OMSD-5 √

1055 Words
*** Sebelas Desember adalah hari di mana Nakira pertama kali lahir ke dunia. Bayi merah itu membuat Arka bahagia sekaligus sedih hatinya karena di hari yang sama Andini meninggal dunia. Tak habis sedih Arka dan penyesalannya karena tak bisa melakukan apa-apa, sebab Nakira akan tumbuh tanpa didampingi seorang Ibu di sisinya. Kini Nakira Agdijaya telah tumbuh menjadi gadis kecil yang lucu. Ia hari ini berusia tepat Lima tahun. Betapa Arka bersyukur akan kehadirannya. Setidaknya Nakira bisa membuatnya tetap waras setelah kehilangan Andini untuk selama-lamanya. Arka mengembuskan napas berat kala ingatan tentang perginya Andini dan lahirnya Nakira akan selamanya mendampingi hingga ia mati nanti. Namun, sekali lagi Arka tidak bisa larut dalam kesedihan. Hari ini gadis kecilnya ulang tahun dan seperti biasa ia akan merayakan peringatan hari lahir putrinya itu bersama-sama. Kue dengan karakter favorit Nakira yaitu Princess snow white sudah ia pesan sejak jauh-jauh hari. Kue tersebut datang bersamaan dengan dirinya yang juga sudah membeli sebuah hadiah untuk Nakira. Seperti tahun sebelumnya, tahun ini pun Nakira menyambutnya dengan wajah yang gembira. “Papa!” Panggilannya yang manja pun terdengar di telinga Arka. Wajah murung harus segera ia singkirkan. Hanya aka nada senyum yang menghiasi hari ini. Seperti itu yang ia lakukan setiap kali merayakan ulang tahun Nakira. “Halo Sayang. Kamu sudah mandi?” tanya Arka. Waktu memang sudah menunjukkan pukul Enam sore. Lama juga Arka berada di luar ternyata. Nakira kecil mengangguk antusias. Ia meminta Arka menggendongnya ke dalam. Arka mengerti. Arka meminta asisten rumah tangganya membawakan kue beserta hadiah ulang tahun untuk Nakira ke dalam rumah. Dengan patuh asisten rumah tangganya itu menuruti. “Siapa di dalam, Bi?” Bukan tanpa alasan Arka bertanya. Ada yang dirinya tunggu setiap kali merayakan ulang tahun Andini. Bibi menggeleng pelan. Kesedihan juga tampak di wajah tua asisten rumah tangganya itu. Melihat Bibi bersikap demikian, membuat Arka sadar kali ini pun harapannya tidak berguna. Ibu mertua dan ayah mertuanya tak juga menampakan batang hidung hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk Nakira. Alasannya masih sama. Mereka masih menyalahkannya atas meninggalkan Andini, putri mereka satu-satunya. Arka menghela napasnya berat. Lagi-lagi ia tersenyum dengan penuh keterpaksaan. Digendongnya Nakira, lalu dibawanya gadis kecilnya tercinta masuk ke rumah. Benar saja, tidak ada siapa-siapa di ruang tamu rumahnya. Hanya ada pengasuh Nakira yang tengah sibuk menata ruangan. Ulang tahun kali ini pun akan menjadi ulang tahun yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Hanya ada dirinya, Bibi, pengasuh dan Nakira sendiri. Tidak ada Nenek dan Kakek Nakira dari pihak Andini. Sedangkan dari pihaknya tentu tidak bisa diharapkan karena ia sudah lama hidup sebatang kara. Tidak apa-apa. Arka selalu meyakinkan dirinya untuk mengatakan hal itu. Sungguh ini bukan masalah baginya. Nakira juga tidak banyak bertanya karena mungkin Nakira sudah terbiasa merasayakan ulang tahunnya seperti ini. “Papa bawa hadiah apa untuk Nakira?” tanya Nakira dengan bahasa balitanya. Nakira belum terlalu pandai menyebut huruf R. Arka teralihkan begitu mendengar suara putrinya bertanya. Arka mendudukkan Nakira di kursi ruang tamu. “Rahasia!” ujarnya tanpa meninggikan suara. Pupil mata Nakira membesar. Ia penasaran pada apa yang papanya rahasiakan. Sesuatu yang luar biasa pasti akan papanya berikan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Papanya selalu memberinya sesuatu yang bermanfaat. Nakira selalu suka hadiah dari Arka. Tak pernah sekalipun ia mengeluhkannya. Menurutnya Arka selalu tahu apa yang inginkan. Nakira bertanya-tanya apakah sekarang papanya juga tahu apa yang paling dirinya inginkan? Jika benar, maka Nakira akan sangat bahagia. “Papa mandi dulu ya, Sayang. Setelah itu kita rayain pesta ulang tahun kamu,” ucap Arka mengalihkan isi pikiran Nakira dari apa yang akan Arka berikan padanya hari ini. Nakira mengangguk penuh semangat. “Papa yang bersih ya mandinya!” balasnya mengiyakan. Arka tersenyum menanggapi balasan itu. Nakira yang cantik selalu berhasil membuat Arka tak lagi memaksakan senyumnya. Arka mengecup lembut dahi peri kecilnya itu. “Tungguin Papa di sini, okay?” katanya. Sekali lagi Nakira menganggukkan kepala. Lalu setelah itu, Arka meninggalkan ruang tamu untuk membersihkan diri. Sebisa mungkin Arka tidak menangis lagi. Ia harus tegar sebagai seorang lelaki dan Ayah bagi Nakira. Tidak bisa dirinya menunjukkan kesedihan di depan putrinya tercinta. Sementara itu, di waktu yang sama, Audi Natisha tengah ketakutan setengah mati. Pasalnya ia telah gagal meyakinkan klien untuk mengatur ulang jadwal meeting. Tisha merasa kepalanya berdenyut nyeri berkali-kali. Kini ia berada di kantor meski waktu pulang sudah berlalu sejak beberapa jam yang lalu. Dirinya tidak sendiri. Ia di temani oleh Tania, resepsionis kantor yang kala itu pernah memberitahunya mengenai keberadaan Arka. “Jadi kamu akan dipecat karena gagal yakinin klien, Tis?” Pertanyaan Tania dibalas anggukkan kepala oleh Tisha. Napasnya berkali-kali berembus berat. Akhirnya Arka menemukan alasan untuk memecatnya. Benar-benar sialan Arka ini. Sekarang Tisha berpikir apakah ia harus meminta bantuan ayahnya atau tidak? “Tisha aku punya ide!” ujar Tania. Tisha seolah terbangun dari keterpurukannya. “Ide apa, Tan?” tanyanya. “Gimana kalau kamu tungguin Pak Arka sampai balik lagi ke sini? Aku Ingat setiap tahun Pak Arka selalu lembur di hari dan tanggal seperti ini, Tis. Nanti kamu minta maaf, kalau perlu kamu mohon-mohon sama dia untuk nggak mecat kamu. Bilang aja kamu punya hutang besar dan harus biayain rumah sakit orang tuamu,” Tisha ternganga mendengar ide Tania. Haruskah ia membawa-bawa orang tuanya sekarang? Tapi, lebih baik begini kan daripada ia meminta bantuan ayahnya? Lagi pula dengan mengikutsertakan nama ayahnya seperti yang Tania katakan, juga sudah menjadi sebuah pertolongan. “Kamu yakin ide ini akan berhasil, Tan? Kita kan tahu seberapa kerasnya Pak bos,” Tania meringis. Sebenarnya tidak terlalu yakin. “Daripada pasrah?” ucapnya balik bertanya. Tania benar. Tisha tak bisa tinggal diam dan menunggu pemecatan dirinya. Apapun yang terjadi ia harus bertahan di tempat ini. Bukan apa-apa, Tisha hanya tidak tega bila Arka bekerja sendirian tanpanya. Tisha sangat pengertian sebenarnya, tetapi Arka saja yang tidak bersyukur akan kehadirannya. “Kamu benar, Tan! Nggak apa-apa deh aku mohon-mohon sama Pak bos. Demi cinta,” kekeh Tisha. Sudah Tania duga. Tisha bertahan di sisi Arka karena cinta. Mana mungkin karena uang. Tania lihat Tisha tidak kekurangan apapun. “Semangat ya Tisha. Aku pulang duluan nggak apa-apa, kan?” Tisha mengangguk singkat. “Makasih ya Tan, kamu hati-hati di jalan,” ucapnya. Tania pulang, dan kini Natisha sendirian. Perempuan itu sedang mengarang kira-kira apa kata-kata yang harus ia ucapkan ketika Pak Arka kembali ke kantor lagi nanti. . . To be continued. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD