***
Arka mendengus sebal saat mengingat reaksi Tisha ketika mendengarnya tak sengaja menyebut nama Andini. Arka tahu Tisha pasti telah berpikir semaunya sekarang. Namun, Arka tidak peduli. Biar saja sekretarisnya itu berpikir bahwa ia memiliki seorang kekasih. Kan, Andini memang kekasihnya, cintanya, istrinya meskipun telah tiada.
Masalahnya adalah Tisha ini mengabaikan keberadaannya sejak mendengar ia menyebut nama Andini. Arka merasakan, sungguh. Biasanya Tisha akan meliriknya terang-terangan kala pekerjaannya sudah beres. Tisha juga kadang tidak segan datang menggodanya. Kalau ia menegur, Tisha akan meminta maaf. Lalu kembali ke mejanya. Selalu seperti itu yang Tisha lakukan.
Arka menggelengkan kepalanya. Melupakan sikap sekretarisnya itu, Arka beranjak dari duduknya. Sudah dirinya katakan hari ini adalah harinya Andini dan Nakira. Sejenak meninggalkan urusan perkantoran adalah apa yang Arka inginkan sekarang. Tentu setelah semua urusannya bersama Andini dan Nakira, Arka akan kembali berkutat dengan berkas-berkas ini.
“Tisha!” panggil Arka. Ia tahu Natisha pura-pura tidak menyadari pergerakannya. Benar-benar merajuk rupanya Tisha ini. “Saya akan meninggalkan kantor hingga sore. Kamu langsung pulang saja nanti kalau semua pekerjaan sudah selesai,” ucapnya.
Tisha berdiri dengan cepat. Ia terkejut tentu saja. Akan menjadi berita menyenangkan bila hari ini tidak ada jadwal meeting dengan klien manapun. Namun, jadwal Arka sangat padat hingga sore nanti. “Tapi, Pak, gimana sama meeting hari ini?” tanyanya.
Tck!
Arka berdecak sebal. “Itu tugasmu untuk mengurus semuanya. Yakinkan klien untuk mengatur ulang jadwal meeting!” ujarnya.
Astaga!
Tisha yakin Arka tahu betapa sulutnya melakukan itu.
“Memangnya Bapak mau ke mana? Apa urusan Bapak lebih mendesak daripada urusan meeting hari ini, Pak? Bapak kan tahu berapa besar kerugian kalau sampai klien nggak mau mengatur ulang jadwal meeting!” ujar Tisha mencoba menahan kekesalannya. Bagaimana tidak kesal? Tadi pagi bos galaknya ini memporakporandakan perasaannya hanya karena perempuan bernama Andini. Demi apa hal itu sempat mengganggu konsentrasinya meskipun ia berusaha untuk melupakannya dan bersikap professional.
Namun, Tisha merasa usahanya sia-sia karena sekarang Arka justru meninggalkan kantor.
“Bapak nggak bisa seenaknya. Masa dibatalin gitu aja sih, Pak? Bapak pasti mau bertemu dengan perempuan bernama Andini itu, kan? Gimana sih Pak! Masa perempuan itu lebih penting dari meeting.”
Sebuah kesalahan baru saja Tisha lakukan tanpa ia sadari. Pantang bagi Arka nama istrinya tercinta dibawa-bawa. Tentu saja Andini lebih penting dari pekerjaannya saat ini. Andini adalah istrinya, Ibu dari putrinya tercinta.
“Diam kamu! Kerjakan saja apa yang saya suruh.”
Tisha menutup mulutnya rapat-rapat. Arka keterlaluan lagi kali ini. Maksud hatinya kan baik. Ia hanya ingin Arka lebih memikirkan pekerjaan ini daripada perempuan yang bernama Andini itu.
“Kamu nggak usah ikut campur pada urusan pribadi saya, Tisha! Yakinkan saja klien kita agar mengatur ulang jadwal meeting, paham?” bentak Arka kepada Tisha. Mau tak mau Tisha menganggukkan kepalanya.
“Kalau sampai kamu gagal, kamu akan saya pecat!” ujar Arka.
Sial!
Tisha meneriaki Arka di dalam hatinya. Arka selalu saja mencari masalah padanya. Tisha yakin Arka sedang memanfaatkan situasi ini untuk memecatnya lagi. Benar-benar menyebalkan lelaki di depannya ini.
“Baik, Pak. Saya akan berusaha meyakinkan klien,” balas Tisha dengan suara tegasnya. Sudahlah, meskipun hati Tisha sakit karena sikap Arka, tetapi dirinya telah menjadi b***k cinta. Arka tidak bisa membuatnya marah karena ia mencintai lelaki itu.
“Hati-hati di jalan, Pak! Sampaikan salam saya pada perempuan bernama Andini itu,” ucap Tisha ketika langkah kaki Arka menuju pintu keluar ruangannya. Arka masih bisa mendengar titipan salam itu. Tangannya mengepal karena Tisha tidak tahu apa-apa tentangnya. Andini telah lama tiada, dan Tisha menuduh Andini yang tidak-tidak.
***
Sepeninggalan Arka, Tisha sibuk menghubungi klien. Ia mencoba meyakinkan klien agar bersedia memberi Arka waktu di lain hari.
Beberapa beres olehnya, tetapi ada satu klien yang menolak mentah-mentah permintaannya. Klien ini cukup berpengaruh. Tisha ingin menangis rasanya, tetapi ia tidak boleh menitikkan air mata sekarang juga. Apapun yang terjadi ia harus mendapatkan jadwal meeting yang baru.
Tisha meninggalkan kantornya, lalu menuju kantor kliennya. Tisha nekat menemui secara langsung. Kalau perlu, ia rela memohon karena Tisha tidak ingin dipecat oleh Arka. Lagi pula proyek ini sangat penting. Bisa-bisa perusahaan mengalami kerugian besar kalau sampai klien membatalkan kerjasama.
“Semoga bisa!” harap Tisha sembari ia menyetir mobilnya. Jalanan cukup padat sekarang. Ia terpaksa menurunkan kecepatan mobilnya karena tak ingin terjadi apa-apa padanya.
“Jangan sampai Pak Arka pecat aku,” Tisha kembali bergumam, semoga usahanya ini tidak sia-sia. Semoga ia bisa meyakinkan klien mereka.
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Arka tengah berdiri tepat di sebelah makam istrinya. Andini Larasati. Perempuan yang dulu membuatnya jatuh cinta setengah mati, lalu ia nikahi itu telah lama terbujur kaku di tempat peristirahatan terakhirnya. Arka menyayangkan semuanya. Namun, ia tidak bisa berlarut dalam kesedihan karena ada Nakira di sisinya.
Gadis kecil hadiah terakhir yang Andini berikan kepadanya itu membutuhkan kasih sayang dan perhatiannya. Nakira membutuhkan kewarasannya untuk tumbuh menjadi seorang gadis dewasa.
“Andini, kita bertemu lagi, Sayang. Kamu apa kabar?” Arka berjongkok di depan makam istrinya itu. “Maaf ya aku nggak bisa bawa Nakira ke sini. Aku nggak mau dia lihat kesedihanku, Sayang,” ucapnya.
Belum pernah Arka mengajak Nakira ke makam Andini sejak Nakira lahir ke dunia. Seperti yang dirinya katakan, ia takut Nakira melihat kesedihannya. Sebab, ketika berada sangat dekat dengan Andini seperti ini, Arka merasa ia tak bisa menghalau kesedihannya. Batu nisan Andini membuatnya sadar bahwa istrinya itu memang telah lama meninggalkannya, lalu kerapuhan tak sanggup ia tahan karena kenyataan itu.
“Kamu tahu Andini? Hari ini perasaanku benar-benar kacau. Menuju ke sini tadi aku sempat memarahi sekretarisku. Dia bilang titip salam padamu,” kekeh Arka. “Padahal kan kamu sudah nggak ada. Nggak bisa terima salam itu,” lirihnya.
Tiba-tiba Arka berdecak kesal. “Maafkan aku, Sayang. Aku nggak ada maksud bawa-bawa perempuan itu ke sini. Aku Cuma mau kamu tahu kalau aku sangat membencinya,” ucapnya.
Terkadang Arka bagai lelaki tidak waras bila bersikap seperti itu. Untuk apa meminta maaf pada Andini? Tak mungkin Andini marah misal Arka ingin menggantikan posisinya dengan perempuan lain. Kenapa Arka harus memupuk benci seperti itu? Kenapa Arka harus merasa bersalah sedemikian rupa.
Jika Andini masih hidup mungkin ia akan menyadari bahwa hati Arka telah tergerak oleh sekretarisnya meskipun Arka keras kepala mengatakan bahwa ia membenci perempuan itu.
Dan, jika Andini masih hidup, ia akan menghapus air mata putus asa yang sedang membasahi pipi Arka saat ini. Lelaki yang biasanya tegas itu tampak sangat lemah. Setiap tahun sejak Andini tiada, Arka selalu seperti ini. Menangis sendirian di samping pusara.
“Nggak seharusnya aku nangis, Andini. Kamu sudah tenang di sana, tapi semua berat Andini. Terlebih hari ini aku juga harus mengucapkan selamat ulang tahun untuk putri kita,”
“Dia tumbuh dengan cepat. Mirip sekali denganmu, Sayang. Cantik dan menawan,” Arka mengusap air matanya. Senyumnya terbit di antara banyaknya kesedihan. Sungguh, Arka tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, tetapi hatinya terlalu rapuh kala mengingat kembali saat-saat Andini mengembuskan napas terakhirnya. Hal itu menyiksa Arka.
“Kamu pasti senang melihatnya dari sana kan, Sayang? Nakira juga pandai sekali. Aku bangga padanya meskipun ia tumbuh tanpa kehadiranmu,”
Lama Arka terdiam setelah mengatakan itu. Kesadarannya perlahan benar-benar pulih saat memandang batu nisan Andini. Benar, istrinya telah lama meninggalkannya. Namun, ia tak juga bisa beranjak dari rasa sedih ini. Bukan tak ingin merelakan Andini, tetapi Arka benar-benar tidak tahu cara merelakannya. Jika bisa, ia ingin berada di sisi Andini selamanya.
Tanpa terasa air mata Arka kembali menggenang. Ia hapus perlahan. Matanya terpejam mengingat kebersamaannya bersama Andini bertahun lalu. Arka mengangguk lemah. Ia tak harus melupakan semua itu. Kenangannya sungguh berharga.
Kembali Arka membuka mata. Ia usah batu nisan Andini, lalu diciumnya penuh perasaan. Didoakannya dalam diam, semoga istrinya tercinta berada di sisi terbaik Tuhan. Setelah itu, Arka pun meninggalkan pemakaman. Ia harus bertemu Nakira sekarang juga. Dirinya membutuhkan pelukan dari putri semata wayangnya itu.
.
.
To be continued.