Amara memasuki sebuah restoran bergaya chic etno-bistro yang berada di The Hermitage, Tribute Portofolio Hotel, Jakarta Pusat. Restoran bernama L’Avenue dikenal dengan hidangan internasional kontemporer dan menu lokal yang menggunakan bahan-bahan terbaik di setiap musimnya.
Kali ini Amara beserta keluarganya telah reserved sebuah ruang privat untuk dinner dalam suasana yang lebih intim. Restoran bergaya kolonial disertai elemen seni itu menarik minat keluarga Respati dan keluarga Hanggara untuk saling bertatap muka. Selain karena terletak di lokasi bergengsi yakni kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat.
“Ara, jangan lupa senyum saat bertemu Tristan dan keluarganya. Kamu jangan kaku. Bersikaplah seperti putri Mama yang luwes dan anggun,” cerocos sang ibu yang membuat telinga Amara serasa panas akibat perkataan panjang Dian yang tak ada habisnya membahas tentang Tristan.
Memang dimaklumi jika Dian bersikap seperti itu mengingat kali ini pertemuan pertamanya bertemu calon besan. Kakak Amara, Arman yang masih berada di luar negeri tak pernah mau dijodohkan dengan wanita pilihan keluarganya. Hanya Amara saja yang mau menurut apa kata orang tuanya. Tak pernah membantah karena ia perempuan baik-baik yang jadi kebanggaan orang tua. Itu menurut orang tuanya, sebelum Amara jujur tentang aib telah mengandung anak Bara Gandawasa tanpa status yang jelas.
“Iya, Mama. Siap. Mama tenang saja, Ara akan bersikap sesuai keinginan Mama,” tukas Amara berusaha membuat sang ibu untuk tidak berlebihan pada acara dinner bersama malam ini.
Ketika Tristan dan kedua orang tuanya sudah terlihat hadir di ruang privat untuk dinner mereka, Rendra bergegas menghampiri ‘calon besan’ yang diharapkannya itu. Harris Hanggara dan Eva Hanggara merupakan kedua orang tua Tristan yang tampak siap menyambut kehadiran Rendra dan Dian dengan tangan terbuka. Layaknya keluarga konglomerat, apa yang dikenakan oleh ketiga orang tersebut dari ujung kepala hingga kaki semuanya barang-barang mewah dan berkelas.
Harris langsung menyambut Rendra dengan pelukan hangat ketika pria itu beserta keluarganya hadir di depan keluarga Hanggara. Mereka berdua memang berteman baik dan sungguh mengharapkan rencana perjodohan kedua anak mereka tetap berjalan.
“Rendra, akhirnya kau datang juga. Sudah lama ya kita nggak ketemu,” celetuk Harris dengan raut muka gembira bisa bertemu dengan kawan baik.
Rendra membalas kalimat yang terlontar dari mulut Harris sambil menyunggingkan seringai.
“Iya-ya, sudah setahun lebih kan, kau sibuk mengurusi kilang minyak raksasamu di Balikpapan. Jarang pulang ke Jakarta. Benar kan?”
Harris mengangguk lalu membimbing sang rekan bisnisnya itu untuk segera duduk bersama.
Pria paruh baya itu mendesah pelan lantas antusias berbincang-bincang dengan Rendra acara perkenalan keluarga dimulai.
“Iya nih, sibuk di sana sampai lupa sama kehidupanku Jakarta. Perusahaan kami yang di sini pun aku serahkan pada Tristan dan kakak perempuannya. Biarkan anak-anak saja yang mengurus. Kita yang sudah tua ini tinggal pulang kampung ke tanah leluhur kami,” celoteh Harris yang seketika membuat Rendra antusias pada kalimat yang menyebutkan jika ‘perusahaan kami yang di sini pun aku serahkan pada Tristan’.
Penjelasan Harris tersebut membuat Rendra yang gila harta dan tahta, senang hingga berniat ingin mempercepat perjodohan yang hendak terjadi ini ke tahap yang lebih serius. Seolah-olah ibarat angin segar untuk Amara yang dijadikan korban atas ambisi orang tua.
Saat kedua orang tua Amara dan Tristan asyik mengobrol, Amara dan Tristan saling bersitatap. Beberapa kali kedua netra milik mereka saling bertemu. Terutama Tristan yang langsung tertarik saat pertama kali bertemu dengan Amara seperti ini. Tetapi mereka belum saling bertegur sapa.
Kau cantik sekali. Ternyata putri bungsu keluarga Respati secantik ini. Aku baru tahu. Sayang sekali untuk dilewatkan. Gumam Tristan dalam hati yang benar ucapan Dian yang mengatakan jika Tristan akan terpesona pada kecantikan Amara.
Tristan yang berpenampilan layaknya pria gagah dan metroseksual, sebenarnya tak begitu membuatnya silau akan pria itu. Ia juga tampan, namun bagi Amara masih belum bisa mengatakan kalau ia tertarik. Apalagi saat ingatan tentang ia tengah mengandung anak seorang pria lain itu muncul, langsung membuatnya frustasi.
Tristan, kau memang pria yang nyaris sempurna bagi setiap wanita yang melihatmu. Tapi entah aku tak bisa langsung tertarik padamu. Apalagi jika ingat aku tengah hamil anak Bara, aku tak mampu berkata apa-apa lagi selain … pasrah. Pasrah harus mengandung anak pria yang benar-benar membuatku mendadak jadi gila.
Amara membatin dalam hati. Berniat hanya ingin membahas tentang Tristan, tetapi bayangan Bara tetap saja muncul di benak wanita itu. Bagaimana tidak muncul, di rahim Amara tengah tumbuh janin dari benih pria itu. Janin yang menjadi pengikat antara Amara dan Bara hingga anak itu lahir atau bahkan bisa selamanya jika memang mereka berdua ditakdirkan untuk berjodoh.
“Aku Tristan, nama kamu siapa?” tanya Tristan seraya mengulurkan tangan untuk mau berkenalan dengan Amara.
Wanita itu sontak terkejut dengan uluran tangan Tristan yang siap membuyarkan konsentrasi Amara yang teringat Bara.
“Eh iya, aku Amara. Amara Anastasia Respati,” jawab Amara yang tak sengaja menyebutkan nama lengkapnya saat menjabat tangan Tristan. Hingga Tristan mengembangkan senyum bergelora.
“Wah, selain cantik wajahnya tapi namanya juga cantik. Kamu tahu Putri Anastasia yang dari Rusia itu kan? Yang muncul di dongeng dan film. Mirip kamu,” puji Tristan sambil berkedip.
Amara langsung menjawab, “Iya, tahu. Waktu kecil, dongeng favoritku itu. Bahkan Mama sengaja memberi nama tengahku seperti namanya karena Mama suka sama kisah Putri Anastasia itu.”
“Oh ya? Suka kisahnya? Padahal kan kisah putri Rusia itu sedih karena menghilang dan dibantai oleh pasukan komunis,” celetuk Tristan.
“Ya, karena kisah itu melegenda di Rusia bahkan dunia tahu kisah putri yang menyedihkan itu,” sahut Amara yang kemudian bergumam dalam hati kembali.
Jika kau tahu, kisah sedih Putri Anastasia itu sama halnya denganku. Aku yang ditakdirkan harus kehilangan kesucian di saat belum menikah hingga mengandung anak di luar pernikahan. Yang ayah kandungnya sendiri jelas-jelas mengatakan tak ingin menikahi wanita asing sepertiku. Mengenaskan bukan hidupku?
Amara menggerutu dalam hati jika mengingat nasib buruk yang menimpanya. Tristan yang ingin mengenal lebih dalam tentang wanita itu, lantas bergeser mendekati Amara. Mencoba duduk bersebelahan dengan wanita yang belum diketahui tengah hamil itu.
Hingga aroma maskulin dari parfum yang dikenakan oleh Tristan itu menguar. Menyengat hidung seorang wanita hamil yang tak mampu menahan diri untuk tidak mual akibat parfum tersebut. Amara termasuk salah satu wanita tersebut. Secara mendadak ia mual-mual di samping Tristan. Sikap Amara yang mengalami serangan mual tersebut langsung mengundang perhatian orang tuanya maupun orang tua Tristan. Terutama Rendra yang mengerutkan kening dalam.
“Amara, kamu kenapa?” tanya Tristan cemas.
Amara yang tak mampu menjawab pertanyaan Tristan hanya bisa mengatur napas akibat mual-mual mendadak. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Tak mampu berkata-kata.
Dian yang melihat ada yang tidak beres dengan putrinya, lekas mendekat ke arah sang putri. Berusaha tak membuat orang-orang berpikiran yang tidak-tidak dengan berkata, “Ara, kamu masuk angin ya, Sayang? Kelelahan bekerja ini pasti. Maklum, jadi kepala divisi manager di stasiun televisi.”
Eva menanggapi perkataan Lidya. “Oh begitu ya, Bu. Wah, kasihan ya, Amara yang sudah kerja keras sampai sakit begitu.”
Rasa mual yang semakin memuncak terjadi pada Amara hingga hendak muntah-muntah. Keluhan ibu hamil mulai terasa dan mau tak mau ia harus izin untuk pergi ke kamar mandi.
“A-Amara mau izin ke toilet,” pinta Amara terbata-bata.
“Perlukah aku mengantarmu ke toilet?” tanya Tristan menawarkan diri.
Amara menggeleng. “Nggak perlu, Tristan. Aku sendiri saja.”
Wanita cantik itu segera menolak penawaran dari pria yang hendak dijodohkan kedua orang tua mereka padanya. Cairan bening sudah mulai menggenang di pelupuk mata perempuan itu. Keluhan morning sickness yang bisa terjadi sepanjang hari oleh wanita hamil itu mulai menyergap hari-hari Amara.
Amara pun bergegas meninggalkan ruang private dinner tersebut dengan langkah seribu sembari meletakkan tangan kiri di perutnya yang masih rata sedangkan tangan kanan menutupi mulut yang mual-mualnya kambuh.
Ketika ia berjalan cepat menuju lorong restoran, tanpa sengaja ia bertabrakan dengan sosok pria yang langsung membuatnya mendelik. Ia menatap pria yang tengah berjalan di dekatnya tersebut seraya berkata, “Bara Gandawasa ….”
Seorang pria yang tak sengaja ditemui oleh Amara di lorong restoran tersebut pun menyebut nama wanita yang disentuh di Pulau Komodo itu ekspresi terperanjat.
“Amara Respati …” sahut Bara.
Pertemuan yang mengejutkan bagi keduanya. Apalagi ia menyaksikan sendiri saat wanita itu mual sambil menutup mulut dengan tangan kanan. Amara yang tak ingin dipergoki mual-mual lagi, lantas lekas meninggalkan Bara di sana. Tak ingin pria itu tahu jika yang ia alami sekarang adalah gejala-gejala ibu hamil trimester pertama.
Bara hanya bisa mematung di tempat sampai sang kekasih, Nadia datang menarik tangannya.
“Baby B, kamu kok bengong saja? Ada apa?” tanya Nadia penasaran.
Bara hanya menelan ludah. Tak mampu berkata jika baru saja ia bertemu dengan wanita yang menjadi cinta satu malamnya di Pulau Komodo. Apalagi saat melihat kondisi wanita itu yang hendak muntah, langsung membuatnya merinding. Takut jika wanita yang telah direnggut kehormatannya tersebut tengah mengandung anaknya.
Bara berdeham. “Hmm … nggak apa-apa, Sayang. Acaramu bagaimana?”
“Ada dua sesi pemotretan, Sayang. Di restoran ini terus berlanjut di La Vue Rooftop Bar yang ada di atas hotel ini.”
“Oh … iya-iya,” sahut Bara yang masih kepikiran kondisi Amara tadi.
Nadia yang merasa Bara agak aneh, lantas angkat bicara.
“Baby, kamu kenapa sih? Kok kayak habis lihat hantu. Kepikiran apa?” tanya wanita itu manja.
Bara menggelengkan kepala. “Masa’ sih? Enggak kok, Sayang. Cuma perasaanmu saja. Ayo, aku antar kamu pemotretan,” kilah Bara tak ingin diinterogasi oleh kekasihnya.
Mereka berdua pun beranjak dari sana lalu bergerak menuju tempat yang dijadikan lokasi pemotretan. Sedangkan Amara yang sudah berada di dalam kamar mandi meluapkan segala yang ia rasakan di sana. Gejala mual-mual, muntah, hingga menangis tersedu-sedu di dalam toilet pengunjung. Pikiran dan perasaan wanita itu jadi tak karuan. Ia hanya bisa meratapi nasib sebagai wanita hamil di luar nikah dengan menangis di sana. Jadi tak ingin keluar dari toilet lebih cepat.
Ya Tuhan, di saat aku ingin menuruti permintaan kedua orang tuaku untuk bertemu dengan laki-laki pilihan mereka, kenapa harus muncul serangan mual dan muntah seperti ini? Apa ini pertanda jika janin yang kukandung tak ingin ibunya dijodohkan dengan pria yang bukan ayahnya? Lalu kenapa aku harus bertemu ayah dari janin yang kukandung ini berulang kali? Apakah kami harus terikat satu sama lain?
Amara bertanya-tanya dalam hati sambil terisak. Masih tak sanggup keluar dari tempat itu. Masih ingin menyendiri dan menangis hingga setengah jam berlalu namun Amara belum juga kembali ke meja makan. Dian yang cemas dengan putrinya, cepat-cepat meminta izin orang-orang yang ada di sana untuk menyusul Amara di toilet.
“Permisi, saya mau menyusul Amara dulu di toilet. Takutnya kenapa-kenapa,” ujar Dian.
Eva menimpali. “Apa perlu saya temani, Bu?”
“Nggak usah, Bu Eva. Ibu menunggu di sini saja dulu. Biar saya melihat anak saya dulu.”
Usai berucap demikian, Dian yang khawatir terhadap sang anak bungsu segera menyusul Amara di toilet. Sedangkan Amara yang masih berada di toilet, masih duduk tertunduk lesu. Ia ingin cepat-cepat pulang, tetapi masih ingin menghargai pertemuan dinnerbersama-sama yang mereka adakan sekarang ini. Yang hanya dilakukannya hanyalah pasrah dengan keadaan. Kini rasa mual dan muntah yang ia rasakan pun berangsur menghilang. Apalagi setelah meminum air mineral yang sempat ia ambil depan pintu toilet tadi cukup membantu mengatasi keluhan.
“Amara … Ara,” panggil Dian yang sudah berada di dalam toilet.
Amara yang tahu ada ibunya lekas bangkit dari duduk sambil mengusap air mata yang mengalir di pipi. Lalu menyahuti ucapan sang ibu.
“Iya, Ma. Sebentar lagi Ara keluar.”
Beberapa detik kemudian, Amara keluar dari bilik toilet. Kemudian bergeser mendekati ibunya yang berdiri.
“Kamu gimana? Masih sakit atau sudah lebih baik?” tanya Dian cemas.
“Sudah mendingan kok, Ma. Sekarang sudah stabil. Alhamdulillah, mual dan muntah sudah menghilang.”
“Oh, Ara Sayang, kalau kamu tadi bilang sakit, kan acara ini mungkin bisa diundur saja? Kamu masuk angin atau sakit perut?” tanya Dian penasaran.
Amara hanya membisu. Berpikir, apa mungkin jika ia jujur sekarang itu lebih baik. Namun wanita itu tak ingin kedua orang tuanya syok. Apalagi bisa memalukan keluarga Respati di depan keluarga Hanggara jika ia berkata jujur sekarang.
“Ara?!”
“Ya, Ma. Mungkin masuk angin. Efek capek seharian kerja keras.”
“Ya sudah, kalau begitu ayo kita kembali ke meja makan kita. Tristan dan keluarganya sudah menungguku. Jangan sampai lama-lama di sini,” pinta Dian yang diangguki Amara.
“Iya, Ma.”
Mereka berdua pun berjalan kembali ke ruang private dinner mereka. Saat melewati beberapa meja makan, Amara terpaksa harus melihat Bara kembali. Berusaha mengalihkan penglihatan dari pria yang sudah menghamilinya tersebut namun tetap saja masih bersitatap. Kini ia tengah duduk menunggu sang kekasih yang masih sibuk bekerja sebagai model di sana.
Amara yang hanya bisa pasrah lalu membuang muka pada Bara. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika muncul Tristan yang menyusul Amara di sana.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Tristan cemas sambil menatap lekat Amara.
“Nggak apa-apa, Tristan. Aku sudah mendingan,” jawab Amara.
Mendengar jawaban Amara, lantas Tristan meletakkan lengannya di bahu Amara. Berniat merangkul wanita cantik itu yang secara kebetulan posisi mereka berdua ada di sekitar Bara.
Amara yang terkejut dengan sikap Tristan hanya bisa diam. Tak mau melihat ke arah lainnya juga. Apalagi melihat ke arah Bara Gandawasa. Sedangkan Bara hanya bisa melihat aksi Amara dan Tristan itu dengan tatapan yang hanya bisa diartikan oleh pria itu sendiri. Mungkinkah ada rasa cemburu yang hadir dari seorang Bara Gandawasa yang selalu menyakinkan diri sendiri dan orang lain jika cintanya hanya untuk Nadia dan bukan yang lain? Bara pun hanya bisa mendengkus lalu cepat-cepat menghabiskan minumannya hingga tandas.
****
Notes:
Malam guys, aku update sesuai janjiku ya buat ngasih extra update hari ini selain senin & kamis.
Gimana chapter ini? Menurut kalian, mungkin ga sih seorang Bara bisa cemburu? Apa cuma dia males aja lihat Amara sama Tristan? Hehe… komen di bawah ya… biar aku bisa semangat up…
Tetep ikuti kisah ini ya readers. Happy satnite. Makasih. ❤️