- 7 -

900 Words
= = = = = Rendi = = = = =   Enam tahun lamanya aku meninggalkan kota ini, dengan alasan mendapatkan penawaran kerja yang lebih baik di luar kota. Meski sebagian besar tidak ada yang percaya, terutama teman temanku. Mereka semua seolah tahu alasanku lebih memilih pergi meninggalkan Jakarta, meski saat itu aku sudah diterima di salah satu perusahaan BUMN bersama Rehan, salah satu teman kuliahku. Tentu bukan tanpa alasan aku berlari hingga sejauh itu. Ada hal yang ingin aku hindari, ada sesuatu yang tak ingin aku siksa lebih jauh lagi karena kehadiranku. Karena satu malam yang membuatku harus menghancurkan setitik harap yang bahkan tidak pernah menuntut untuk di sambut, segalanya menjadi tidak nyaman. Tiara. Aku tersenyum getir saat mendengar nama rekan kerja di kantor baruku ini. Terlebih saat aku melihat foto yang ada di mejanya. Tidak salah, ini Tiara teman kuliahku dulu. Orang yang sama dengan yang menjadi alasanku berlari keluar dari Jakarta, demi menciptakan ruang yang lebih nyaman untuknya. Sebab aku pun tak kuasa melihat tatapannya yang frustrasi setiap kali menangkap keberadaanku. Aku tahu, sikapku dulu memang sangat jahat pada Tiara. Aku sangat paham, hingga aku memilih, aku lah yang pergi. Meski Tiara tidak menganggap demikian, di mata Tiara, aku pergi hanya untuk menyusul pacarku yang saat itu memang berada di kota tersebut. Meski itu juga menjadi salah satu alasannya, tapi alasan utamaku saat meninggalkan Jakarta dulu, sungguh karena aku juga yang tidak nyaman setiap kali melihat Tiara. Pagi ini, akhirnya aku kembali bertemu dengan Tiara, setelah selama enam tahun kami memutus kontak meski berada dalam satu lingkup pertemanan. Bahkan, kami berada di satu grup chat yang sama meski tak pernah saling bertegur sapa. Aku akhirnya memberanikan diri mengambil kesempatan bekerja di Jakarta, yang tepatnya lagi di kantor yang sama dengan wanita itu, bahkan dalam divisi yang sama. Entah kebetulan macam apa yang mengharuskanku lagi lagi berhubungan dengan Tiara. Namun, kali ini aku tak lagi lari. Sebab, yang aku ketahui Tiara surah menikah. Sudah enam tahun sejak kejadian itu, bukan kah seharusnya Tiara sudah tidak menganggap hal itu berarti? Wanita itu sudah menikah lebih dulu, itu tandanya, sakit hatinya sudah selesai bukan? Jujur, aku merasa sangat lega saat mendengar pernikahan Tiara. Akhirnya, wanita itu memiliki pasangan hidup yang mungkin saja sudah mengobati rasa sakitnya karena ulahku dulu. Aku bersyukur saat melihat Tiara tersenyum bahagia, melihat foto foto pernikahan wanita itu, dan melihat betapa tatapan suami Tiara menyiratkan bahwa pria itu memang menyayangi Tiara setulus hatinya. Aku sangat bersyukur. Sebab hal tersebut tak pernah mampu aku berikan untuk Tiara. Jadi, karena alasan alasan itu lah aku yakin untuk kembali menetap di Jakarta. Tetap bertahan di kantor ini meski itu artinya harus berhubungan lagi dengan Tiara. Bukan kah seharusnya sudah tidak apa apa? Tiara sudah menikah, tidak mungkin ia masih menyukaiku seperti masa kuliah dulu. Perasaan itu seharusnya sudah lenyap, terkubur bersama laranganku malam itu, yang pernah melarang Tiara untuk menyukaiku. Berengsek bukan? Aku bahkan tidak tega melihat Tiara yang tak mampu menahan tangisnya yang pecah malam itu juga, di acara liburan perpisahan masa kuliah kami yang memang hanya dihadiri oleh teman teman kami. Kini, Sosok Tiara kembali terpampang nyata di hadapanku. Duduk di depan mejaku, tampak serius berkutat dengan dokumen dan komputer. Aku tidak tahu rutinitas seperti apa yang dijalani Tiara saat bekerja, tapi sepanjang aku melihat, wanita itu tidak menoleh ke arah mana pun selain layar monitor dan kertas kertas di mejanya. Entah Tiara yang segitu fokusnya, atau dia memang masih tidak nyaman dengan kehadiranku. “Kemana, Ra?” Suara Devon terdengar bertanya pada Tiara, saat melihat wanita itu beranjak dari tempat duduknya. Rekan Tiara yang satu itu memang terbilang cukup akrab dengan Tiara. Aku yang juga tengah berkutat dengan pekerjaanku, dapat mendengar interaksi mereka yang memang berada di depanku. “Toilet. Ikut gak?” Tiara menyahut sambil meledek. Aku tersenyum pelan. Rupanya kini Tiara sudah tidak canggung berteman dengan lawan jenis. Dulu, Tiara hanya mau berinteraksi dengan Chaca dan Lila. Kini, wanita itu sudah bisa bersikap lebih santai seiring pendewasaan dirinya. “Balik seduhin pop mie ya, gue laper.” Devon terdengar memberikan perintah pada Tiara yang secara struktural memamg bawahan Devon. Aku dapat melihat Sorot mata Tiara yang memprotes perintah Devon. “Gak boleh makan di jam kerja ya Pak Devon, gue laporin Bu Anggri, di angry lo!” “Bu Anggri lagi meeting ke luar, g****k! Dah cepetan bikinin, atau surat dokter lo gue sobek sobek nih.” Devon menyahut lagi dengan nadanya yang tidak bisa rendah dan cendrung memgomel saat berbicara dengan Tiara, meski tidak bermaksud untuk mengomel. Memang begitu nada bicara Devon, mereka seolah sudah memahami satu sama lain. Tiara pun berlalu dari ruangan ini untuk pergi ke toilet, sementara aku berusaha untuk kembali pada pekerjaanku. Namun, baru juga beberapa langkah Tiara pergi, Fitri; Devon, dan Nisa yang ikut ikutan segera menatap ke arahku dengan pandangan menyelidik. Aku sampai bergidik melihat sikap mereka yang bisa berubah sedemikian cepat, padahal beberapa menit lalu tampak baik baik saja. “Ren, cepet ngaku, lo mantannya Tiara ya?” Fitri membuka pertanyaan terlebih dahulu, menuduhkn menjadi mantan Tiara. Aku buru buru menggeleng untuk menyahuti ucapan Fitri, aku tidak percaya atmosfer kecanggungan di antara aku dan Tiara sukses mengundang tanda tanya besar para penghuni ruangan ini. “Bukan kok, temen kuliah.” Aku berusaha memberikan jawaban yang memang begitu adanya. “Kok Tiara kayak shock gitu liat lo?” Kini gentian, Devon yang tampak tidak percaya dengan jawabanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD