One

1286 Words
"Juwita! Juwitaaa!" Seru Jelita yang memanggil namana saat gadis itu berusaha melarikan diri lagi dari rumah. Rumah ini bukanlah rumah Juwita. Ini rumah rumah Jelita dan suaminya, Ferdi, yang adalah seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat. Di rumah itu juga diisi oleh adik Jelita dan Juwita yang kecil, Jeremy, dan anak Jelita, Ayu. "Juwita! Balik kesini!" Juwita melambaikan tangannya tanpa berkata sepatah katapun. Dia segera masuk ke dalam mobilnya, dan melaju meninggalkan kompleks perumahan. "Anak itu! Benar-benar deh kelakuannya! Kenapa sih dia harus kabur juga?!" Jeremy datang dari belakangnya. "Juwi tahu Kak Ferdi pulang hari ini, makanya dia pilih buat kabur. Katanya nggak jauh kok, masih di Jakarta juga, nggak sampai ke luar negeri." Jelita membalas Jeremy dengan tatapan mautnya. "Hei, kenapa kau baru laporan sekarang ke Kakak kalau Juwi sengaja kabur, huh?! Kau pikir siapa yang kasih tempat tinggal, makan, sekolah untukmu, huh?!" "Juwita membayar lebih dari setengahnya, Kak," kata Jeremy tanpa sadar. "Hmm... aku pergi dulu ke atas! Mau belajar buat ujian!" "Jeremy! Hei! Kemari kau! Jangan kabuurr!" Jeremy balik ke kamarnya yang ada di lantai dua, dia menerima telepon dari Juwita. "Oh, ya, ada apa?" "Bisa kau simpan tagihan kartu kreditku yang aku taruh di atas meja kamarku?" Jeremy naik ke lantai tiga. Kamar serba kaca itu memang milik kakak keduanya. Kamar yang rapih, bersih, dan tidak mencerminkan siapa pemilik aslinya. Di sudut kamar itu, terdapat rak buku yang dipenuhi buku-buku kedokteran, buku musik, dan beberapa novel. "Iya aku temukan disini. Kau mau kemana memangnya hari ini?" Tanya Jeremy, "Kau tahu aku kehilangan teman bermain jika aku harus membiarkanmu kabur lagi hari ini. Kau sendiri tidak tahu kapan pulang." "Jer, belajar yang benar. Dan ingat, jangan pernah mau menerima tawaran Boneka Negara itu untuk menjadi salah satu boneka barunya. Mengerti?!" "Iya, iya. Aku tahu. Tapi kau kemana?" "Aku ke Gran Camila Hotel. Oke? Jangan manja, dan tenanglah disana sampai aku pulang. Dah!" Jeremy mengangguk, dan mematikan ponselnya. Tiba-tiba matanya terjatuh pada satu buku kecil yang sering digunakan Juwita untuk menulis beberapa catatan kecilnya. Selama ini, Jeremy memang penasaran, dan saat ini tak ada Juwita. Saat yang bagus untuk membukanya. Achievements in life: 1. Become an Army Doctor. 2. Make Dad and Bunda happy to have a daughter like me. 3. Live a happily ever after life with Gio. Jeremy melihat semua itu di corat-coret oleh Juwita. Berarti itu bukanlah tujuan hidupnya lagi. Tapi, saat dia membuka lembaran-lembaran belakangnya, dia menemukan tulisan Juwita lagi. Tentunya, tulisan yang menyatakan seberapa bencinya Juwita terhadap Boneka Negara yang di maksudnya. 1. Stay away from Country's Doll. 2. Live the moment. Stay alive and survive. Time will never rewind, and life must goes on. Don't ever believe in anyone. There's no one that you can trust in this crazy-cruel world. Jeremy sendiri sudah lupa kapan terakhir melihat Juwita sebagai perempuan yang sangat dia bangga-banggakan sebagai kakak. Bahkan, dia sendiri menjadikan Juwita sebagai standar minimal untuk dirinya mencari kekasih. ----- "Wit, aku dengar kau sudah tidak bersama Gio lagi," jelas Jacky, nama aslinya adalah Jacqueline, tapi banyak yang memanggilnya Jacky. "Kenapa kau bisa putus dengan Gio?" "Kenapa ya?" Tanya Juwita balik, sambil berpikir sejenak lalu menggeleng cepat dan meminum minumannya. "Gio cuma masa lalu, bukan bagian yang menyenangkan untuk aku ingat." "Kalau aku termasuk bagian yang menyenangkan?" Tanya Kevin, yang baru datang dari arah lain. "Kau ke rumah sakit ini tapi tidak bilang-bilang! Kau sudah kaya, Wit? Kapan kau bisa pindah ke Las Vegas?" Juwita mengedikkan bahunya. "Uangnya nggak kekumpul terus. Hahaha!" Tawa renyah Juwita selalu membuat Jacky dan Kevin, kedua sahabatnya itu tenang. Mereka SMA sama-sama, kuliah kedokteran di universitas negeri yang sama, dan mendapat gelar S.Ked. yang sama pula dalam waktu bersamaan. Namun, hanya Jacky dan Kevin yang berhasil mendapat gelar dokter di depan nama mereka. Juwita? Dia keluar dari kuliahnya, dia tidak menyelesaikan co-assnya. "Kuliah spesialis bikin cepet tua, tahu?" Kata Juwita, "Dan Kevin dengan hebatnya mengambil spesialis bedah saraf. Dimana otakmu?!" "Disini," balas Kevin, sambil menunjuk kepalanya. "Kenapa kau begitu khawatir dengan aku yang harus menjalani kuliah yang lama itu?" Juwita berdecak, dan memainkan tangannya seolah berkata tidak. "Bukan, bukan. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan mau kuliah bedah, dimana aku harus rela mati-matian berjuang menjadi bawahan yang di perintah oleh ini dan itu oleh para konsulen sebagai residen. Dan kau betah, Kev?" Kevin tersenyum dan mengangguk. "Kau sendiri mau spesialis apa Wit kalau lulus dokter?" Tanya Jacky. "Kau tahu aku ingin jadi spesialis anestesi. Membius orang-orang. Tapi kalau tidak, kejiwaan." "Pantas saja kau yang sakit jiwa sekarang," desis Jacky. "Harusnya kau ambil kesehatan jiwa Kev. Teman kita akan jadi pasien tetapmu kau tahu?" Kevin tertawa. "Ayolah. Jangan meledekku." "Eh, Wit, hari ini kau ke sana?" Juwita menoleh dan mengangguk. "Hmm. Sudah lama tak bertemu Dad dan Bunda. Aku pergi dulu ya. Dah!" Sepeninggal Juwita, Kevin dan Jacky masih berbicara. "Kapan makhluk itu bisa balik lagi? Hidupnya nggak jelas, nggak ada tujuan..." desahan Jacky itu terhenti saat panggilan dari gawat darurat memanggilnya. Begitu pula Kevin yang di panggil paksa oleh konsulennya. ----- Juwita tak pernah melakukan penghormatan macam apapun sejak ayahnya meninggal. Menghormati simbol-simbol negara, tanda negara, tidak pernah dilakukannya. Anggaplah sebagai bentuk kebenciannya yang membuat dirinya menjadi yatim piatu. Hari ini, Juwita memberikan hormatnya pada ayahnya, di depan makamnya. Makam yang hanya menjadi bentuk formalitas belaka. Karena Juwita tahu jasad ayahnya sudah tak berbentuk, dan dia bahkan tidak tahu apa yang berada di dalam makam ini ayahnya atau bukan. "Lapor. Anindya Vega Juwita. Dad baik-baik sajakan? Apa Dad senang bisa terus bersama Bunda di surga sana?" Tanyanya, "Aku disini. Aku yakin Dad tahu apa yang aku rasakan sekarang." Sakit. Rasa sakit dan kecewa terhadap Ibu Pertiwi-lah yang membuat Juwita tak mau berada di lingkungan yang mengaku dirinya sebagai Abdi Negara. Ayahnya adalah tentara yang memiliki karier militer hebat. Ayahnya juga di angkat menjadi intel oleh PBB beberapa kali. Dan terakhir, ayahnya di panggil untuk melakukan misi penyelamatan di Irak. Padahal setelahnya ayahnya berjanji akan mengajarinya cara menembak dengan senjata, dan bagaimana harus melindungi diri dari penjahat. Naas, ayahnya meninggal dan ibunya menderita psikosomatik. Kesedihan mendalam setelah ditinggal orang yang sangat dicintai. Ibunya meninggal lima tahun kemudian. "Dad kenapa minta Jelita nikah sama salah satu Boneka Negara itu? Apa Dad nggak tahu kalau Jelita nangis tiap kali Ferdi pergi?" Juwita menangis sendirian sambil memegangi pusara milik ayahnya. Di kawasan TMP Kalibata itu, dia menangis sendirian. Setelahnya, dia pergi ke Gran Camila Hotel. Di hotel itu, dia bekerja sebagai pianis yang di bayar untuk bermain piano di loungenya selama dua jam, lalu dia melanjutkan lagi dua jam di pub dan terakhir di restoran. Untuk malam ini, dan beberapa kemudian mungkin dia akan tinggal di hotel ini. Dari pada harus bertemu Ferdi di rumah dan melihat pakaian tentaranya yang membuatnya alergi. Bukan gatal, tapi membuatnya ingin melontarkan sumpah serapah dan makian kepada Boneka Negara dan negara yang mereka bela itu. "Boleh aku tahu siapa namamu, Nona?" Tanya sebuah suara bariton yang ada di hadapannya. Mata mereka berdua bertemu saat Juwita sudah selesai bermain piano di restoran. Hatinya berdesir kecil saat memandang lelaki di hadapannya. "Juwita." Juwita tanpa sadar mengatakan namanya. Mungkinkah ini hipnotis? Lelaki di hadapannya ini tampan, dengan sosok tubuh yang atletis, bahu lebar dan d**a bidang. "Apa aku setampan itu?" Tanyanya. Juwita mengedipkan matanya, lalu melihat kepada pandangan lainnya. "Maaf, aku tidak sengaja." "Aku Billy," kata Lelaki itu sambil menjulurkan tangan kanannya. "Aku senang bisa bertemu dengan pianis cantik sepertimu." Juwita mulai merasa ada hal yang aneh disini. "Thanks for the compliment." Juwita berdiri dari kursi piano. "Wait," kata Billy sambil menahan sebelah tangan Juwita. "Can I have your phone number?" Juwita menggeleng pelan, dia melepaskan telapak tangan Billy yang masih di perban itu dari pergelangan tangannya. "If we meet again, I'll think about it."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD