= = = = = Tiara = = = = =
Jadi, divisi kami merupakan divisi ekspor impor. Kegiatan terkait ekspor dan impor memiliki proses yang sangat panjang dan rumit, ada banyak biaya yang juga timbul dan harus dibayarkan. Hal tersebut tidak bisa diatasi oleh bagian finance yang mengerjakan tugas umum, sehingga mengharuskan adanya bagian finance yang mengurus pembayaran khusus ekspor dan impor. Maka, karena itu lah Fitri dihadirkan di ruangan yang tidak seberapa besar ini.
“Kak Tiara sakit apa emang?” tanya Nisa, staff termuda di ruangan ini, yang membuatku bisa menjadi senior karena memiliki anak baru. Tapi karena masih baru, pekerjaan Nisa belum bisa membantu Devon seutuhnya saat kemarin aku tidak masuk.
“Tipes nih, Nis.” Jawaban singkat dan jelas, serta penyakit yang umum di derita oleh para pekerja. Jadi, aku memilih untuk menggunakan penyakit tersebut agar tidak panjang ceritanya.
“Istri bos kok tipes, malu maluin Alex lo!” Devon lagi lagi membahas suamiku.
“Yang bos bapaknya ya! Alex mah sama aja karyawan kayak kita.” Aku mengonfirmasi perihal kedudukan Alex di kantornya yang juga sama sama karyawan, meski jabatannya memang bukan karyawan biasa sih. Tapi perusahaan keluarganya itu masih merintis kok, gak sebesar perusahaan grup yang kalian bayangkan. Jadi, tentu saja aku tidak sewow Nia Ramadhani atau Sandra Dewi, aku hanya wanita biasa yang beruntung menikah dengan anak orang yang cukup kaya.
Sebentar, barusan aku bilang beruntung? Aku akan meralat lagi, aku hanya wanita biasa yang terpaksa menikah dengan anak orang yang cukup kaya, karena aku juga tidak memiliki pilihan lain, sebab aku juga tidak tau pilihanku seperti apa. Terdengar jahat kan? Aku sudah biasa dikatakan demikian sejak aku dan Alex berpacaran sekian tahun lamanya, sematan kata jahat seolah tak pernah terlepas dari diriku.
“Lo pepet Bu Anggri aja, Dev. Gitu-gitu bos juga kan.” Fitri memberi usul pada Devon, untuk mendekati manager mereka.
Mendengar nama tersebut, Devon justru malah bergidik ngeri. “Gak deh, apaan. Namanya aja udah Anggri, gue yakin seumur idupnya, Bu Anggri tuh kerjaannya angry mulu. Bisa gila gue kalo jadi sama dia.” Devon segera menolak usul Fitri dengan menggeleng keras, mengingat betapa galaknya Bu Anggri dalam urusan pekerjaan, saking galaknya atasannya itu, bahkan tidak ada yang berani untuk beramah tamah saat jam istirahat untuk mengajak atasan kami itu makan siang bersama.
Padahal, di divisi lain, manajer dan para staff biasa tampak akrab dan bisa bercanda. Hanya di divisi ini yang manajernya tampak horor dan tidak ada yang berani mendekati. Umur Bu Anggri juga tak terlalu jauh dari Devon, sepertinya mereka kelahiran di tahun yang sama, atau mungkin masih seangkatan. Sayangnya, Bu Anggri lebih kompeten sehingga bisa menjadi manajer duluan. Sementar Devon saat ini masih berstatus sebagai asisten manajer. Mungkin, cowok itu menunggu Bu Anggri lengser terlebih dahulu untuk bisa menjabat sebagai manajer.
“Fit, katanya ada marketing baru yang duduk di situ?” Tanyaku mengingat informasi yang aku ketahui bahwa marketing tersebut memiliki jadwal masuk saat aku sakit kemarin. Iya sakit, mari kita sepakati kemarin aku sakit, sebelum semakin panjang urusan kebohonganku dan menjadikan hal tersebut terkuak ke muka publik.
Aku segera mengalihkan pembicaraan dari Bu Anggri kepada pembahasan perihal marketing baru tersebut, lebih menggugah selera juga, dan lebih aman tentunya. Bahaya juga kan, jika kita sedang membicarakan atasan, eh ternyata atasannya datang begitu saja. Bisa di amuk berminggu minggu dan berpotendsi di omeli tiap hari. Tolong garis bawahi hal ini, memiliki bos cewek bukan lah berita baik. Sebab bubos akan bekerja sesuai mood. Bayangkan saat Bu Anggri datang bulan, di jamin angry sepanjang hari.
Fitri mengangguk menyahuti ucapanku, sambil meminum s**u putihnya, minuman rutin yang di minum wanita itu setiap pagi. Fitri memang selalu sarapan dengan secangkir s**u dan roti sobek yang sering ia beli di minimarket bawah, saking aku rajin dan perhatian, aku sampai hafal dengan hal hal kecil semacam itu.
Kalo Devon, cowok itu gak pernah sarapan. Devon hanya minum kopi hitam yang malas ia buat sendiri, jadi lebih sering meminta bantuan office boy untuk membuat kopi. Namun Devon memang rajin memberikan tips pada OB karena memang cowok itu paling rajin menyuruh nyuruh.
Aku juga ingat saat baru masuk kantor ini, meski Devon tergolong asik, dia memang senioritas sekali dalam hal menyuruh nyuruh. Saat OB tidak masuk, aku lah yang kebagian tugas di suruh oleh sang senior satu itu. Dari mulai membuat kopi, meminta dokumen ke ruangan lain, membeli jajan di luar, dan segudang aktivitas tidak penting lainnya. Aku yang dulu masih polos dan menurut saja, melakukan segala sesuatunya dengan ceria dan tersenyum lebar meski aku sedang ditindas oleh senior tak berperi kemanusiaan macam Devon ini.
Sekarang, jangan harap dia bisa menyuruhku lagi. Aku sudah bekerja nyaris lima tahun, jadi aku sudah bukan dedek dedek yang mudah di tindas lagi. Terlebih Devon mulai respect padaku sejak aku menikah dengan Alex. Dia seolah takjub menyaksikan harta dan tahta suamiku yang bahkan aku tak tau jumlahnya berapa.
Sudah ku katakan, aku kan tidak peduli dengan hal itu. Toh aku tidak bahagia bahagia amat dengan hidup bermandikan uang mertua.
“Iya, Ra. Duduk di sebelah gue nih, depan lo. Cowok, ganteng gila!” Kata Fitri berseru dengan antusias, mendeskripsikan perihal marketing baru yang duduk tepat di depanku. Fitri memang paling semangat dalam membahas anak baru cowok yang terlihat good looking, meski wanita itu juga sudah memiliki tunangan.