Pregnant

1760 Words
BRITANIA Raya, London. Haris fokus membaca dokumen yang akan di tanda tangani. Sesekali dia membolak-balik dokumen tersebut. Sejak kejadian 3 bulan lalu, selama itu juga Haris belum ada menjajakkan kaki ke Indonesia. Sakit hati membuat dia tidak mau kembali ke negara itu. Hari-hari selalu Haris habiskan bekerja dan bekerja. Hatinya yang beku semakin beku. Begitu kejam Marya mempermainkan hatinya hanya karena harta dan kekuasaan. Dia sangat benci pada wanita itu. Tiba-tiba pintu ruangannya di ketuk. “Masuk.” Ucap Haris. Pintu di buka, Prison masuk dengan mengembang senyum, “Busy, Bro?” tanyanya. Langkah kaki dibawa menuju sofa, dan duduk di sana. Alamak, melompong hati Prison. Haris tidak menjawab pertanyaannya tadi. Haris! kamu anggap aku ini tidak wujud kah? memang sial kalau punya sepupu seperti Haris. Sifat boss besar mendarah daging, sombong dan dingin. Tidak suka di usik, sudah seperti singa jantan yang di rampas bini plus gila. Ha, lengkap kan? Seperti itu, siapa yang berani? Nanti dia mengaum habis rontok otot-otot dan tinggal tulang-belulang. “Prison, jika tidak ada kepentingan. Lebih baik kamu keluar sebelum aku tendang.” Tu kan. Baru saja di bahas. Itu baru awalan. “Siapa bilang aku tidak ada kepentingan. Hish.. kamu ini memang selalu berburuk sangka sama aku.” “Cepat katakan!” “Apa?” Haris langsung berhenti, dia mengangkat wajah, mata hitamnya tajam menerkam wajah Prison. Prison menelan air liurnya kesat. Alamak seramnya. “Gara-gara Eyang ni,” gumam Prison. Dia mendapat tugas dari Eyang untuk menyelidiki tentang hubungan Haris dengan Marya, karena setelah pernikahan tiga bulan lalu, Eyang merasa pelik dengan hubungan cucu dan cucu menantunya itu. Ada berkabar dari keduanya. Tetapi, ketika Eyang bertanya tentang Haris pada Marya. Marya seolah mengalihkan pembicaraan. Begitupun sebaliknya, ketika Eyang bertanya tentang Marya pada Haris, cucunya itu juga tidak memberi jawaban yang membuatnya puas. So.. Eyang menyuruh Prison untuk menyelidiki. Prison serba salah, karena dia sebenarnya sudah tahu bagaimana cerita hubungan Haris dengan Marya. Jika dia katakan pada Eyang, habis dirinya dibuat Haris. Mau buat cerita, dia juga tidak pandai. Oleh karena itu dia menemui Haris, meminta pendapat pria singa gila ini. “Kamu mau bicara apa bodoh?” pena melayang ke kening Prison. “Aduh, aduh, sakit. Haris kamu bisa tidak tenang sediki, hampir saja rusak wajah tampan aku tahu tidak.” Keningnya di usap. “Prison, aku hitung sampai tiga. Jika kamu masih tidak bicara. Siap aku transfer kamu ke Afrika.” Prison langsung menelan ludah. Afrika? Eyang.. aku tidak mau, nanti hilang handsome cucu Eyang. Kocar-kacir Prison mendekati meja Haris. Ragu-ragu pria itu akan berucap. “Haris, sebenarnya aku mau bicara tentang kamu. Eyang suruh aku...” “Menyelidiki aku dengan wanita itu?” potong Haris, dia menatap Prison dingin. Prison serba salah sekarang. Matilah, hajar saja. Toh sudah di kandang singa gila juga. “Haris sampai kapan kamu akan terus begini? Apakah tidak ada niat untuk mencari kebenarannya?” Serius nada Prison bertanya. Dulu, ketika dia mendengar cerita Haris, entah kenapa dia merasa ada yang salah. Tetapi, singa gila dengan tingkat ego yang melangit ini, tidak mau mendengarkan nasihatnya. Dia takut Haris akan menyesal di kemudian hari. “Cukup! Eyang suruh kamu menyelidik aku dan wanita itukan? Katakan saja pada Eyang hubungan kami baik-baik saja dan mungkin sebentar lagi Eyang akan ada cicit. Sekarang keluar.” Prison terkejut mendengar kalimat Haris. Haruskah membohongi Eyang sejauh itu? Gila kamu Haris. Tapi tunggu! Kenapa Haris berkata demikian? Bermacam-macam yang ada di benak Prison sekarang. “Kamu yakin dengan rencana ini?” “Ya. Sekarang, please go away!” Perlahan Prison mengepalkan tangannya, “Okey. Aku akan keluar. Tapi aku akan menanyakan sesuatu.” “Apa lagi?” Haris yang sudah naik baram, tapi masih mencoba bersabar. Dia mengambil satu dokumen untuk mencari kesibukan. Jika dia biarkan tangannya menganggur, takutnya semua benda akan melayang ke wajah Prison. Prison mengatur napas, “Apa kamu sudah menyentuh Yaya?” tanyanya dengan berani. Berdesing telinga Haris mendengar pertanyaan sepupunya itu. Tangannya berhenti beraktivitas, “What do you mean?” Prison tersengih, “Maksud aku, ehem ehem..” Prison tayangkan wajah gatal. “Apa aku perlu menjawab pertanyaan bodoh kamu itu?” dokumen di tangan melayang ke wajah Prison. Nasib baik tidak komputer yang melayang. Kalau sampai, habis rusak wajah sepupunya yang tak seberapa handsome itu. “Go away now!” Merah padam wajahnya. Prison cepat bangkit dari duduknya. Kucar kacir pria itu keluar. Dia mengurut d**a setelah menutup pintu. Malangnya nasib. Tadi hanya sekedar mengusik saja, siapa sangka singa gila langsung mengaum. Dasar sepupu gila! “Terserah kamu Haris. Jika menyesal nanti, ku pastikan kamu menangis.” Prison pergi dari situ. ***** MARYA melamun memandang bubur dan obat di meja makan. Tidak ada selera untuk makan. Mbak Echa yang biasa bekerja separuh hari, tidak di sangka sudah di suruh Dhara untuk full time hari ini. Marya mengeluh perlahan. Gagal rencananya pergi keluar untuk membeli pregnancy test. Tidak akan diberi izin oleh mbak Echa, karena Dhara sudah berpesan untuk merawat dia dan tetap di rumah. Mau minta tolong juga tidak mungkin. Orang-orang berfikir jika selama ini dia masih lajang. Nanti malah salah paham, orang-orang akan berfikiran dia bukan wanita baik-baik. Tetapi... bagaimana jika dia benaran hamil? Hilanglah marwahnya di depan semua orang. “Arhgh…” Marya tiba-tiba menjerit, kepalanya benar-benar sekarang, “Aku harus bagaimana ini?” keluh Marya. Wajah di usap perlahan. Marya masih sibuk dengan berbagai hal di pikirannya, tiba-tiba mbak Echa datang ke dapur dengan isak tangis. “Yaya, Yaya..” “Ada apa mbak Echa? Kenapa menangis?” Marya bertanya dengan cemas, dia bangkit dari duduknya mencoba menenangkan mbak Echa. “Anak saya, anak saya, Yaya..” “Zul? Kenapa dengan Zul?” “Zul di tabrak motor, Yaya. Gurunya menghubungi Mbak barusan.” Mbak Echa terus menangis. Allah! berdesir darah Marya. Bagaimana tidak, Zul baru berumur 4 tahun. Bagaimana tubuh kecil itu di tabrak motor. Tidak terbayangkan olehnya. “Ayo mbak Echa.” “Kemana?” Mbak Echa mengusap air matanya. “Rumah sakit tengok Zul, Yaya ikut.” Kunci mobil di ambilnya. “Tapi, Yaya tidak sehat. Tidak perlu ikut. Biar Mbak saja yang pergi. Yaya, istirahat di rumah. Mbak minta maaf tidak bisa full time.” “Tidak perlu pikirkan itu. Yaya tidak begitu sakit. Masih sanggup bawa mobil. Mbak Echa jangan bawel. Ayo pergi. Yaya, tidak mau terjadi apa-apa dengan Zul.” Tangan mbak Echa di tariknya keluar. Makanan dan obat belum tersentuh sama sekali di tinggal begitu saja. Mbak Echa pelik dengan tangan Marya yang terasa sangat panas. Memang kepala batu Marya ini. Kalau begini keadaannya masih dipaksa menyetir, bisa-bisa malah mereka sekalian masuk UGD. “Tidak, tidak.. Yaya. Yaya masih tidak sehat. Tidak perlu ikut. Mbak pergi dengan grab saja. Yaya istirahat di rumah, okey. Mbak ingat, bubur dan obat juga belum Yaya sentuh kan? Yaya masuk ke dalam, makan bubur dan obat.” “Hish, kenapa mbak Echa bawel si. Yaya, bilang tidak apa, ya tidak apa-apa.” Muncul Rafka di situ, keningnya langsung melihat Marya dan mbak Echa yang terburu-buru keluar dari rumah. Makin parah kah sakit Marya? Tadi ketika mendengar Marya sakit dari Dhara, jantung terasa mau copot. Tanpa menunggu penjelasan lanjut dari Dhara, dia langsung saja meluncur secepat kilat ke sini. Dengan wajah panik Rafka keluar dari mobilnya. “Yaya, mau kemana? Makin buruk kondisi Yaya mbak Echa?” tanya Rafka yang langsung menghentikan perdebatan dua orang itu. “Eh, nak Raf.” Mbak Echa merasa tertolong. Sementara Marya sudah memasang muka kurang senang, dia sudah dapat menebak mengapa Rafka datang ke sini. “Tidak ada waktu ya Raf. Kita buru-buru. Ayo mbak Echa.” Pintu mobil di bukanya. Mbak Echa sudah memberi isyarat pada Rafka. Cepat Rafka mengerti dan menahan Marya. “Yaya, mau kemana? Aku antar.” Tangan Marya di tariknya. “Yaya, kalau memaksa mau ikut, lebih baik kita pergi dengan mobil nak Rafka saja. Mbak juga tidak yakin Yaya yang menyetir. Nanti malah kita yang masuk UGD. Mbak tidak mau, Mbak mesti jaga anak Mbak.” Tanpa menunggu jawaban Marya, mbak Echa dengan cepat langsung nyelonong masuk ke dalam mobil Rafka. Rafka tersenyum, walau dia belum mengerti apa yang terjadi, tapi senang bisa kerja sama dengan mbak Echa. Marya mengetab bibir karena sudah tidak bisa menahan mbak Echa. Dalam sama yang sama dia juga merasa badannya agak limbung. Mau tidak mau dia juga harus menurut. “Oke, ayo cepetan pergi.” Marya sedikit terhuyung ketika berjalan menuju mobil. “Yaya, bisa jalan sendiri? aku bisa bantu.” perasaan Rafka sudah tidak enak. “Tidak per….” Belum selesai Marya berbicara tubuhnya sudah ambruk. Beruntung Rafka cepat menyambutnya. “Yaya..” Rafka sangat khawatir, Mbak Echa juga sudah keluar dari mobil. Benar-benar kaget melihat Marya yang tiba-tiba ambruk. Tanpa menunggu lama, tubuh Marya di gendong oleh Rafka. Mbak Echa juga langsung membukakan pintu mobil. “Ya Allah, Yaya. Kan Mbak sudah bilang tadi. Kenapa kamu keras kepala sekali, tidak mau makan dan minum obat. Pingsan Kan.” Sesal mbak Echa. Rafka yang sudah khawatir langsung tidak mampu berucap. Setelah membaringkan Marya di kursi belakang, dia langsung masuk dalam mobil. Cepat dia melajukan mobilnya ke rumah sakit. “Yaya.. bertahan ya sayang.” ***** TUBUH Marya yang berbaring lemah di bangsal dipandang sayu. Dunia Rafka seketika terasa berhenti ketika mendengar pernyataan dokter. Marya sedang mengandung 3 bulan, 2 minggu! Rafka merasa tubuhnya seakan tidak bertulang lagi, tidak ada tenaga, matanya sudah memerah. Perlahan pintu ruangan di tarik, tidak kuasa lama-lama di dalam. Hati dan pikirannya juga sibuk beradu argumen. Marya mengandung anak siapa? Kenapa bisa terjadi? Marya di perkosa atau dia salah menilai Marya selama ini? Jika di perkosa, maka terkutuk lah dirinya, karena tidak bisa menjaga wanita yang sangat dia cintai ini. Astaqfirullah… Rafka duduk di kursi yang tersedia di ruang tunggu, napasnya di hela berat. Wajahnya diusap hingga ke belakang rambutnya. Dia menunduk menekur lantai. Cukup lama dia membiarkan pikiran dan hatinya yang serabut. Tiba-tiba dia teringat Dhara. Ya, dia pasti akan mendapatkan jawaban dari Dhara. Rafka mengambil ponsel di balik jasnya. Nomor Dhara diambil dan langsung melakukan panggilan. Jantungnya berdebar hebat, dia menyiapkan hati untuk jawaban dari Dhara. “Halo Raf, bagaimana? apa kamu menemui Yaya di rumah?” suara Dhara tenang dan damai dari gelombang radio. Rafka mengetab bibir menahan emosinya, dia berkata, “Dhara aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Aku harap kamu menjawabku dengan jujur.” Pertanyaan Dhara di biarkan tidak di jawab. “Tanya apa?” Dhara merasa pelik dengan suara Rafka yang serius. Tidak biasanya. “Yaya hamil. Apa yang telah terjadi sebenarnya?” “Apa?” Dhara tidak kalah terkejut. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD