- 5 -

799 Words
= = = = = Tiara = = = = = “Cariin rate sama schedule buat minggu depan. Sebelum makan siang, udah email ke gue.” Devon memberikan perintah pekerjaan padaku. “Oh. Iya. Oke.” Aku yang masih setengah sadar hanya mengangguk dan mengikuti perintahnya. Padahal, dalam kondisi normal aku pasti akan memprotes. Mencari rate dan schedule mana cukup dilakukan setengah hari, ia tidak tahu rasanya mengirim email ke pelayaran dan forwarder, susahnya setengah mampus. Di telpon seharian saja belum tentu di angkat. Namun, mengingat kondisiku kini sedang kebingungan karena nama yang tadi disebutkan. Sialan! Aku tidak peduli dengan nama berengsek itu. Aku tidak boleh begini, kasihan si marketing baru yang nanti tidak berdosa tapi malah aku sensiin lantaran kesamaan nama dengan seseorang yang pernah ku kenal. Dulu sekali. Dulu sekali. Yang seharusnya sudah aku lupakan, tapi nama dan perasaan perih itu masih terbayang hingga detik ini, seolah tidak pernah bisa lepas dari kehidupanku yang sudah bergulir jauh dari hari itu. Sang empunya nama juga sudah menghilang, memilih pergi menjauh dan tidak akan menampakan batang hidungnya lagi di hadapanku. Entah di sengaja atau tidak, sebab jika memang ia masih terlihat di hadapanku, mungkin aku yang akan memilih menghindar karena tak kuasa menahan rasa sesak dan marah sekaligus. Aku mengerang kesal. Tidak seharusnya bukan, aku masih bersikap seperti ini, di saat statusku saja sudah menjadi istri orang. Namun, kalian paham tentang patah hati terdalam kan? Nama itu membuatku merasakan patah hati paling dalam untuk hubungan yang bahkan tak pernah di mulai. Nama itu membuatku merasakan patah hati terdalam karena perasaan yang bahkan tak pernah terungkapkan. Nama itu sukses membuatku merasakan patah hati yang sangat dalam, untuk hal macam apa pun yang tak pernah tercetuskan. “Pagi.” Sebuah suara lelaki membuat lamunanku tersadar lagi. Ah! Si marketing baru itu sudah datang, aku buru buru mengesampingkan segala pikiranku, membuang jauh jauh bayangan nama Rendi dengan sosok tersebut. Semoga marketing ini bisa memperbaiki citra nama tersebut di benak ku, sehingga tak lagi diliputi perasaan benci dan marah, karena rasa putus asa tentang sakit hati yang kian terlarut dan tak kunjung reda. “Eh, gue gak tau kalo Tiara udah masuk. Cuma beli kopi empat.” Suara itu terdengar lagi, bahkan dengan akrab menyebut namaku. Pasti selama aku tidak masuk, namaku sudah sering di sebut sebut di ruangan ini sehingga si marketing baru ini sudah mengetahui namaku. Aku sendiri saat ini masih menunduk, dengan soknya memfokuskan diri pada tumpukan dokumen yang memang harus dikerjakan, tapi tidak se-urgent itu juga. Aku hanya sedang mempersiapkan diri, sebab kini perasaanku mulai tidak enak. Suara itu. Kira kira, ada berapa juta umat yang memiliki kesamaan suara di muka bumi ini? Ada banyak kan? Aku sering mengira salah sangka saat mengenali suara orang. Mungkin saat ini juga begitu, si marketing baru yang bernama sama dengan Rendi, mungkin juga meiliki suara yang sama bukan? Sebisa mungkin aku berusaha membuat pikiranku tenang, mengisinya dengan hal hal positif dan batnahan bahwa Rendi yang menjadi marketing baru di ruangan ini, bukan Rendi teman kuliahnya dulu. Aku terus merapalkan doa dalam hati, sekuat tenaga, agar doaku di ijabah yang maha kuasa. Tuhan, kali ini aku berdoa dengan sungguh sungguh. Tolong kabulkan kali ini saja, aku tidak mau berurusan lagi dengan Rendi, apa lagi bertemu setiap hari. “Punya gue kasih nih setan aja, Ren. Gue udah seduh kopi.” Devon menyahuti ucapan Rendi seraya menunjuk diriku yang masih menunduk dan enggan mengangkat kepala, karena khawatir ketakutanku menjadi nyata. “Ra, katanya mau kenalan sama marketing baru.” Suara Fitri sukses membuatku mau tak mau mengangkat kepala, secara perlahan aku pun mulai melihat pada sosok marketing baru bernama Rendi yang memiliki suara mirip dengan Rendi teman kuliahku dul- Shit! Aku terus mengerang dalam hati, saat lidahku kini tampak kelu. Mataku tak berkedip sedikit pun saat menangkap sosok Rendi yang kini tengah berdiri di hadapanku, sambil tersenyum pelan, lalu menyodorkan segelas kopi yang ia beli dari coffe shop yang ada di lantai dasar. Aku masih terdiam, anggota tubuhku seolah merespon keterkejutanku saat ini, segalanya mendadak kaku. Aku masih terpaku menatap sosok yang sudah lama tak terlintas di pandanganku. Jika jantung bisa merosot sampai lambung, mungkin hal itu sudah terjadi padaku sekarang. Aku sungguh tak mampu mendefiniskan bagaimana perasaanku saat ini. Kalut. Sepertinya kata itu yang lebih tepat. Bagaimana bisa Rendi harus bekerja bersamaku? Menempati meja di hadapanku? Selama lebih dari delapan jam perharinya, aku harus menghirup udara yang sama dengan Rendi. Cowok yang pernah aku cintai setulus hati, lalu meremukan seluruh harapku hingga tak bersisa. Melihat senyumnya, aku justru ingin melempar kopi panas yang ia sodorkan padaku itu, aku benci melihat senyumnya. Mengapa ia tersenyum padaku seperti ini? Bagaimana bisa ia tersenyum. Padaku. Aku perjelas lagi, padaku, Tiara, yang pernah dihempaskan oleh cowok itu tanpa ampun, ketika aku tak berpegangan pada apa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD