5. SUDAH PUNYA PACAR

1210 Words
Anya menatap wanita yang juga tengah memperhatikannya dari ujung kaki hingga kepala. Tatapannya membuat Anya merasa tidak nyaman. Tetapi tidak bisa ia pungkiri kalau wanita yang berdiri di depannya sangat cantik dan penampilannya saat ini, begitu serasi jika bersanding dengan Kin. Anya merasa kecil di hadapan wanita itu. “Vika, perkenalkan ini Zeevanya atau Anya. Dia tetangga baruku di sini,” ucap Kin. “Halo, aku Anya.” Sambil memperlihatkan wajah ramah, Anya mengulurkan tangan lebih dulu. Sayang, niat baiknya malah diabaikan oleh wanita bersama Vika. “Oh, jadi dia orangnya?” Kin berdeham pelan. “Tidak usah dibahas, Ka. Semuanya sudah selesai dengan baik.” “Ada apa, ya?” Anya bertanya dengan keadaan bingung dan wajah nampak bodoh. Vika mengibaskan rambutnya dengan anggun. Lalu jari telunjuknya mengarah kepada Anya. “Kamu orang yang nuduh Mas Kin sebagai orang jahat, di rumahnya sendiri dan kamu juga yang melempar dia dengan gelas sampai keningnya harus dijahit?” “Vika,” tegur Kin tidak enak kepada Anya. Sekujut tubuh Anya mendadak panas dingin karena merasa malu dan terpojok. Ternyata Kin menceritakan semuanya pada wanita yang entah siapanya dari tetangganya itu. “Kamu cewek, tapi kok ganas banget, ya?” “Maaf, tapi aku benar-benar panik. Jadi reaksiku sebagai cara bertahanku. Lagi pula Mas Kin juga sudah maafin, kok.” Kin langsung menarik tangan Vika agar perdebatan ini selesai. “Sebaiknya kita masuk sekarang. Kamu sudah melanggar janji untuk tidak salah paham.” Anya terdiam melihat pemandangan di depannya. Makanan yang sedang di tangannya, sepertinya harus dibawa pulang karena Kin tidak bertanya apa-apa. “Mas, aku Cuma mau dia lebih hati-hati. Apalagi kalian tetangga. Bagaimana kalau hal seperti ini terulang lagi, bahaya.” “Kamu berlebihan,” ucap Kin. Lalu pandangan matanya beralih ke Anya. “Anya, kamu ada perlu dengan saya?” Seketika Anya mengangguk. Lalu tangannya menyerahkan paper bag berisi makanan dan buah. “Mas, ini ada makanan dan buah karena aku pikir selama Mas Kin sakit akan kesulitan untuk masak atau belanja makanan. Jadi pulang kerja barusan, aku langsung beli,” jelasnya. “Kamu baik sekali. Tapi harusnya jangan repot-repot.” “Mas Kin baik-baik saja dan dia sudah makan,” ucap Vika. Seketika suasana hati Anya langsung buruk kerena ocehan wanita itu. “Ya sudah, kalau memang Mas Kin sudah makan. Biar …” “Saya tidak pernah bilang menolak pemberian kamu.” Kin menerima apa yang Anya belikan. “Sekali lagi terima kasih untuk perhatiannya.” Anya mengangguk sambil mengulum senyum. “Sama-sama Mas.” “Saya masuk dulu, ya,” ucap Kin. Lalu matanya kembali pada Vika. “Kamu masuk duluan. Aku harus bawa mobilnya ke garasi.” Melihat Kin dan Vika berlalu dari hadapannya, reaksi Anya seperti anak ayam kehilangan induk. Ia bingung harus bagaimana. Seakan otaknya mendadak lumpuh tanpa bisa berpikir dengan baik. “Apa Vika pacarnya Mas Kin? Mana ngomongnya aku kamu,” gumam Anya. Beberapa menit kemudian Anya tersadar dari lamunannya. Ia berbalik badan dan siap kembali ke rumhnya. “Ngapain juga aku harus kepo? Hidupnya Mas Kin, jadi terserah dia mau bawa siapa saja ke rumahnya. Termasuk seorang wanita.” Sesampainya di rumah, Anya tidak masuk ke dalam, melainkan kembali masuk mobil. ia lupa harus menjemput ibunya ke rumah makan yang mereka miliki. Biasanya Arlo yang melakukan ini, tapi hari ini sepupunya sedang sibuk. *** Tepat pukul 11 malam, Anya pulang bersama dengan ibunya. Rumah makan milik Agni tutup jam 10 malam dan harus bersih-bersih dulu sebelum pulang. Karyawan yang dipekerjakan cukup banyak, sehingga Agni tidak perlu kewalahan untuk menyelesaikan semua urusan di rumah makannya. Membuka usaha makanan khas jawa timur, bukan hal yang mudah bagi Agni yang merupakan orang tua tunggal. Usaha yang sudah berusia lebih dari lima tahun, mengalami pasang surut yang membuat wanita itu harus putar otak demi tetap bisa bertahan. Apalagi di Bali terkenal dengan makanannya yang khas, sehingga ia harus berinovasi agar makanan yang ia jual bisa menarik minat. Untungnya Anya selalu setia membantu tanpa rasa malu. Rumah makan yang awalnya sederhana, kini sudah memiliki nama. “Nya, besok Mama mau masak enak di rumah. Kira-kira kalau undang Kin ke rumah untuk makan malam, dia mau nggak, ya?” Anya yang fokus mengemudi, menoleh singkat. “Apa alasannya ngajak Mas Kin makan di rumah kita?” “Mama sudah bilang mau masak enak. Kenapa malah tanya lagi?” “Lah, bilang saja karena mau undang Mas Kin, makanya Mama mau masak yang enak.” Agni berdecis. “Kamu ya, selalu saja mancing emosi Mama.” “Lagian Mama kenapa peduli sekali dengan Mas Kin? Apalagi baru kenal, aku jadi curiga,” gumamnya. “Curiga kenapa?” “Mama suka sama Mas Kin, secara dia duda,” sahutnya santai. Tangan Agni langsung melayang, menepuk kepala putrinya. “Sembarangan! Kamu pikir, Mama masih punya pikiran untuk suka sama laki-laki? Mama sudah berumur, Nya!” “Ya siapa tahu,” jawabnya sambil mengusap kepala. “Ngurus kamu sama Arlo saja sudah pusing. Ini mau ditambah lagi, mana mungkin Mama ambil kerjaan lebih,” sungut Agni. Anya menghela napas. “Nggak apa-apa. Kalau Mama berniat mau cari pasangan lagi, aku nggak akan larang. Biar Mama ada teman saat tua nanti. Tapi yang sepadan atau yang lebih dewasa. Jangan duda muda kayak Mas Kin.” Ocehan Anya kembali membuat Agni dongkol. “Pikiran kamu kejauhan, Nya. Enak saja Mama dibilang suka sama si Kin. Dia lebih cocok jadi anak Mama.” “Syukurlah kalau Mama sadar.” “Lupakan isi kepala kamu yang aneh itu. Kembali ke awal. Besok kamu ajakin Kin ke rumah dan kita makan malam bersama. Kalau kamu mau tahu alasan Mama perhatian, karena Mama tahu gimana rasanya hidup sendiri dan jauh dari orang tua. Makanya Mama simpati sama dia,” jelas Agni. “Salain itu, anggap ini permintaan maaf dari kita karena kamu sudah membuat dia luka dan sakit.” “Iya-iya, aku paham,” gumamnya. Anya kembali menghela napas kasar, ingat dengan wanita yang memarahinya atas insiden bersama Kin. “Tapi jangan aku deh, yang bilang ke Mas Kin. Mama suruh Arlo saja.” Agni menoleh dengan kening mengkerut. “Memang kenapa kamu nggak?” “Aku takut sama pacarnya Mas Kin. Galak dan judes banget. Malas berurusan sama orang seperti ini.” “Pacar? Kamu tahu dari mana dia punya pacar?” “Tadi sempat ketemu, Ma. Aku bawa makanan dan buah untuk Mas Kin. Tarus mereka baru datang dari luar dan akhirnya kami bertemu. Dia marah karena tahu aku yang buat Mas Kin terluka. Jadi, aku mau meminimalisir bertemu dia lagi. Hawanya nggak enak,” jelas Anya dengan raut wajah tidak semangat. “Oh begitu, Mama kira dia jomlo,” gumam Agni. “Tapi kamu dengar dari Kin kalau wanita itu pacarnya?” Anya menggeleng. “Enggak, sih. Tapi dari sikapnya, sepertinya memang ada hubungan. Apalagi Mas Kin ngajak cewek itu masuk ke rumahnya. Jadi sudah bisa dipastikan kalau mereka memang dekat.” “Ya sudah, kalau wanita itu masih di rumah Kin, suruh ikut saja. Jadi makan malamnya semakin ramai.” Kedua mata Anya membola dengan mulut terbuka. Bisa-bisanya sang ibu punya ide seperti itu, padahal ia sudah menjelaskan alasannya. Sungguh Anya tidak setuju dengan rencana Agni, mengundang Vika untuk ikut makan malam di rumah mereka. “Ma, pokoknya aku nggak setuju!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD