EPISODE 3|| Pak Supir & Cowok Bisu

1441 Words
Sebagian orang yang mengenalku mengatakan aku ini tomboi hanya karena aku lebih nyaman memakai celana untuk dikenakan daripada rok, hanya karena kaos terasa lebih simpel daripada kemeja. Masalah pakaian saja, mereka mengambil pusing. Memang pemikiran orang itu kadang aneh. Berbeda sedikit saja dari perempuan kebanyakan, presepsi orang-orang langsung berbeda. Aku harus jadi seperti apa yang mereka sarankan, meskipun tak ada tuntutan. Tapi, telingaku terasa panas. Hampir setiap hari mendengar kalimat yang sama. Kadang aku berpikir … Apakah mereka pernah berpikir bahwa perkataan mereka seperti belati yang melukai kepercayaan diri seseorang? Aku tidak mau berbohong. Aku pernah malu memakai pakaian tomboi saat di luar rumah, tetapi aku merasa nyaman. Siapa yang mau hidup dalam sebuah aturan? Lagi pula, aku juga sesekali memakai rok ataupun dress. Hanya masalah kenyamanan pada waktu tertentu. Tidak mau menjadi sosok yang bukan diriku. Sekarang, pakaianku juga sesuatu yang aku sukai. Masa bodoh dengan mulut orang-orang. Memangnya kenapa aku harus mendengarkan? Celana Jins Highwaist dan kaos polo bewarna ivory menjadi outfit yang kukenakan menuju rumah Om Ranjaya. Alas kakinya, tidak perlu bagus hanya sepasang sneakers putih bekas Mbak Nirna. Kebetulan itu sepatunya saat dia usia 22 tahun masih ada setelah 4 tahun berlalu. Cuaca yang pas untuk pakaianku. Warna yang cukup senada dengan langit biru tanpa gangguan awan. Pakaian yang kukenakan ini hanya sebagai bentuk kamufalse dari seorang gembel di rumah. Ada tujuan tersembunyi mengapa aku berdandan serapi ini ke rumah Om Ranjaya. Heh! Bukan! Kalian jangan berpikir aku menyukai Om Ranjaya! Astaga … aku tidak seperti itu. Tidak seperti karakter cerita yang sedang kutulis. Huft …, aku sedang membuat tulisan dan menyebalkan karena aku terjebak dipenyusunan karakternya. Tujuan aku memakai pakaian ini adalah …. Memikat lawan jenis? Bisa kukatakan seperti itu. Siapa yang bisa menebak di jalanan ada laki-laki keren, tampan yang tertarik denganku? Walaupun sebenarnya aku risih jika diperhatikan oleh orang yang tidak kukenal. Tidak suka menjadi pusat perhatian. Sembari melihat ke kanan-kiri, pemandangan kota cukup menarik saat pagi hari. Nanti siang hari rasanya seperti ingin teriak, polusi udara di mana-mana. Matahari menyengat, belum lagi bau asap kendaraan yang tercampur dengan bau-bau keringat kehidupan. Termasuk keringatku …. Seluruh bangunan membingkai di sepanjang jalan. Pengendara mulai memenuhi aspal. Baik yang beroda empat, dua ataupun tak beroda. Yang jalan kaki, maksudnya. Hanya butuh sepuluh menit aku berada di jalan raya. Sekarang, motor metik merah muda yang kutunggai sedang menyusuri jalanan kompleks perumahan Om Ranjaya. Jujur saja, matahari mulai sedikit naik. Kulitku mulai terbakar, bodoh karena tidak memakai jaket. Tiba-tiba motor metik ini harus berhenti karena mobil Pick Up putih melintang di jalanan. Aku berdecak pelan. “Ngapain menuhin jalanan, sih!” geramku, meremas stang motor. Mobil itu penuh oleh barang. Jika dilihat-lihat lagi, seseorang sedang pindahan dan mobil itu harus segera memposiskan dirinya agar barang-barang yang dibawanya mudah untuk diturunkan. Oh benar, ada seorang pria tinggi sedang berdiri di depan teras rumah, membantu supir memposisikan mobilnya. Supir itu sedikit menyebalkan. Dia tidak jelas akan kemana. Ketika aku maju, mobil itu mundur sehingga jalanku kembali tertutup dan ketika aku berhenti, mobil itu juga berhenti. Aku menghela napas kasar. “Ini mobil mau kemana, sih?” kesalku. Aku mendongak, matahari terasa mulai menyengat. Kulitku sudah agak memerah. Menunggu tanpa kepastian saat cuaca seterik ini itu tidak bagus untuk kesehatan mental. Bagaimana jika aku malah mengamuk di sini? Belum lagi, helem merah muda di kepalaku ini juga bikin pengap. Kurasa, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tanpa pikir panjang dan tepat ketika mobil putih itu maju memberi celah jalan sempit untuk lewat, kuda besi milik-ku langsung melesat melewatinya. Sayangnya, siang ini hidupku sama menyebalkannya seperti tadi pagi. BRAKK!! "Aduuh!" "ASTAGA! ADA YANG KETABRAK!" Aku sempat mendengar suara itu sebelum semua pemandangan di depanku hilang tergantikan oleh kegelapan. …. "Mas, bagaimana ini? Saya bisa dilaporin ke polisi kalau Adek ini tidak bangun-bangun!” "Tenang saja, Mas. Tidak perlu panik ….” "Bagaimana saya tidak panik, Mas? Ini sudah lima belas menit, Adik ini belum sadar sama sekali. Atau kita hubungi keluarganya saja? Saya mau tanggung jawab kok." "Sabar Mas. Sebentar lagi dia pasti bangun." "Dek bangun dong jangan bikin saya takut!" Suara kepanikan yang syarat akan rasa takut itu samar-samar memenuhi gendang telingaku. Kalau aku tidak salah, ada dua pria di sekitarku. Aku sedang mencoba membuka mata. Erangan pelan keluar dari mulut ketika aku berusaha membuka mata sembari menggerakkan badan. Ada sesuatu seolah memenuhi kepala, rasanya terasa berat, nyeri dan aku juga merasakan sensai perih di beberapa bagian tubuh. Sebelum aku benar-benar sadar, sekelebat peristiwa kembali terputar di benak dan aku langsung mengedarkan mata saat itu juga untuk melihat siapa pelakunya! "Dek, syukurlah sudah bangun!" seru seorang pria yang kurasa adalah supir mobil Pick Up yang menabrak-ku. Wajahnya pucat pasi, keringat membasahi dahinya. Harusnya, aku berada di rumah sakit! Mataku membulat lebar. Tidak terima menjadi korban kecelakaan. “Bapak hati-hati dong kalau bawa mobil! Lain kali lihat ke kaca spion di belakang ada orang atau tidak!” Aku susah payah mengomel, tenagaku belum sepenuhnya terkumpul. Pak supir itu berulang kali meminta maaf. Ketika aku tidak sengaja mengedarkan pandangan, di sebelah Pak supir itu ada seorang pria. “Mas juga, kenapa cuma diam saja waktu saya lewat? Maksud saya, Mas bisa kasih tahu Pak supirnya kan?!” Aku ingat bagaimana mobil itu memelantingkan motor dan tubuhku. Pria itu membungkam mulutnya. Hanya menatapku datar. Sialan! Aku menopang badanku dengan kedua siku, mencoba duduk. Memandangi sekitar lalu menyadari aku tidak berada di rumahku atau bahkan rumah Om Ranjaya. Pak Supir itu berusaha membantuku duduk. "Maafin saya Dek-" "Paper Bag saya mana?!" panik-ku. Menghiraukan Bapak supir yang berusaha meminta maaf atas kesalahannya. "Eh?" Sopir itu kebingungan. Celingak-celinguk. "Paper bag saya mana?! Itu isinya ada benda beharga kalau sampai hilang mati saya!" "Ini paper bagnya." Pria yang tadi diam saja mengulurkan paper bag yang semula isinya adalah radio utuh kini menjadi tak karuan bentuknya. Dadaku terasa semakin sesak, denyutan di kepala sudah tidak bisa ditahan lagi melihat kondisi radio milik Om Ranjaya hampir sudah tak utuh lagi. "Radionya kok rusak?! Kepalaku mendongak untuk menatap pria tinggi berdiri di depanku. Menuntut sebuah jawaban darinya dengan mata mengembun. "Sama terpelantingnya," jawabnya singkat. "Kok bisa??!" Aku membentaknya, wajahku sudah memerah seperti kepiting. "Bukan salah saya." Pria itu mengendikan bahunya. Tidak ada rasa bersalah atau penyesalan di wajahnya. Jujur, sikap pria ini menambah daftar alasan mengapa aku tidak suka pada laki-laki. Maksudku, memang tidak bisa menjadikan satu laki-laki sebagai patokan. Tetapi tetap saja! Tak bisa membayangkan ini terjadi padaku. Ayah pasti akan marah dan paman Ranjaya akan kecewa padaku. "Saya akan mengganti radionnya, Dek." Supir itu berdiri di hadapanku dengan wajah tulusnya. "Bapak kira ini radio biasa? Ini pemberian Nenek saya!" Aku nyolot menyahutinya. "Coba lihat." Pria tinggi tadi mengambil kasar paper bag di tanganku. Apa yang akan dia lihat? Kepingan logam dan plastik yang sudah hancur?! Wajahku sudah tidak terlihat baik-baik saja, pastinya. Siap menangis, bahkan sudah agak terisak. "Ini masih bisa diperbaiki," katanya tiba-tiba. Seolah dia bekerja sebagai tukang service dan bisa memperbaikinya. "Kalau begitu biar saya saja yang bawa ke tukang service, Mas Zayn." Bapak supir mengajak pria yang sepertinya bernama Zayn itu berbicara. Sementara aku menikmati rasa ngilu di setiap tubuhku. Ayah sebenarnya bisa tapi ..., dia belum tentu punya waktu untuk memprbaikinya lagi. Menjadi tukang service elektronik hanyalah pekerjaan selingan ketika dia tak sibuk di kantor. Tapi, akhir-akhir ini dia menjadi sangat sibuk. "Sekalian Adek, saya anterka ke klinik biar lukanya dibersihkan." Bapak supir itu mengulurkan tangannya padaku. Dari bagaimana cara dia bersikap sejak aku tidak sadarkan diri, dan kalimat-kalimat permohonannya, kurasa aku tidak bisa marah begitu saja karena Pak supir sejak tadi tidak mengelak atas kesalahannya. Dan aku baru menyadari bahwa siku dan lengan tanganku terluka sementara astaga ... Celana jins yang kukenakan sampai robek di bagian lututnya sehingga membuatnya luka. Aku menelan air liurku dengan susah payah. Dalam sekejap, tubuhku penuh luka-luka. Padahal, aku sudah berusaha hati-hati. "Ayo Dek?" Suara Bapak bertopi dan berkalung handuk kecil itu menyadarkanku. Aku tidak tega melihat wajahnya, penuh guratan ketakutan dan rasa lelah yang bercampur menjadi satu. "Biar saya saja, Pak," ucap Pria tinggi dengan nada datar. Kurasa, dia memang irit bicara. "Maksudnya, Mas?" "Saya masih butuh jasa Bapak. Barang-barang saya masih harus dimasukan. Biar saya yang urus radio dan Mbak satu ini.” "Ti--tidak perlu. Saya pulang saja." Aku berdiri dengan susah payah, ketika hendak pergi dengan tatapan Pak Supir yang kebingungan. Tiba-tiba pria yang bernama Zayn itu menarik tanganku begitu saja. Aku mengerang karena rasa sakit sekaligus terkejut. Kemudian, tanpa seizinku Zayn membawaku ke suatu ruangan. “Sa—saya pulang aja!” ucapku syarat akan rasa takut. “Diam!” sahutnya tegas. Eh?! Astaga … kenapa aku malah berurusan dengan seorang pria menyeramkan sepertinya?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD