#2

1268 Words
Semua barang telah dikemas, para pekerja melangkah lunglai meninggalkan workshop. Para-para mekanik yang berjumlah ratusan itu keluar bagai segerombolan semuat yang keluar sarang. Mereka berhamburan keluar Gedung kemudian memenuhi trotoar jalanan di pinggiran kota Roctur yang berdebu pekat. Di jalanan, Jonathan menatap mobil-mobil militer yang berlalu Lalang. Seperti sedang bersiap untuk perang, semua armada beroperasi 24 jam. Mereka bukan dalam misi melindungi kota Roctur dari ancaman bahaya. Tapi sedang melindungi aktifitas para petinggi negeri dari amukan massa. Ya! Mereka yang ada di pucuk pimpinan sedang kerakusan. Tak segan-segan mengeruk hasil alam kemudian mereka makan sendiri hasilnya bersama koloni. Korupsi bukan lagi hal yang tabu, tapi mereka pada penguasa melakukannya secara terang-terangan. Masyarakat makin terpuruk, tidak ada yang peduli. Pintar menjilat adalah cara terbaik untuk tetap hidup. Kali ini jalanan terdengar oleh suara raungan sirine mobil pemadam kebakaran. Terdengar kabar bahwa departemen ini lah yang paling sibuk belakangan. Pabrik-pabrik banyak yang terbakar. Juga area tambang acap klai meledak. Kejadian ini tentu membuat para investor tamak yang bekerja dengan pemerintah merugi banyak. Seperti ada doa masyarakat yang dikabulkan Tuhan, Semua orang ingin aktifitas pengrusakan alam itu dihentikan agar Kota Roctur tidak lagi seperti neraka. Jonathan berjalan di trotoar yang dipenuhi sampah. Dia menutup hidung dari bau busuk dari tumpukan sampah yang tidak pernah dibersihkan petugas. Selain bau, dia juga melindungi paru-parunya dari debu yang beterbangan. Truck-truck besar berlalu Lalang menyisakan debu yang memerihkan mata. Di atas badan trick terdapat hasil galian tambang-tambang yang semakin besar di ujung sana tak jauh dari pabrik tempat Jonathan bekerja tadi. Entah apa yang mereka cari hingga harus dalam menggali. Tidak ada yang tahu. Tindak tanduk pemerintah seperti rahasia. Pekerjaan mereka tersembunyi tanpa mampu diendus media. Area tambang itu lah yang paling meresahkan. Hutan di bagian timur kota itu sudah gundul. Ceruk-ceruk menganga di sana. Robot-robot pekerja setinggi 100 kaki tak henti mencabut pohon dan menggali tanah. Mengeruk segala isi perut bumi tanpa kasian dan tanpa ampun. Menurut Jonathan yang hanya orang awam, tidak akan butuh waktu lama untuk mengirimkan karma pada mereka yang tamak-tamak itu termasuk para penguasa. Setelah berjalan sekitar 50 Meter, kini Jonathan tiba di ujung gang. Dia berbelok ke arah kiri pertigaan di mana terdapat halte bus di sana. Tidak sampai 5 menit menunggu, sebuah bus berwarna biru tua berhenti tepat di depannya. Laki-laki itu masuk ke bus, kemudian mendapati beberapa penumpang yang terduduk lesu di beberapa kursi. Wajah lesu adalah wajah keseharian warga Kota Roctur. Jonathan sudah terbiasa dengan itu. Di bangku paling belakang, dia menghenyakkan p****t. Menerawang menembus jendela untuk menatap Gedung-gedung kusam Kota Roctur yang semakin lusuh. Debu-debu tebal menempel di semua dinding. Udara berpolusi. Asap hitam kendaraan mengepul-ngepul memenuhi jalanan karena menggunakan bensin berkualitas buruk. Kau perlu tahu bagaimana sisi-sisi jalanan di Kota Roctur. Gedung-gedung kusam tak terawat menjulang di langit yang berkabut pekat. Gedung-gedung kosong bercoretkan mural. Dihuni para pengemis dan tuna wisma yang kelaparan. Meski ini sudah 2055, tidak ada yang berubah. Justru semua semakin memburuk. Planet Bumi semakin tak karuan semenjak resesi. Bencana alam kerap terjadi dalam tiga dekade belakangan. Para penguasa diam-diam menjalankan proyek rahasia. Bumi dikeruk kemudian material itu dipindahkan entah kemana. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang mampu mengendus. Hanya sorakan amarah yang terus menggaung-gaung di seluruh penjuru kota. Persis seperti apa yang Jonathan saksikan saat ini dari dalam bus. Ratusan orang-orang memadati jalan. Membuat gerak laju bus terhambat. Ratusan manusia turun ke jalan membawa umbul-umbul protes. Demonstrasi itu tak pernah berhenti dan tak pernah mendapat titik temu. Mereka tidak pernah digubris. Apa yang mereka proteskan semakin menjadi. Para penguasa tetap kalap dengan misinya untuk mengobrak-abrik isi bumi. “Renee!” Jonathan tersentak dari lamunan. Dia teringat pesan dari Renee pagi tadi. Perempuan yang sangat dicintainya itu akan ikut berdemo hari ini. Saat tersentak, tubuhnya pun terhempas ke depan. Bus yang ditumpanginya mendadak berhenti secara mendadak. Terdengar suara driver dari depan berteriak. “Saya tidak bisa melewati jalur biasa, alun-alun penuh sesak,” ucap supir bus dari depan. Mendengar itu, Jonathan bangkit dari tempat duduk. “Saya berhenti di sini,” ucapnya sambil melompat keluar bus dan bergabung dengan rombongan manusia yang berjalan mengarah ke alun-alun. Langkah kakinya tersendat-sendat. Jalanan teramat padat. Orang-orang berdesakan. Suara-suara riuh dan mengumpat menyeruak ke langit terik berkabut Kota Roctur siang itu. Jonathan merasakan kegerahan yang tak nyaman, namun langkahnya harus dipercepat untuk mencari Renee. Laki-laki itu, terus saja digerayangi firasat buruk. Dia takut Renee dalam bahaya. Setelah berjalan di dalam kerumunan, sampailah dia di alun-alun. Laki-laki itu tersenyum lebar saat melihat Rennee tengah berdiri di atas spodium. Perempuan itu sedang memimpin orasi. Suaranya yang paling lantang. Renee teramat bernyali menyuarakan kebenaran. Jonathan memilih berhenti sejenak. Menyimak apa yang disampaian Renne dengan senyum bangga. Semua orang melakukan hal yang sama saat sampai di alun-alun. Semua mata tertuju pada gadis berambut keemasan itu. Tubuh mungilnya dibalut kemeja cokelat kotak-kotak. Kepalanya terikat kain bertuliskan “Tumbangkan Rezim Lak*nat”. “Dia calon istriku,” ucap Jonathan dengan bangga pada seorang pria tambun berkumis yang berdiri di sampingnya. Pria itu menoleh dengan heran ke arah Jonathan yang tidak dikenalnya. “Jika dia calon istrimu. Sebaiknya kau minta dia cepat turun sebelum kau tidak jadi menikah dengannya.” Pria asing itu berkata dengan nada satir. “Kenapa begitu?” tanya Jonathan tidak mengerti maksud Si Pria asing. “Kau lihat di sudut-sudut sana!” Si Pria asing menunjuk sudut-sudut alun-alun. Juga menunjuk sisi jendela di beberapa gedung-gedung tinggi yang mengelilingi alun-alun. Jonathan dapat melihat beberapa orang pria berpakaian serba hitam dengan penutup wajah sedang memegang senjata laras panjang. Senjata itu mengarah ke podium. “Siapa mereka?” tanya Jonathan dengan wajah tegang. “Polisi!” “Tapi mereka tidak akan menembaki para pendemo, kan?” tanya Jonathan lagi. SI Pria asing mengedikkan bahu. Dia juga tidak tahu apa yang akan terjaid pada demonstrasi kali ini. Jonathan kembali memandang ke arah podium di mana ada Rennee di sana sedang berorasi. Wajahnya yang semula bangga kini berubah takut. Takut jika terjadi kekacauan yang Renne menjadi korban. Laki-laki itu tidak mau tinggal diam. Dia mencoba menerobos kerumunan. Mencari cara agar bisa mencapai podium dan meminta Renne untuk turun. Ketika berjalan mendekat, tiba-tiba, terdengar suara dentuman keras yang berasal dari mana. Dentuman itu kemudian disusul oleh suara tembakan bertubi-tubi. Suara teriakan saling sahut. Gemuruh langkah kaki berkecamuk dari orang-orang yang diserang panik. Demonstrasi yang damai kini berubah menjadi kacau dan berkecamuk. Asap putih mengepul menutup pandangan mata. Jonathan merasakan perih yang teramat sangat di bola matanya saat terkena gas air mata. Dengan pandangan mata buram, dia melangkah cepat menuju podium untuk mencari Rennee. Sekilas, terlihat di sekelilingnya, orang-orang mulai baku hantam. Jonathan melihat seorang pria muda berkulit hitam tersungkur setelah dipukuli secara membabi buta oleh petugas yang berseragam hitam. Disusul pemandangan lain, seorang pria terjungkal setelah timah panas menembus dadanya. Darah memuncrat ke jalanan. Suara tangis pecah di antara gemuruh kekacauan. Dalam pemandangan yang buram, Jonathan dalam melihat orang-orang berlarian tak tentu arah. Ada yang tersungkur kemudian tubuhnya terinjak-injak. Ada juga yang menajdi bulan-bulanan para petugas. Dipukul hingga babak belur. Tidak banyak yang mampu melawan. Karena petugas tak segan-segan menembakkan peluru dari senjata mesin ke arah para demonstran. Kekacuan makin menjadi. demonstrasi dibubarkan dengan paksa. Dan nyawa pendemo tidak ada harganya. Jonathan terus berlari menembus kerumunan. Tubuhnya beberapa kali terjungkal karena didorong oleh tubuh-tubuh lain yang berkecamuk. Pukulan nyasar dari petugas juga menyentuh pundaknya hingga dia terhuyung. Namun Jonathan terus bertahan. Dia harus segera menemukan Rennee sebelum hal buruk terjadi. Setiba di podium, Jonathan terkulai lemah. Dia melihat Rennee terlentang kaku dengan d**a berlubang bersimbah darah. Pemandangan itu membuat dunia Jonathan runtuh. Air matanya mengalir deras di tengah kecamuk demonstrasi siang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD