EPISODE 2|| Dibombardir Jodoh

1374 Words
Saat orang-orang sedang menggeliat di atas ranjang atau mengulas senyum lebar bersemangat menyambut pagi hari yang cerah ini. Aku duduk di balik meja makan dengan pikiran kemana-mana. Kurasa tidak ada hari tanpa masalah. Di kepalaku hanya ada masalah-masalah. Terutama perkataan Susanti tentang orientasi seksualku. Setelah hari itu, aku memikirkan tentang perkataan Susanti. Aku bukan pemikir seperti para ilmuan, tetapi aku cukup sering memikirkan perkataan orang tentangku. Bukan satu atau dua lagi yang menganggap aku tidak waras. Entah dari mana berita itu muncul, dari mana mereka menilaiku dan sejak kapan. Yang pasti, berita itu sudah ada sejak aku Sekolah Menengah Atas. Satu, dua teman menanyakan apakah aku punya hubungan khusus dengan adik kelas yang saat itu memang paling cantik menurutku. Aku sering memperhatikannya karena dia memang cantik. Ayolah, apakah di dunia ini sudah kehabisan laki-laki? Kalaupun iya, aku mungkin tidak akan melakukannya. Mereka tidak tahu saja, aku mengidolakan banyak artis pria. Satu-satunya artis perempuan yang kuidolakan hanyalah Blackpink. Hanya karena aku sering membicarakan mereka bukan berarti aku menyimpang! Pagiku selalu sama. Tidak ada alasan mengapa aku harus tersenyum sampai nanti hari berganti lagi. “Narnia, kamu sudah memikirkannya?” Aku baru saja kembali dari mengambil segelas air hangat. Masih berdiri di samping meja makan. Keningku mengerut ketika tatapanku mengarah ke Ibu. Tidak jelas apa yang dikatakan oleh wanita di belakang meja kompor itu. “Apa yang sedang kau bicarakan? Aku tidak bisa berpikir atau harus menebak sepagi ini," jawabku. Menarik kursi dan membiarkan diriku duduk. Kakakku baru saja masuk ke ruangan ini dan langsung berbaur dengan Ibu untuk menyiapkan sarapan kami. Aku harus bersyukur dan berterima kasih kepada Kak Nirna karena memutuskan tinggal di sini selama beberapa minggu. Dia cukup menyelamatkan seorang pemalas sepertiku dari semua tugas rumah. Biasanya aku harus bangun pagi untuk membantu Ibu menyiapkan sarapan, lalu siang hari harus membersihkan rumah. Apakah aku sudah memberitahu kalian bahwa aku adalah pengangguran? Itu kata Ibuku. Aku menganggap diriku sebagai Freelancer. Kak Tama—suami Kak Nirna—sedang ditugaskan bekerja di luar kota. Oleh karena itu, Kak Nirna berada di rumah ini. "Apakah kamu sudah lupa? Soal tawaran Susanti sudah kamu pikirkan? Setahu Ibu, Susanti punya banyak teman lelaki. Mereka juga seusiamu. Kurasa, lebih baik kamu memikirkan tawarannya lagi." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Ibuku. Air minum di mulutku keluar dengan begitu saja muncrat kemana-mana. Aku melirik tajam dua manusia yang tampak biasa saja memberiku pertanyaan semacam itu. Bahkan mereka saja membelakangiku. Seharusnya aku tidak perlu terkejut dan bertanya mengapa Ibu tahu soal tawaran Susanti. Saat pesta kemarin, mereka pasti membicarakanku di belakang. Aku mengelap bibirku yang basah. “Ayolah, apakah harus membahas topik itu di pagi yang cerah ini? Aku tidak butuh laki-laki. Maksudku, untuk saat ini aku sudah bahagia dengan diriku sendiri." Yang jelas, ada ketidakyakinan di dalam nada suaraku. “Apakah kamu sudah yakin? Susanti ingin membantumu," Kak Narnia ikut berkomentar. "Kalau tidak salah itu juga persoalan 3 hari lalu, kan? Kalian yakin akan membahas itu lagi sementara masih banyak pembahasan yang lebih bagus. Misalnya ….” Kak Narnia meletakkan satu mangkuk besar sup dengan asap mengepul di atasnya. “Misalnya, kenapa Ibu masak sup lagi padahal kemarin sudah?!” tukasku, berusaha terlihat kesal agar topik yang awal tadi segera tergantikan. Setelah pernikahan Arnita, keluargaku menjadi sedikit lebih agresif ketika membicarakan soal pria. Telingaku menjadi sangat panas. Sebentar lagi terbakar. Aku mungkin akan kehilangan indra pendengaranku. Kak Nirna menyandarkan satu tangannya di sandaran kursi yang kududuki, menghadap wajahku. "Mengalihkan pembicaraan itu tidak bagus. Sadar tidak? Selama ini Ibu sudah sabar sekali. Kamu harus segera cari calon suami supaya Ibu tidak perlu banyak alasan kalau ditanya tetangga soal kamu." Dia memutuskan kembali bergabung dengan Ibu lagi. Mengapa ini terdengar seperti aku melakukan kesalahan yang tidak bisa ditoleransi lagi? Hanya bisa menatap mereka dengan keterdiaman dan tentu rasa bersalah mulai muncul di hatiku. Kak Nirna memberiku panggilan sayang 'Nyuk' tetapi dia sepertinya tidak menyayangiku karena senang sekali melihatku kesal dan memojokan-ku dengan pembahasan serupa setiap harinya. Aku bosan! Aku sudah muak ditanyai pertanyaan yang sama setiap harinya. "Ibu malu kalau anak perempuannya belum menikah. Sebenarnya itu masih bisa dimaklumi hanya saja kamu tidak pernah membawa laki-laki ke rumah. Tidak pernah didekati dengan laki-laki. Apakah kedengarannya tidak aneh? Ayolah Narnia, jangan membenarkan presepsi orang tentang kamu." Yang kulakukan tetap sama, menunduk dan mendengarnya. Aku bisa apa? Rasa takutku sangat besar. Aku takut kecewa dan sakit hati. "Lain kali, kalian tidak perlu dengarkan perkataan orang-orang. Kalian tahu aku bagaimana kan? Terlebih lagi Bu Inem tetangga depan rumah itu, dia memang suka menyebar gosip sembarangan. Memfitnah orang seenaknya tanpa tahu yang sebenarnya.” Aku hanya punya satu cara yaitu membela diri. Yang kudengar pagi itu hanyalah helaan napas dan decakan kesal dari Ibu serta Kakak-ku. Di sini, rasanya seperti aku yang salah padahal aku tidak melakukan apapun. Aku tahu, aku memang pemilih. Tetapi dalam mencari pasangan, bukankah tidak boleh sembarangan? "Kak Tama punya banyak teman. Dia bisa mengenalkan kamu dengan salah satu dari mereka." Kak Nirna mengatakan itu sembari meletakan lauk yang kesekian kali ke meja. "Aku bukan hanya bahas soal jodoh tapi jiwa sosial kamu yang harus dibangun lagi. Selama ini kamu hanya punya dua teman saja, Kueny sama Tiana dan tidak punya teman laki-laki satupun.” Dia menggeleng beberapa kali. Sekarang, giliran aku yang menghela napas. "Kalian tidak bisa menyalahkanku. Kalian harusnya tidak mendebatkan masalah ini lagi. Bukan salahku kalau tidak punya teman laki-laki sama sekali. Waktu SMP kalian membatasi pergaulanku kan?!” Hampir saja aku memberi pukulan pada meja yang tidak bersalah di hadadapanku ini. Dalihku bukan omong kosong. Salah satu faktor mengapa aku hampir tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis saat SMP adalah mereka melarangku. Mereka memberiku terlalu banyak alasan dan ya, aku harus fokus sekolah. Lihatlah sekarang mereka terdiam. Apa bisa mereka mengelak sementara yang kukatakan benar? "Kalau begitu, kamu kuliah saja. Ibu pusing lihat kamu di rumah tidak melakukan apapun. Kerja tidak mau, disuruh kuliah tidak mau, disuruh cari suami banyak alasan. Kamu menggambar dan nulis saja tidak jelas." Apa yang dikatakan Ibuku sudah termasuk pengusiran secara halus dan harga diriku cukup dicabik-cabik, tetapi masalahnya aku tidak bisa untuk balas marah soal ini karena aku tidak ingin tinggal di jalanan atau bahkan ke rumah suadaraku yang lainnya. "Untuk saat ini memang belum jelas. Tapi, aku sedang berusaha untuk membuat suatu karya. Harusnya Kalian berdua mendukun," rengek-ku hampir menangis. Aku sudah dibombardir habis-habisan pagi ini. Sepertinya, dua perempuan itu mulai mengasihaniku atau mungkin amunisinya disiapkan untuk esok hari lagi. "Ayah dengar dari kamar seperti ada ribut-ribut. Apakah pasar pindah ke sini?” candanya. Seketika dadaku terasa lega. Ruang gerakku menjadi lebih banyak. Ada malaikat penolong di sini. "Seperti yang Ayah dengar. Mereka berdua membahas jodoh terus. Aku tidak bisa ditanyai seputar jodoh terus-menerus," aduku, dengan raut wajah terdzolimi. Tanganku melingkar di lengannya meminta perlindungan. "Yasudah ... nanti juga datang sendiri!" sahutnya, membela diriku, sembari memperbaiki kerah kemeja bewarna biru langit yang pas di badannya. Itulah mengapa Ayahku adalah malaikat penolong. Anggap saja Ibu dan Kakakku itu iblis. Ayah selalu datang di waktu yang tepat. Dia juga selalu berdiri melindungiku, berada di pihakku. Dia pria tersantai yang kukenal. Maksudku santai soal jodoh dan hal-hal seputar itu. Justru akan marah jika aku punya teman lelaki. "Apakah kamu tidak sibuk?" Dia bertanya setelah mengambil duduk di ujung meja. Itu tempat khusus untuk dirinya. Kursi yang lebih besar dari yang lainnya. Ibu dan Kak Nirna juga sudah ikut bergabung. Aku sendirian di sisi meja lainnya. "Tidak terlalu sibuk. Ada apa?" jawabku sembari mulai menyantap sup buatan Ibu yang tak ada tandingannya. Aku ingin memberi pujian seperti biasanya, tetapi aku sedang dalam mode marah. Dia mungkin sudah tahu dari lirikan mataku. "Ayah ingin minta tolong kalau kamu tidak keberatan? Antarkan radionya Om Ranjaya. Sudah Ayah perbaiki, tapi belum punya waktu untuk ke sana dan Om Ranjaya sudah menghubungi Ayah terus. Dia tidak bisa tidur tanpa radio itu, katanya.” Semua tahu itu cuma hiperbola Om Ranjaya saja. Tidak ada alasan untuk menolak perintah Ayahku itu. Tetapi, kemudian aku teringat satu hal. Kalau hari ini aku ke rumah Om Ranjaya … itu berarti aku akan bertemu dengan Arnita dan suaminya? Sampai di sana, orang-orang pasti akan menanyaiku dengan pertanyaan yang sama. Jodoh, pernikahan dan pengantin baru adalah sesuatu yang ingin kuhindari untuk saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD