Two

1562 Words
Billy berjalan cepat, buru-buru dia ingin segera keluar dari Gatot Subroto. Bukan karena dia anti rumah sakit. Ayolah, jangan bercanda. Rumah sakit ini sudah menjadi teman mainnya sejak kecil kalian tahu? Sewaktu kecil, Billy sering sekali mimisan, dan punya tubuh yang lemah. Itu terjadi karena Billy lahir sebelum waktunya, dan kepalanya sempat terlilit tali pusat ibunya. Beruntung, dia selamat, tapi di masa kecilnya, Billy harus sering-sering keluar-masuk rumah sakit agar keadaannya stabil. Sekarang, dia ingin buru-buru keluar karena ada janji dengan Mira. Di Gran Camila Hotel. Heran, itu hotel yang terbilang mahal, memangnya berapa sih gaji seorang Abdi Negara seperti dirinya dan Mira? Okelah, Mira bisa buka praktik di luar jam kerjanya sebagai dokter tentara, tapi memangnya berapa banyak penghasilannya? Galuh yang menyetir mobil pun akhirnya juga ikut-ikutan dibawa ke Gran Camila Hotel. Fraktur tangannya belum pulih, sehingga Billy belum boleh menyetir. Oke, jangankan menyetir, mengepalkan tangannya saja sulit. "Heran, kenapa Mira mengajakku bertemu dengannya?" Tanya Billy. "Mungkin dia mau mengatakan hal yang penting? Seperti Komandan Hardi memintamu untuk menikahi Mira?" Billy menggeleng. "Tidak, tidak, tidak. Sampai matipun tidak akan aku nikahi Mira. Kau tahu bukan hal yang paling jahat di dalam dunia militer adalah pengkhianatan? Apa kau pikir aku akan mengkhianati kakakku sendiri?" "Dia bukan atasanmu." "Dika itu kakakku, Gal. Bagaimanapun juga apa yang menjadi miliknya bukan hal yang harus aku dan dia perebutkan. Termasuk perempuan. Kalau Mira sudah berpacaran dengannya, berarti Mira milik Dika," balas Billy santai. "Tapi aku masih heran, kenapa Mira dan Dika pacarannya backstreet. Maksudku, tidak terang-terangan, dan malah, aku sering dengar kabar kalau mereka suka putus-nyambung. Sebenarnya, bagaimana keadaan mereka?" Billy mendengus, "Sebenarnya mereka putus. Dan alasannya mereka putus karena Komandan—seperti yang kau tahu—lebih menyukaiku di banding Kakak tunggalku itu." ----- Saat itu, Dika sedang melakukan pelatihan militer kelautannya di Sulawesi. Memang jauh, dan waktu pelatihannya adalah tiga bulan. Beruntung kalau dia bisa selesai lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Dan Dika waktu itu masih menjadi Pembantu Letnan Dua. Sialnya, saat dia sedang renang maraton, kakinya kram. Dia tenggelam sebelum batas sepuluh kilometernya. Saat itu, kapal patroli melihat Dika yang timbul-tenggelam beberapa kali, mereka lalu membawanya naik ke dalam kapal itu. Dokter yang bertugas adalah Mira. Mira memang dokter Angkatan Darat, namun karena personel dokter di Angkatan Laut kurang, jadi Mira bersedia untuk ikut membantu. Saat pertama kali melihat Dika yang terbaring itu, Mira segera memberi tindakan yang terbaik menurutnya. "Kau tidak melakukan pemanasan dulu sebelum berenang." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. "Aku tidak pernah bertemu seorang marinir bodoh sepertimu yang tidak melakukan hal paling penting sebelum berenang. Apa kau pikir kau mampu untuk menjaga negara ini dengan otak udangmu?" Dika melihat pangkat militer Mira. Ini memang hari sialnya. Bahkan dokter yang menolongnya memiliki pangkat lebih tinggi darinya. "Apa kau bisu?" Tanya Mira lagi. "Aku terburu-buru tadi, jadi aku lupa melakukannya," jelas Dika singkat. Plaak! Mira menampar wajah Dika. "Aku tidak bisa menghukummu karena kita berbeda angkatan militer. Tapi aku harap kau bisa sadar dengan tamparanku barusan." Mira mengatur napasnya, dia menelan ludahnya. "Memangnya apa yang membuatmu harus buru-buru pulang? Bertemu kekasihmu dan mengajaknya menikah?" "Bertemu mantan kekasihku, dan melihatnya menikah." ----- Galuh manggut-manggut. "Jadi Dika mau datang ke acara pernikahan mantan kekasihnya?" Billy mengangguk, "Sepertinya hampir semua tentara punya krisis asmara yang sama. Di tinggal menikah oleh mantan kekasihnya. Sialnya, kalau kau di undang, rasanya mantanmu benar-benar ingin membuatmu merasa bodoh." "Kau lupa aku tidak di undang oleh mantanku saat itu. Tapi aku tetap datang ke sana," sanggah Galuh. "Dan kau membawa Cindy. Hebat sekali Sersan! Tidak aku sangka kau sehebat itu dengan melibatkan adikku!" Seru Billy. Sampai di Gran Camila Hotel, mereka berdua menuju restorannya. Disana, sudah ada seorang perempuan dengan pakaian kaos dan celana panjang hitam. Kulit putihnya terlihat bersinar. "Mira," panggil Billy. "Aku hanya memanggilmu. Kenapa ekormu ikut juga?" Tanya Mira ketika melihat kehadiran sosok Galuh yang berada di sebelah Billy. "Hmm..." Billy mengangkat tangan kanannya, dan memamerkan perban barunya, "Tanganku belum bisa banyak berbuat apa-apa, Mir. Jadi, aku harus meminta anak buahku untuk membantuku." Mira sebenarnya tak suka dengan alasannya Billy. Kenapa dia harus mengajak Galuh? Dan bukan Dika saja kalau begitu? "Kau bertanya-tanya kenapa aku tidak mengajak kakakku?" Goda Billy, "Dika harus melatih personel baru timnya. Jadi aku tidak berani mengganggunya. Angkatan Laut lebih keras di bandingkan Darat kau tahu?" Mira mengerucutkan bibirnya. "Langsung saja. Komandan Letjen Hardi ingin memintamu menjadi menantunya. Woah. Hebat sekali, bukan?" Galuh terkekeh, "Wah, kemarin di kantin asrama aku juga mendengar kalau Jenderal Gunawan sedang memasukkan nama Billy dalam seleksi calon menantunya untuk putri kesayangannya. Hebat sekali!" "Ternyata kau laku berat ya, Bill," ledek Mira, "Seharusnya perempuan yang dilirik. Ini malah lelaki yang di lirik untuk jadi mantu. Hebat juga pesonamu." Billy tersenyum ringan, "Mau bagaimana lagi? Aku ini kan paket komplit. Wajah tampan, tinggi, karier yang bagus, dan setia pada negara." "Kau pede sekali." Mira akui memang lelaki yang merupakan adik dari mantan kekasihnya itu memang memiliki daya tarik luar biasa. Tapi tetap saja, Mira sudah terpikat oleh Dika. Bagaimanapun juga, hanya Dika yang mampu membuatnya berhenti keras kepala. "Bill, aku serius, aku tidak mau menikahimu!" "Aku juga serius, Letnan. Jadi jangan membuatku pusing, oke?" Balas Billy. Lelaki itu bersandar pada tempat duduknya. "Tidak bisakah kita sekalian makan di sini? Aku sudah seharian menunggu antrean di Gatot Subroto hanya untuk mengganti perban tanganku ini. Mir, makanlah sedikit." "Kalian kan akan naik pangkat, kenapa aku yang harus bayar?!" Dengus Mira begitu mendengar Billy meminta untuk memesan makanan, firasatnya berkata pasti dia yang harus membayarnya. "Lho, kan kau sendiri yang mengajak kami ke sini," kata Billy. "Aku hanya memintamu, Bill. Bukan Galuh!" "Kita satu paket." Mira memang seorang tentara juga. Tapi berdebat dengan lelaki-lelaki ini akan membuatnya kalah. Okelah, anggap ini sebagai hadiah karena berhasil menyelesaikan misi PBB tempo hari. Mira pun memutuskan untuk membayarkan setengah saja untuk makanan yang mereka berdua pesan. Sambil menyantap makanan, mereka bertiga mendengar alunan nada-nada yang dikeluarkan oleh piano. Lagu jazz itu membuat suasana restoran terasa lebih santai. Billy tertarik akan siapa yang memainkan piano itu. "Kenapa Bill? Yang main perempuan tuh." Seolah bisa membaca bahasa tubuh Billy, Mira langsung menimpali Billy saat melihat gerak-gerik lelaki ini mau mencari tahu siapa yang bermain piano. "Namanya Juwita kalau tidak salah." "Kau kenal?" Tanya Billy. "Dia adik kelasku dulu kalau tidak salah," tambah Mira. "Cantik dan cara yang tepat untuk membalas mantanmu yang bodoh itu." "Ya, tentu saja. Eh, tunggu dulu! Kau tahu dari mana kalau mantanku akan menikah?!" "Insting?" Gurau Mira. "Galuh saja mendapat undangannya. Aku pun begitu. Dia mengirimkannya lewat titipan kilat beberapa minggu lalu saat kau di Afganistan." "Gal, kau dapat undangannya?!" Seru Billy. Galuh tersenyum kecil. "Maaf. Tapi iya, aku mendapatkannya. Undangan itu masuk ke dalam loker asramaku, di antara tumpukkan surat-surat dari orangtuaku." Billy tidak menyangka sebegitu dendamnya Diana terhadap dirinya. Diana adalah salah satu mantan Billy sewaktu dia kuliah hukum setahun, sebelum akhirnya di terima masuk Admil. Diana seperti punya dendam kesumat sendiri terhadap Billy, padahal Billy juga yang merelakan Diana untuk memilih jalannya sendiri. Billy memang sedih saat tahu Diana memilih untuk meninggalkannya, tapi toh, Billy sudah memberikan pilihan pada Diana bukan? Dan apapun keputusan Diana harus dia terima. "Dia mau pamer, Bill," jelas Galuh, "Beda kasusnya sama Putri, yang tidak mengundangku, karena sebenarnya dia menyesal telah memintaku putus darinya. Kalau Diana jelas mau pamer karena dia berhasil menikahi pengusaha real estate." "Aku sendiri tidak yakin Diana istri pertamanya," decak Mira. "Mau pertama, kedua atau ketiga, bodoh amat. Yang penting real estate, Mir." "Oke, aku harus mendekati pianis itu!" Tanpa banyak lagak lagi, Billy bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Si Pianis. "Boleh aku tahu siapa namamu Nona?" Pianis yang sedang membereskan barangnya itu mendongak, dan mata mereka berdua bertemu. "Juwita." Billy tersenyum. Tatapannya intens, dan berhasil menyihir perempuan bernama Juwita itu. "Apa aku setampan itu?" Juwita mengedipkan matanya menggeleng-geleng kecil. "Maaf, aku tidak sengaja." Billy menjulurkan tangannya yang masih di bungkus perban, "Aku Billy. Aku senang bisa bertemu pianis cantik sepertimu." Juwita tersenyum sekilas. "Thanks for the compliment." Juwita segera bergegas berdiri, hendak meninggalkan restoran, tapi Billy menahannya dengan tangan kirinya. "Wait, can I have your phone number?" Tanyanya. Perempuan itu melepaskan tangan Billy, dan berkata, "If we meet again, I'll think about it." Juwita lalu meninggalkan Billy dengan senyuman. Penolakan halus yang indah, setidaknya, anggap saja penolakan itu sebagai pertahanan dirinya, agar tidak asal terjerumus. "Sudah dapat nomornya?" Tanya Galuh, dan di balas gelengan dengan senyum oleh Billy. "Hebat juga kau di tolak!" "Lain kali katanya. Baiklah, aku akan menunggunya. Dia gadis yang menarik, dan menantang. Akan kukejar dia." Mira melihat Billy setengah miris. "Ckck.. Iya, iya, kau boleh mengejarnya. Habiskan sekarang makananmu, biar aku bisa membayarnya. Lalu, antarkan aku kembali ke asrama." Billy melotot, "Lho? Kenapa aku harus mau mengantarmu pulang ke asrama? Bukannya kau bawa mobil?" Mira menggeleng. "Tadi aku menumpang dengan Sersan yang sekalian lewat sini. Jadi aku tidak bawa mobil." Billy mendengus. "Ya Tuhan, kenapa nasib kakakku kasihan sekali? Apa benar mereka berdua di takdirkan?" "Hei, apa yang kau katakan!?" Seru Mira kesal. "Jika iya, maka naas sekali nasib kakakku memiliki istri sepertinya kelak. Dan nasibku? Punya kakak ipar seperti dia... astaga, aku tidak bisa membayangkannya lagi." Galuh terkekeh puas dibuat Billy, sementara Mira masih melotot dengan mata bulatnya. "Akan aku laporkan pada Dika." "Silahkan saja. Tapi di rumah, pangkat militer masih berlaku walau liburan. Lagi pula, kau kan mantan, Mir! Bukan kekasihnya!" "Hei!!! Billy!!! Akan kubunuh kau!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD