- 4 -

1116 Words
= = = = = Tiara = = = = = Yaa aku juga masih menyukai makhluk ganteng sih, gapapa juga kan, emang enak buat di pandang tapi gak ngarep buat dimiliki juga gitu. Semacam penyegaran mata aja. Enak juga kalo ucapan Fitri benar, mengingat si marketing baru duduk di depan mejaku. Betapa semangatnya aku bekerja sambil melihat pemandangan makhluk ganteng yang rapi dan wangi. Meski aku belum melihatnya, aku yakin si marketing ini rapi dan wangi. Tidak berantakan seperti Devon yang memang jarang menemui orang luar. Marekting kan banyak berhubungan dengan orang luar, sehingga syarat untuk menempati bagian tersebut memang mutlak, good looking, rapi, berpenampilan menarik, wangi ya sudah pasti meski tidak tertulis. Ya masa lagi bertemu klien harus mencium bau tak sedap dari si marketing sih, yang ada klien tersebut malah gak jadi melakukan kerja sama dengan kantor kami. Jadi, bayangkan akan ada makhluk ganteng yang menghantarkan semerbak harum mewangi duduk di depan mejaku. Sungguh akan menjadi aroma surgawi bukan. Aku jadi tak sabar ingin melihat rupa si marketing baru itu, setelah sekian tahun hanya terjebak di ruangan ini dan melihat wajah Devon sebagai satu satunya lelaki di ruang ini, akhirnya aku bisa melihat wajah baru yang lebih fresh. “Umur berapa, Fit? Masih muda? Baru lulus?” tanyaku yang penasaran sehingga mengajukan tiga pertanyaan sekaligus pada Fitri, kini suaraku terdengar antusias khas ibu ibu komplek yang disuguhkan gosip pagi. Padahal di komplek sendiri, aku tidak terlalu gemar bergosip. Ya habis, yang digosipkan anak tetangga yang tidak sopan lah, si ibu anu yang suaminya selingkuh lah, gosip yang aku maksud di sini kan tidak berkonotasi buruk. Hanya sekadar menggoda dan mengisi kekosongan, tanpa ada unsur menjelek jelekan atau menyakiti pihak lain. “Seumuran lo deh, Ra. Kayaknya angkatannya juga sama kayak lo.” Fitri menyahut lagi menanggapi pertanyaanku, kali ini roti sobek yang ia makan sudah nyaris habis, membuat wanita itu mulai melakukan aktivitas sarapannya sambil memeriksa email yang masuk. “Yah, kirain brondong.” Aku mengeluh pelan, sejak menikah sepertinya aku lebih menyukai wajah fresh daun muda ketimbang cowok cowok yang seusiaku. Terlebih Alex juga lebih tua beberapa tahun dariku, dan aku sudah melihat wajahnya sekian tahun lamanya mengingat kita memang pacaran selama itu. “Heh! Kerja ya! Kerja! Lo udah sakit seminggu, balik balik malah gosip!” Devon mengomel lagi, tapi mulai menyepakati bahwa alasanku tidak masuk kemarin adalah sakit. Memang pesona steik luar biasa, berhasil meruntuhkan mulut Devon yang terkadang j*****m. “Ini juga kan sambil kerja, lo mending pake henset deh, Dev biar gak usah denger girls talk gini. Gak bisa ikutan kan lo? Mau mengakui ganteng takut dikira belok.” Aku menyahuti Devon, seraya menunjuk komputer yang ada di depanku serta jariku yang tengah menari nari indah untuk mengatur laporan impor minggu ini. Padahal kan pekerjaan ini bisa dilakukan sambil berbincang sesekali, memamg dasar Devon saja yang iri karena sepertinya merasa tersaingi di ruangan ini. “Pinjem henset dong, Ra.” Devon mengadahkan tangannya seraya ingin meminjam earphone dariku. Halah bisa sekali modus om om ini, ternyata malah mau pinjam earphone. Padahal, Devon itu beli earphone nyaris tiap minggu, tapi ya hilang terus. Aku sampai heran melihatnya, dulu sekali, cowok itu masih suka membeli earphone dengan brand yang lumayan mahal karena kualitasnya memang oke juga kan. Tapi sejak menyadari tabiatnya yang gemar menghilangkan benda kecil itu, Devon akhirnya membeli earphone yang murahan saja karena sakknv rutinnya. Dan memang benar kan, earphone tersebut hilang selalu. Aku merogoh tas untuk mencari keberadaan earphone yang memang aku bawa. Setelah menemukan benda kecil tersebut, aku pun menyodorkannya pada Devon. “Tuh! Langsung balikin kalo udah selesai pake, kalo ilang, gue mogok kerja! Kan gue udah kaya.” Aku mengibaskan rambut dengan gaya sok, membenarkan ucapan Devon yang sering menyebutku demikian. “Sombong bener istri penguasa PIK.” Devon berdecak sambil menerima earphone yang aku berikan, lalu segera memasangnya pada komputer yang menyambungkan spotify milik cowok itu. Aku hanya mendengus mendengar Devon mengatakan bahwa Alex adalah penguasa PIK, hanya karena semata kantor keluarganya berlokasi di kawasan elit itu. Padahal, PIK kan masih kalah jauh jika dibandingkan Sudirman. Tapi yang aku dengar dengar juga dari Alex, keluarganya sudah mulai merencanakan untuk melebarkan bisnisnya semakin besar, dengan ingin menyewa lantai di salah satu gedung yang ada di pusat distriknya Jakarta ini. Jika kabar tersebut sampai ke telinga Devon, aku pasti semakin di hebohkan saja. Gara gara Devon, nyaris semua karyawan tahu bahwa suamiku kaya raya. Dan aku benci mendengarnya. Sebagian besar seolah mengolok olok diriku yang masih memutuskan untuk bekerja di sini, alih alih menjadi nyonya besar di istana megah. Ada lagi yang bertanya, mengapa aku tidak masuk ke perusahaan papa mertua yang sedang berkembang pesat itu, padahal kan aku memang tidak mau. Memang apa salahnya menjadi biasa saja sih? Aku mau biasa saja, menjadi karyawan seperti ini, menikmati hari hari dengan haha hihi bersaama rekan kerja tanpa takut harus di pelototi mertua jika ada kerjaan yang salah. Aku akhirnya merasakan, menjadi istri dari lelaki dari keluarga yang bisa dikatakan sangat cukup - aku tidak menganggap keluarga Alex sekaya itu kok, usaha mereka itu masih merintis juga, jadi gak sewow perusahaan grup besar yang bahkan sahamnya sudah dibuka untuk publik. Tidak seperti itu. Aku nyaris menangis menjelaskan hal ini pada semua orang setiap kali mereka menganggap suamiku turunan sultan. “Btw, nama marketing baru siapa, Fit?”  tanyaku mengembalikan pembicaraan tentang marketing baru itu lagi, yang seingatku Fitri belum menyebutkan namanya. Sesekali mataku mengarah pada monitor dan berkas berkas yang ada di hadapanku. Tangan bekerja, begitu pun dengan mulut dan telinga yang tak luput turut beraktivitas. Ini lah mengapa aku menyukai pekerjaanku saat ini, alih alih bekerja di perusahaan keluarga Alex - yang sejujurnya memang aku juga ditawarkan sih untuk bekerja di sana, tapi tentu saja aku tolak dengan halus lantaran aku mengatakan jenjang karir di sini lebih bagus dan aku menyukai pekerjaan ini - padahal jenjang karir di sini gak bagus bagus amat. “Rendi, tar lo kenalan deh biar gak penasaran. Tapi lebih kaya suami lo lah pokoknya.” Aku tidak menghiraukan ucapan Fitri yang kembali membahas Alex dan kekayaannya. Kini fokusku tertuju pada sebuah nama yang baru saja disebutkan Fitri. Tanganku seketika berhenti melakukan aktivitas, tatapanku juga mendadak kosong. Nama itu. Aku pernah mengenalnya, meski aku tahu ada sekian juta nama Rendi di muka bumi ini. Tapi mendengar nama itu lagi, membuat ingatanku mendadak terlempar pada satu sosok pemilik nama tersebut, yang pernah membuat perasaanku seperti dipermalukan. “Setan kecil! Woy! Kok lo bengong sih!” Suara Devon sukses membuyarkan lamunanku, tangan cowok itu menepuk bahuku yang tadi mendadak kaku. Kini aku seperti orang kebingungan yang baru mendapatkan kesadarannya, yang segera menoleh ke asal suara yaitu milik Devon. “Ya, Dev? Kenapa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD