastikan wajahku sudah tidak semenyedihkan tadi. Aku berusaha untuk kuat, aku harus berusaha untuk menjalaninya. Pasti ada sesuatu yang baik di balik semua ini, pasti. Tapi sampai kapan? Saat aku melihat Nata sudah berada di depan apartemennya, aku menutup pintu apartemenku dengan sedikit membanting, mengabaikannya. Sekarang menatap Nata saja, bisa membuat hatiku disayat-sayat pilu. Hanya satu keinginanku, aku tidak ingin dibodohi cinta seperti mami. * Aku menenggelamkan diri dengan pekerjaanku seharian ini. aku tidak keluar dari ruangan, bahkan aku tidak lapar sama sekali. Satu nama yang terus terbayang di pikiranku adalah, Nata. Nata tak akan pernah mencintaiku. Lalu untuk apa aku menghabiskan hidup dengannya? Untuk apa jika aku hanya menambah-nambah masalah di dalam hidupku? Aku sudah muak, aku sudah lelah seperti ini. Aku tidak ingin melanjutkannya lagi. Bolehkah aku sekarang mengakui ini titik terakhir perjuanganku untuk pertunangan ini? Aku baru pulang dari apartemen ketika jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku tidak menghidupkan ponselku sama sekali daritadi. Aku tidak ingin diganggu dulu, aku lebih baik sendiri saat sedang tidak terkendali seperti ini daripada aku harus dikejar-kejar atau disayang-sayang. Aku tidak membutuhkan semua itu. Aku menghela nafas dalam dan menekan kombinasi passwordku sampai pintu berbunyi beep. Tepat saat itu, aku mendengar pintu dibelakangku dibuka. "Ras" aku masih mengabaikannya dan tetap masuk ke dalam apartemenku. Aku tidak ingin berdebat sekarang, aku terlalu lelah. Menyadari Nata yang tak akan pernah mencintaiku entah kenapa membuat sisi melankolisku keluar, sebelumnya toh tak apa dia tidak mencintaiku, asal dia bersamaku. Tapi sepertinya keinginan itu sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih egois, aku ingin dia sepenuhnya untukku. Aku tidak ingin mendapatinya seperti kemarin saat melihat Tania. Bolehkah aku mengharapkan itu? Haha. Tidak ada harapanku yang terkabul, tak akan pernah. Sejak dulu, harapanku hanya diisi dengan mimpi-mimpi yang tak akan pernah menjadi kenyataan. Miris sekali. Aku menutup pintu apartemen dengan cepat namun ditahan olehnya. "Ras, we need to talk" "Aku capek. Aku mau istirahat" "Aku udah kasih kamu waktu tiga hari untuk berpikir" ujarnya, mendorong pintu dengan kasar membuatku nyaris terjatuh kebelakang, namun lagi-lagi dia berhasil menahanku. Sepertinya dia memang berbakat menarik ulur perasaanku. Setelah semua perlakuan baiknya kepadaku selama ini, setelah dia membuat harapan-harapan kecil itu menjadi gunung di dalam hatiku, dia menyiramkan semuanya dengan hujam asam yang terlampau pedih, bahkan bisa membuatku kembali meneteskan air mata. Aku melepaskan diri dari dirinya yang masih menahanku namun dia tidak mengubrisku. Dia hanya menatapku dalam-dalam, membuatku menelan ludah karena gugup. Aku terus memaksanya untuk melepaskan tangannya. "Saras, dengar aku" Aku menggeleng cepat dan mengambil kesempatan itu untuk membebaskan diri. "Aku lagi nggak mau dengar apapun" tolakku cepat, aku meletakkan tasku disembarang tempat dan berusaha menghindarinya dengan masuk ke kamarku, namun lagi-lagi dia terus menahanku. "Maumu apa?!" bentakku akhirnya, tidak bisa lagi menghindarinya. "Aku mau kita bicara" "Soal apa?" "Soal kita" Aku terdiam beberapa saat dan menatap nyalang kearahnya. "Oke! Aku juga mau ngomong tentang kita!" ujarku cepat. "Aku..." Aku menggeleng keras. "Aku dulu" aku mengumpulkan keberanianku dengan cepat dan menatap Nata lagi, "Aku mau kita membatalkan pertunangan ini. Aku udah capek, Nata. aku udah capek" aku menyuarakan suara hatiku yang menjerit-jerit minta dikeluarkan dari beberapa hari yang lalu. "Aku mau kita segera menikah" Ekspresiku yang keras langsung berubah dengan kaget saat dia mengatakan hal itu "Aku mau kita segera menikah!" tekannya sekali lagi. membuat jantungku lebih heboh lagi karena ucapannya. Aku benar-benar tidak percaya hal ini. Baru kemarin dia menolakku terus, baru kemarin dia mengatakan tak akan menikah tanpa cinta, sekarang seperti ini dia memintaku untuk menikah. "Aku nggak mau" "Nggak ada penolakan Saras. Kita akan menikah" "Aku nggak mau! Kamu nggak bisa paksa aku" "Bisa! Kamu ingat permintaan kamu beberapa bulan yang lalu soal pernikahan? Kamu yang lebih ingin pernikahan ini, aku mau mengabulkannya sekarang" Aku berdiri bersedekap di depannya. "Dan kamu lupa? Kamu bilang kamu nggak akan menikah tanpa cinta. Kamu udah cinta aku?" tanyaku cepat, kemudian aku menggeleng-gelengkan kepala, "Aku nggak tau apa akal-akalanmu untuk menikah, aku nggak mau menikah sekarang" 'Kenapa?" "Karena kamu nggak cinta aku" "Nggak perlu cinta Saras" dia mengulang ucapanku beberapa waktu lalu itu, aku menegang di tempatku, kemudian bersandar ke pintu apartemenku. Aku seperti orang linglung. kepalaku berdenyut dengan cepat saat ini. "Aku nggak mau, kita nggak cocok. Aku nggak mau menghabiskan hidup sama kamu" desisku pelan. "Dari mana kamu tau kalau kita nggak cocok?" Aku masih menggeleng pelan, benar-benar sudah lelah. Apalagi dengan apa yang berhubungan dengan Nata seperti ini. aku sudah tidak bisa berpikir lagi. "Saras" ujarnya kepadaku, aku kembali menatapnya datar. "Darimana kamu tau kita nggak cocok?" tanyanya sekali lagi, mendekat ke arahku, namun aku hanya menatapnya datar kemudian menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Lebih baik kamu keluar" "Aku mau coba satu hal" desisnya entah sejak kapan sudah berada di depanku. "Coba apa lagi?!" "Mencoba kecocokan kita" tepat saat itu, dia memegang daguku dan membuat mataku menatap jelaganya dengan cepat, membuatku terhipnotis dan detakan jantungku langsung berubah menjadi cepat. Kejadian yang sangat cepat dalam sekejap, Nata mendekapku erat dan menciumku dengan lembut. Pergerakan yang cepat namun tak pernah aku memprediksi hal ini akan terjadi. Apa ini? Nata menciumku? Satu hal yang kupikirkan, bisa dia melakukan ini dengan wanita yang tidak dia cintai? Aku melupakan fakta bahwa Nata adalah mantan b******n yang ditaubatkan oleh Titania, tidak akan sulit baginya untuk melakukan ini. Aku hanya bisa menegang, tidak bisa berpikir sama sekali. Bukankah seharusnya aku merasakan buncahan rasa senang sekarang? Nata sekarang tidak jijik padaku, dia berinisiatif menciumku lebih dulu. Aku membuka mata dan sedikit membalas kecupannya, dia masih menutup mata. Kenapa? Kenapa perasaan ini datang? Bukan perasaan ini yang seharusnya datang, seharusnya aku mabuk oleh kecupannya. Tapi.. aku benar-benar tidak menikmati sama sekali. * Nata menginap di apartemenku. Aku tau dari lengan yang sekarang memeluk pinggangku erat saat aku terbangun seperti ini. Setelah ciuman itu, aku langsung membereskan diri dan langsung tertidur, aku tidak tau bahwa Nata masuk dan ikut tidur disampingku seperti ini. Aku menyingkirkan tangannya dengan cepat, sudah jam tujuh pagi, aku harus bersiap-siap pergi ke kantor saat ini. Perasaanku tiba-tiba mendingin, tidak ada perasaan berbunga yang seharusnya kurasakan saat ini bersama Nata. "Nat! bangun!" panggilku pelan, mengusap lengannya. Nata mengerjap beberapa kali dan baru menyadari dia berada dimana. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara serak. Aku menyodorkan jam wekerku kepadanya. "Lebih baik kamu kembali dan siap-siap, kalau nggak mau terlambat kerja" Nata hanya diam menatapku yang sudah sangat rapi. "Berangkat bareng? Aku nggak akan lama siap-siap" Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Aku buru-buru" tolakku cepat, aku membalikkan badan dan duduk di meja riasku. "Aku akan siap-siap sekarang. Tunggu sepuluh menit" ujar Nata cepat, kemudian menghilang dari pandanganku. Aku hanya mengamatinya dari balik cermin tanpa berniat menoleh sama sekali. Aku merasakan ada yang aneh dari diriku. Aku mengabaikannya dan mencoba merias wajahku, namun kata-kata Nata yang meyakinkanku akan pernikahan kembali terbayang-bayang dipikiranku. Setelah sarapan, aku mendengar ketukan pintu, aku langsung berdiri dan membukanya. Nata sudah siap, seperti janjinya, sepuluh menit bersiap-siap. dia sedikit tersenyum melihatku masih berada di apartemen saat dia selesai. Kami membisu selama diperjalanan. Nata sama sekali tidak berniat untuk meminta maaf atas kelakuannya dari semalam. Aku sampai heran mendapatinya seperti ini, saat aku menatap nata lagi aku mendapatinya juga tengah menatapku. "Kapan ketemu papi kamu?" tanya Nata membuka percakapan. "Aku belum siap menikah" jawabku cepat, kembali ke egoku yang masih tinggi. Nata mendengus cepat dan menatapku dengan pandangan mengejek, "Kamu lupa siapa yang maksa-maksa aku untuk serius dengan hubungan ini?" Aku mengalihkan pandangan ke balik kaca yang ada disebelah kirinya. "aku nggak akan menikah dengan kamu secepatnya nata" ujarku cepat, kali ini benar-benar serius. "why?" "aku nggak mau mengurusi orang gagal move on seperti kamu" Tanpa kuduga, Nata terkekeh pelan. "Kamu cemburu?" "Whatever! Aku serius aku nggak mau menikah" Nata hanya menatapku. "aku juga serius mengajak kamu menikah. Aku nggak peduli pendapat kamu. Aku akan bilang papi kamu dan orangtuaku, pertemuannya akan aku atur" "kamu maksa aku?" "kenapa? Kenapa aku nggak bisa?" Aku kehilangan kata-kataku dan kembali menahan amarah. Aku tidak tau lagi apa yang harus kulakukan, tapi sepertinya untuk saat ini diam lebih baik. * Aku hanya terus melamun sepanjang bekerja, kata-kata Nata kembali membuatku pusing. Aku tau Nata tak suka bercanda, dia mengatakan menikah, maka harus terealisasi. Yang kubingungkan adalah, kenapa dia tiba-tiba ngotot ingin menikah seperti ini. Aku yakin ini ada hubungannya dengan Tania kemarin, tidak mungkin dia berubah karenaku. Tania adalah dunianya, pastinya dia begitu karena cemburu melihat Tania dan Bima. Itu benar. Itu pasti alasan yang benar. Ponselku bordering sekali lagi, membuatku menolehkan kepala dan melihat id caller yang muncul disana. "Halo?" sapaku malas. "Mau makan siang bareng?" "Aku lagi nggak mau ketemu kamu" ujarku jujur. "Aku udah dijalan ke kantor kamu" Aku meringis mendengarnya. "Aku lagi nggak di kantor" Nata terdiam sebentar. "Kata Allen, kamu ada di kantor" Sialan! Allen, aku langsung menatap nyalang Allen yang sedang membaca salah satu naskah. "Aku nggak mau" "Makan siang bareng atau aku muncul di kantor kamu dan membuat kehebohan" "Kamu berani mengancamku?" "Why not?" "Aku capek Nata. Kamu membuatku stress" "Aku nggak akan bikin kamu stress, hanya menemani aku makan" "Don't.." "Aku udah mau masuk lobby. Aku harus turun atau bagaimana?" "Don't you dare!" ujarku cepat. Aku langsung berdiri dan mengambil dompet serta ponselku. Aku langsung menggerutu sepanjang jalan. Apa yang sebenarnya direncanakan Nata? aku benar-benar tidak mengerti sama sekali, dia benar-benar bisa membuatku gila lama-lama. Aku benci mengakui hal ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD