6. SOSOK BARU MENYITA PERHATIAN

1671 Words
Jam yang terpasang di dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan itu artinya penghuni rumah di kediaman Anya sudah sepi. Ibunya sudah berangkat pagi diantar oleh Arlo. Anya turun dari anak tangga dengan seragam kerjanya berwarna hitam, lengkap dengan label Summer Radio sebagai nama tempatnya bekerja. Tidak lupa membawa tas yang berisikan beberapa barang miliknya. Langkah kaki Anya tertuju ke dapur sekaligus tempat meja makan berada. Ia ingin tahu sarapan apa yang ibunya buat. Saat tudung saji dibuka, ternyata Agni membuat nasi goreng kampung. Aromanya menggugah selera meski sudah dimasak sejak tadi. “Dari pada makan sendiri, sebaiknya aku sarapan di kantor saja,” gumam Anya. Nasi goreng buatan Agni diletakkan di dalam kotak bekal. Diambilnya cukup banyak karena akan dibagi dengan rekan kerjanya. Lengkap dengan kerupuk serta irisan timun serta telor mata sapi. Perut Anya langsung berbunyi, membayangkan bagaimana enaknya masakan buatan sang ibu. Setelah semuanya beres, Anya bergegas ke mobil dan bersiap untuk berangkat kerja. Hari ini ada siaran jam 10 pagi sehingga tidak terlalu tergesa-gesa. Tetapi ia harus sampai jam 7 pagi untuk melakukan absensi dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Saat Anya mengeluarkan mobil, ia melihat keberadaan tetangga barunya. Kin terlihat sedang berjalan kaki menuju rumah. Penampilan pria itu seperti orang yang sedang melakukan olahraga. Anya pun diam sejenak, ingat dengan pesan sang ibu tadi malam. “Apa aku kasih tahu sekarang soal ajakan mama?” gumamnya dalam hati. “Mas Kin kok sendiri, ya? Perempuan bernama Vika itu di mana?” Akhirnya Anya memutuskan untuk keluar dari mobilnya. Selain ingin menemui Kin, ia juga harus mengunci pintu pagar rumahnya. Keberadaannya ternyata diperhatikan oleh pria itu. Bahkan dengan senyumnya yang khas, Kin melambaikan tangan ke arah Anya. “Pagi Zeevanya.” Anya tersenyum membalas sapaan Kin. Mendadak jantungnya berdetak kurang ajar karena senyuman Kin begitu manis dan membuat pria itu nampak semakin tampan. “Selamat pagi Mas Kin.” “Sudah rapi. Mau kerja, ya?” “Iya Mas,” jawabnya. “Mas Kin dari mana?” “Saya baru saja jalan-jalan keliling komplek.” “Tapi Mas Kin kan, sakit? Kenapa sudah olahraga?” tanya Anya dengan raut wajah heran. Kin tersenyum sambil memegang keningnya. “Karena saya masih sakit, makanya Cuma jalan kaki. Biasanya saya joging biar badan tetap fit.” “Harusnya Mas Kin istirahat dulu. Atau jangan-jangan semalam sebenarnya sudah ke dokter lagi, ya?” “Semalam?” Anya mengangguk. “Semalam waktu pergi dengan …” “Vika?” “Iya.” Lagi-lagi Kin tersenyum dengan raut wajahnya yang tenang. “Semalam saya menjemput dia, bukan pergi ke klinik.” “Oh begitu. Lalu sekarang dia di mana? Kenapa Mas Kin jalan-jalan sendiri?” “Vika masih tidur,” jawab Kin. Entah kenapa jawaban Kin membuat Anya tidak nyaman. Tetapi ia juga tidak tahu kenapa bisa merasa begitu. “Kamu mau berangkat kerja, kan?” “Oh, iya. Tapi aku mau kasih tahu pesan mama untuk Mas Kin.” “Pesan apa?” tanya Kin. “Kalau Mas Kin nggak sibuk, nanti malam ke rumah, ya. Mama mau ngajak Mas makan malam. Katanya mama mau masak enak,” jelas Anya, “Wah, saya jadi tidak enak karena terus menerima kebaikan dari keluarga kamu.” “Nggak apa-apa, Mas. Sesama tetangga harus menjaga hubungan baik.” Kin mengangguk sebagai jawaban. “Baiklah. Hari ini saya akan pulang dari galeri lebih awal.” Wajah Anya mendadak ragu untuk menyampaikan pesan lanjutan dari ibunya. “Kalau mau, Mas bisa ajak Mbak Vika.” “Sepertinya tidak bisa. Dia sudah ada janji dengan teman-temannya,” jawab Kin. “Oh begitu, baiklah. Saya pergi dulu ya, Mas. Sampai jumpa nanti malam.” Kin melambaikan tangannya. “Baik. Hati-hati di jalan.” Sepanjang perjalanan, wajah Anya terus menampakkan senyum bahagia. Pagi ini ia mendapatkan asupan senyum manis dari Kin dan juga jawaban atas undangan makan malam dari ibunya. Ternyata Kin tidak akan datang bersama Vika. Sosok wanita yang sudah bersikap tidak ramah kepada Anya. “Syukurlah kalau dia nggak ikut. Agak ngeri kalau dipelototin sepanjang makan malam,” gumam Anya sambil fokus mengemudi. *** Setelah kembali dari bekerja, Anya sudah melihat sepasang sandal yang asing ada di depan rumahnya. Tepat pukul tujuh malam, ia sudah sampai di rumah. Terdengar suara percakapan beberapa orang yang berasal dari dalam rumah. Anya pun segera masuk, memastikan kalau dugaannya benar. Bahwa Kin sudah datang untuk makan malam bersama keluarganya. “Aku pulang,” ucap Anya selembut mungkin. Ia tidak merusak reputasinya di hadapan Kin. “Wah, Mas Kin sudah di sini.” “Hai Zeevanya. Ah, maksud saya Anya.” “Kenapa lama sekali, Nya?” Pertanyaan yang berasal dari Arlo membuat Anya menghela napas pelan. Wajahnya tetap terlihat ramah, meski sebal dengan sepupunya. Padahal ia pulang seperti biasa, tapi saat ini Arlo terkesan menuduhnya pulang terlambat. “Arlo ganteng, biasanya aku juga pulang jam segini,” ucap Anya penuh penekanan dan juga senyum tetap tersungging di wajahnya. “Lama dari mana, sih?” “Kamu sudah tahu kita ada makan malam dengan Mas Kin, harusnya pulang lebih awal.” Anya tersenyum dengan kedua melotot ke arah Arlo. “Kamu pikir Summer milikku sampai bisa pulang sesuai kemauanku? Yang ada aku kena Sp kalau pulang sebelum jadwal siaran selesai.” Melihat perdebatan hangat dan menggemaskan antara Anya dan Kin, membuat Kin tersenyum. Suasana rumah semakin ramai setelah kedatangan Anya. Kin tidak merasa terganggu, melainkan seru karena hal seperti ini tidak pernah ia lalui, mengingat ia adalah anak tunggal. “Apa kalian tidak malu berdebat di hadapan tamu?” tanya Agni yang tengah menata menu makan malam. “Ada Kin di sini, jadi jangan keluarkan kebiasaan kalian membuat rumah ini menjadi bising,” sambungnya. “Arlo duluan, Ma,” ucap Anya pelan. Lalu matanya melirik ke arah Kin yang duduk di sofa bersama sepupunya. “Mas Kin, maaf ya.” “Tidak masalah. Hal seperti ini sudah biasa terjadi, kan?” “Mas benar. Dan Mas Kin harus tahu, jangan tertipu dengan wajah Anya yang polos. Aslinya dia sangat bar-bar dan menakutkan,” ucap Arlo. Kedua mata Anya menyipit, berusaha mengintimidasi saudara sepupunya. “Mas, jangan percaya mulut dustanya si Arlo.” “Anya Kin!” seru Agni agar perdebatan berakhir. “Iya Ma iya.” Anya langsung paham. “Mas, aku ke kamar dulu, ya. Mau ganti baju.” Kin mengangguk sambil menahan diri agar tidak tertawa. “Baik, silakan.” Suasana di meja makan nampak tidak biasa karena kehadiran Kin. Pria itu terlihat lahap menyantap menu ikan dan udang bakar serta sup ikan buatan Agni. Tidak lupa juga sayur plecing kangkung serta sambal bawang dan sambil terasi sebagai pelengkap. Semua ini dimasak Agni, sebagai menu makan malam yang spesial. “Semoga suka ya, Kin. Jangan lupa, nambah karena Tante sengaja masak yang banyak biar puas.” “Ini enak, Tante. Jadi mana mungkin saya tidak suka. Tante tenang saja, saya pasti nambah,” ucap Kin sopan. “Mungkin menu seperti ini banyak yang jual, Mas. Tapi percayalah, sambal buatan Mama rasanya beda,” ujar Anya. Kin mengangguk pelan. “Masakan rumah memang selalu spesial apalagi buatan ibu.” “Makasih ya Kin, sudah mau datang ke sini dan makan malam bersama kami.” “Harusnya saya yang bilang begitu, Tante. Keluarga Tante sudah sangat baik menyambut saya sebagai tetangga baru.” “Anggap ini sebagai ucapan permintaan maaf kami atas apa yang Anya lakukan, Mas,” ucap Arlo sambil melirik Anya. “Biar kami nggak terlalu malu.” Anya berdecak samar, merasa sebal dengan perkataan Arlo. “Diungkit lagi, padahal sudah selesai.” Kin yang mendengar, merasa tidak enak. “Sebaiknya jangan dibahas lagi. Toh semua sudah selesai dan saya juga baik-baik saja,” ucap Kin. Lalu matanya menatap Anya yang duduk tepat di depannya. “Sikap Anya sangat wajar. Bertemu orang asing, lalu melakukan pertahanan.” Dibela oleh Kin di hadapan ibu dan sepupunya, perasaan Anya menghangat. Seperti sedang dilindungi oleh ayahnya, ketika ia melakukan kesalahan dimasa kecil. Anya merasa tetangga barunya adalah orang yang menyenangkan. Setelah membantu ibunya untuk mencuci piring, Anya berniat untuk ke kamarnya. Bayangkan bagaimana gerah serta lengket di badan karena belum mandi. Sedangkan Kin berada di kamar Arlo untuk bermain game. Saat melewati kamar Arlo, tiba-tiba pintunya terbuka. Tidak lama, sosok Kin muncul dari balik pintu. Anya sedikit kaget dan gugup. Tidak siap bertemu Kin dengan penampilan kucel dan bajunya yang sedikit basah karena terkena air cucian piring. “Mas Kin, mau ke mana?” tanya Anya. “Saya harus pulang sekarang. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan.” Anya mengangguk. “Oh begitu. Ya sudah, biar saya antar ke depan. Sekalian mau kunci pintu.” “Sekali lagi terima kasih atas makan malam yang hangat dari keluarga kamu,” ucap Kin saat sudah keluar dari rumah Anya. “Sama-sama, Mas. Semoga nggak kapok, ya.” “Tentu tidak. Saya merasa punya keluarga di sini.” “Aku senang kalau Mas Kin merasa seperti itu.” “Kalau begitu, saya pulang dulu.” “Mas!” Suara Anya menghentikan langkah kaki Kin. Pria itu berbalik, lalu menatap wanita di hadapannya. “Iya?” “Mbak Vika pacarnya Mas Kin, ya?” Anya merasa menyesal sudah mengatakan hal ini. Bagaimana bisa ia bertanya hal yang sangat bersifat pribadi pada orang yang baru beberapa hari ia kenal. Sungguh, ia ingin menghilang saat ini juga karena menahan malu. “Maaf Mas, pertanyaanku kurang sopan,” gumam Anya. “Tidak masalah, santai saja. Dia bukan pacar saya, tapi adik ipar saya.” “Oh adik ipar,” gumam Anya. “Aku kira pacar Mas Kin. Soalnya kalian terlihat sangat dekat.” Tiba-tiba tangan Kin terulur, mengusap pelan pucuk kepala Anya. “Jelas dekat, kami keluarga.” Seketika tubuh Anya membeku. Tangan besar itu mendarat lembut pada kepalanya. Jantungnya berdetak cepat dan perasaannya mendadak gugup. “Saya pulang, ya. Good night, Anya.” Tidak ada jawaban dari Anya, hanya anggukan pelan. Ia benar-benar tidak mengerti dengan reaksi tubuhnya atas apa yang Kin lakukan. Sungguh, kehadiran Kin yang baru beberapa hari, benar-benar menyita perhatiannya. “Rasanya aku mau pingsan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD