- 6 -

761 Words
= = = = = Tiara = = = = = Kalian bisa membayangkan bagaimana jatuhnya aku dulu? Segalanya terasa gelap. Sakit. Segalanya mendadak hilang arah, hingga aku kesulitan untuk sekadar melangkah. Sikap Rendi saat itu, terlalu kejam dan tanpa peringatan. Emosiku yang saat itu belum stabil, jelas kesulitan untuk menerima semua itu dalam sekejap. “Ra, ini ya.” Rendi tak lagi menyodorkan kopi itu kepadaku, tapi memilih untuk menaruhnya di meja kerjaku. Sementara aku masih tampak seperti orang kebingungan saat bersitatap dengan Rendi kembali. Hal yang paling menyebalkan, mungkin saja Rendi sudah tau sebelumnya bahwa Tiara yang menempati meja ini adalah aku. Iya! Aku! Ia pasti sudah mengetahui hal itu dan mengantisipasinya terlebih dahulu, sehingga tidak terlihat terkejut sama sekali. Cowok itu tampak santai, seolah kami memang sewajarnya rekan kerja yang tak pernah terjadi apa apa. “Ra! Woi! Inget suami kaya, ampe ngeces gitu liatin Rendi.” Devon sialan! Lagi lagi ia menyinggung Alex. Rendi sudah pasti tahu tentang pernikahanku, tanpa diberitahu Devon, cowok itu jelas tahu dari teman teman kami semasa kuliah. Kami masih berhubungan dengan baik, aku dan mereka, juga mereka dan Rendi. Bahkan kami sering main bersama, tapi tak pernah sekali pun aku berhadapan lagi dengan Rendi sebelum hari ini. Kami - aku dan Rendi - jelas saling menegathui betapa kami saling menghindar. Rendi selama ini berada di luar kota, jika berada di Jakarta dan berkumpul dengan teman teman kami, jelas aku tidak akan ikut. Saat pernikahanku, Rendi cukup tahu diri dan tidak bertanya lebih lanjut saat aku mengirim foto undangan di grup genk kami dulu. Aku bahkan bersyukur Rendi tidak datang. Moodku bisa hancur dalam sekejap jika menangkap bayangan itu di hari pernikahanku. “Bacot!” Aku mengomel pada Devon, lalu menyambut kopi yang diberikan Rendi. “Thanks, Ren,” ucapku sekadar basa basi. Mataku kini menangkap Rendi yang membalas ucapanku dengan senyumannya. Sial! Berhenti tersenyum seperti ini, aku ingin melemparnya dengan komputer yang masih menyala ini. Lalu cowok itu duduk di bangkunya, tepatnya di depan mejaku. Aku yakin, pasti di jaman majapahit aku membelot pada Hayam Wuruk, hingga aku bisa bernasib sedemikian buruk. Jika memang begitu, aku lebih rela kembali ke jaman majapahit dan bersujud di kaki Hayam Wuruk ketimbang harus kembali berurusan dengan Rendi. “Apa kabar, Ra?” Sapaan Rendi sukses membuat semua mata yang ada di ruangan menoleh ke arah kami. Aku menelan ludahku yang terasa keras, suara Rendi terdengar rendah, tapi terasa lembut untuk masuk ke telinga. Aku benci mengingat diriku baru saja mengatakan lembut yang berarti bahwa telingaku menikmati. “Baik. Lo gimana? Kok bisa masuk sini, gue kira lo masih rantau.” Aku menyahuti ucapannya, berusaha terdengar tenang. Padahal jantungku berdetak kencang sekali, seolah meronta untuk keluar. Sebagian hatiku justru terasa perih, seolah tidak sanggup dengan kenyataan ini. “Iya, dua minggu lalu gue balik ke Jakarta. Kontrak di sana udah abis, terus dapet penawaran di sini. Gak taunya lo juga kerja di sini ya. Sori ya, gue gak tau.” Ucapan Rendi membuat perasaanku semakin sesak. Bahkan setelah cowok itu meminta maaf karena ketidak tahuannya, aku seolah enggan menerima. Rasanya masih berat untukku melihatnya dalam radius kurang dari tiga meter seperti ini. “Kalian udah kenal?” Tanya Fitri yang kebingungan, saat mendengar interaksi kami yang memang menyiratkan sebagai kawanan lama yang baru saja bertemu. Aku mengangguk pelan menyahuti ucapan Fitri. “Temen kuliah gue, Fit.” “Adem banget mata lo empat tahun dapet pemandangan liat Rendi, Ra.” Mulut Fitri memang j*****m, menjijikan, gak tau malu. Bisa bisanya dia ngomong seperti itu langsung di depan Rendi. Aku tak menyahuti ucapan genitnya itu, hanya nyengir pelan lalu melanjutkan pekerjaanku. Energiku seolah terkuras oleh interaksi singkat, namun terasa berat. Aku enggan untuk banyak bicara lagi dan memilih untuk fokus dengan pekerjaanku yang menurut Devon sangat banyak ini. Kali ini aku akan menuruti atasanku satu ini, dan tidak banyak tingkah dalam menjalani sisa hari ini. Namun, meski hari ini berhasil terlewati, bukan kah hari esok aku akan tetap bertemu Rendi? Lalu keesokan harinya, dan esokan harinya lagi. Membayangkan hari hari yang dipenuhi oleh kehadiran cowok itu di dekatku lagi, mendadak kepalaku serasa berdenyut. Sepertinya aku sakit betulan kali ini. Dadaku kini terasa seperti diremas. Aku tidak sanggup harus berinteraksi lagi dengan Rendi, terlebih sebagai rekan kerja, seolah tidak pernah ada hal menyakitkan yang pernah terjadi. * * * * * * * * * * * * K I S A H   Y A N G   T E R L A M B A T * * * * * * * * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD