Please, Don't!!!

1768 Words
DHARA melangkah menuju dapur restoran. Dia baru saja kembali dari Jogja. Pulang ke rumah, dia tidak menemukan Marya. Dia sudah dapat mengira dimana sahabatnya itu. “Yaya, sungguh menikmati sekali kau bekerja. Ini sudah jam 22.30, apakah waktu pulang kau juga sudah tidak tahu?” celoteh Dhara sendiri. Marya memutuskan untuk membantu Dhara mengurus restoran. Lebih tepatnya, dia menjadi chef. Dengan kemampuannya memasak, dalam 2 bulan dia sudah ditunjuk sebagai kepala chef team 2. Dan sudah 1 bulan juga dia menjadi kepala chef di sini. Dhara merasa sangat tertolong dengan keberadaan Marya di restorannya, dengan ini dia bisa lebih percaya melepaskan dapur ketika dia tidak ada. Maklum, dia sebagai pemilik memilih untuk ikut mengurus di semua bagian. Jadi terbagi-bagilah badannya untuk mengurus semuanya. Awalnya Dhara meminta Marya untuk menjadi bagian pengelola restoran, Accounting, Manager, atau Marketing. Marya menolak. Dia rasa, dia lebih baik di dapur saja. Lebih aman, dan dia tidak perlu bertemu dengan orang banyak. Berbeda dengan bagian pengelolaan, pasti akan mengharuskan dia bertemu client nantinya. Benar juga, akhirnya Dhara setuju. Pintu dapur dibuka. Ya Tuhan... Dhara menggeleng kepala melihat Marya yang sedang berdiri di depan wastafel cuci piring. Tangan tampak bekerja, tapi pikiran entah kemana. Sudah ke langit ke tujuh mungkin. Atau sedang mengkhayal sedang berdansa dengan Kim Woo Bin sang pujaan hati si Tuan Putri Yaya. Pakai gaun terurai super wah, sexy jangan lupa. Belah menampakkan paha putih gebu, ditambah jurang d**a biar lebih hot. Kim Woo Bin pakai tuxedo mewah elegan bak pangeran. Apalagi mata tajam abang Kim Woo Bin yang memabukkan. Alamak.. mati terpanah tatapan babang Kim Woo Bin. Berdansa gemulai, romantic dengan iringan music mendayu-dayu di bawah butiran salju dan pancuran air nan indah bak negeri dongeng. Perfect! Hehe.. Itu mimpi tuan putri Yaya, bukan Dhara. Andhara Kisha mana pernah buat pikiran hal tidak senonoh itu. Marya saja, dia memang gatal sedikit. Wkwkwk.. Menonton serial drama Kim Woo Bin saja, siap-siap saja pemeran wanita itu anggap dirinya. Ketika ada adegan romantis, sah Marya gila. Senyum-senyum tidak senonoh. Hish, hish, his, geli. “Hellow.. Tuan Putri Yaya. Itu piring bukan lampu Aladin. Tidak akan keluar Jin walau kau gosok-gosok sampai kapanpun.” Allah.. Marya tersentak. Dadanya diusap perlahan. Jantungnya benaran ingin copot mendengar suara Dhara yang tiba-tiba. Dhara... aku kira hantu… “Suka- suka aku dong, hish.” sudut bibirnya terangkat sinis, Marya melihat Dhara yang sudah terkekeh. “Senang kau ya. Untung saja piring ini tidak melayang ke kepala kau. Kalau sampai, tidak akan sanggup tertawa. Menangis pun yang ada. Nasib baik, aku tidak latah.” “Alolo… merajuk sudah.” “Siapa yang merajuk. Kau kenapa paling senang datang dengan cara mengagetkan orang, hah? Orang itu kalau datang ucap salam. Asaalamu’alakum... bukan mengagetkan. Memang dasar kau ini, sudah seperti setan, hantu.” “Aku setan? Hantu? So.. kau pun sama berarti. Kau teman aku.” Dua alisnya dia angkat turun naik. Senang saja mengusik Marya. “Hish.. Annoying kau ini Dhara. Minggir sana!” Otomatis Dhara bergeser. Aduh... sakitnya perut ketawa. Dhara menatap Marya yang menyusun piring. “Yaya, kenapa masih mengerjakan tugas ini?” tanya Dhara mulai serius. Marya keras kepala bukan main. Dia dan chef lain sudah melarangnya untuk bekerja terlalu banyak. Cukup urus menu saja. Tetapi, Marya seolah mentulikan telinga, semua urusan dapur dia kerjakan. “Tidak apa-apa, Ra. Aku senang melakukannya. Lagian dapat pahala kan, chef dan pekerja kita banyak yang sudah berkeluarga. Aku yang kerjakan, mereka bisa pulang lebih awal. Piring yang kotor juga tidak banyak.” Dhara mengeluh perlahan. Tidak ada gunanya dia bicara kan? “Ok, ok. Suka- suka kau sajalah, Yaya.” Dia ikut membantu Marya menyusun piring. *** Marya dan Dhara keluar dari restoran. Tawa mereka pecah ketika berjalan menuju parkir mobil. Ada saja hal yang mereka bahas hingga mengundang tawa. Inilah enaknya punya teman sefrekuensi, hal garing pun bisa di bawa tertawa guling-guling. Padahal tidak ada lucunya bagi orang lain. “Yaya.” Suara pria dari depan langsung menghentikan percakapan Marya dan Dhara. Pria itu tersenyum manis ke arahnya. “Raf.” Meski agak terkejut, Marya tetap mengembang senyum. Dia melirik Dhara sebagai isyarat. Rafka adalah manager restoran sekaligus teman dekat Dhara. Dari awal mereka bertemu, Rafka sudah menaruh hati pada Marya. Tetapi, sampai detik ini Marya masih tidak ingin dekat dengan pria manapun. Lagian dia juga masih terikat pernikahan dengan Haris. Malangnya kau Rafka. Kalau saja wajah kau seperti babang Kim Woo Bin, sah Tuan putri Yaya tergila-gila dekat kau. Tapi sayang seribu kali sayang, tidak seperti itu. Jangan sampai kau membujang lapuk hanya karena Yaya tolak kau. Aku pun kan ada. Eh, apa-apaan ini? tidak, tidak, aku bergurau saja. Dhara menggeleng untuk mengusir apa yang terfikir kan barusan. “Raf, kamu belum pulang?” tanya Dhara. Dia mengerti maksud Marya tadi. Habis ide, pertanyaan bodoh yang keluar. Kau kan sudah lihat wujudnya di sini, tepat depan mata kau. Masih saja bertanya. Stupid! “Belum, Ra. Kalian mau pulangkan, boleh sekalian.” Pintu mobilnya di buka. “Raf, Dhara bawa mobil. Jadi tidak perlu merepotkan kamu. Ayo Dhara, kita pulang.” Marya menarik tangan Dhara. Lihatlah! “Yaya, boleh tidak kamu pulang denganku.” Pinta Rafka lembut. Tangan Marya yang hendak membuka pintu mobil terhenti. Dia berbalik menghadap kearah Rafka. “Raf, aku ada Dhara. Ini sudah larut malam. Assalamu’alaikum.” Marya tersenyum pada Rafka, dan terus masuk kedalam mobil, tanpa menunggu balas salam dari pria itu. Rafka memandang mobil sport merah yang sudah berlalu meninggalkannya. Keluhan berat keluar dari bibirnya setelah mobil itu semakin jauh. Entah cara apa lagi yang harus dia gunakan untuk mendapatkan hati Marya. Sudah banyak hal yang dia lakukan. Tetapi, Marya sama sekali tidak peduli. Apalagi jika dia sudah mulai menyuarakan hati, Marya sama sekali tidak memberi tindak balas sedikitpun akan perasaannya. “Yaya, kenapa sangat susah untuk dapatkan hatimu?” gumam Rafka. Dhara melirik Marya di samping kemudinya. Marya sudah terlihat hilang mood baik. Pandangan Marya hanya di fokuskan keluar jendela. Dia sangat tahu bagaimana perasaan sahabatnya ini. Marya telah di ikat dengan benang merah. Marya tidak mau berbuat apa-apa demi kehormatannya dan Papanya. “Yaya, aku boleh tanya satu hal?” Dhara memulai percakapan. “Apa?” Marya masih menatap ke arah jendela. “Yaya, kau benaran tidak akan menggugat cerai Haris? Ini sudah 3 bulan.” Tanya Dhara hati-hati. Takut salah sedikit, siap-siap Tuan putri Yaya, mendiamkannya 7 hari 7 malam. Tidak sanggup. Siapa lagi temannya untuk berbicara nanti, tidak mungkin juga ajak dinding berbincang kan? Marya langsung menghadap ke arah Dhara, tatapannya dingin. Dhara langsung keringat dingin. Erk.. Mama tolong. “Ma-maaf, aku tidak bisa untuk tidak mengusik kau.” Ucap Dhara tergagap, bibir bawahnya digigit setelahnya. Ya Tuhan, berani-berani aku usik dia lagi bad mood. Semoga tidak sampai merajuk. Kalau sampai, sah aku yang gila. Berbicara dengan dinding. ***** MARYA memasang wajah cemas di dalam kamar mandi. Kepalanya pusing dan akhir-akhir ini dia juga sering mual. Semakin khawatir, kerena haidnya dalam 3 bulan ini juga tidak datang-datang. Dia mulai tidak karuan. Apa yang terjadi sebenarnya? Hoekk! Dia kembali mual. Sudah letih mengeluarkan semua isi perutnya pagi ini. “Aku mohon, jangan sampai. Aku mohon, Ya Allah aku mohon....” ucap Marya. Tiba-tiba Dhara datang, dia cepat mendekati Marya yang sedang muntah-muntah. “Ada apa, Yaya? kenapa seperti ini?” punggung Marya di usapnya lembut. Tidak sampai hati dirinya melihat Marya yang tampak sudah lemah. “Entahlah, Ra.” Tidak beraturan napas Marya berucap. Sangat lemah. “Lap mulut kau dulu.” Dhara mengulurkan tisu untuk mengeringkan mulut Marya yang basah akibat berkumur. Perlahan Dhara memapah Marya menuju ranjang. “Ra, aku telat datang ke resto ya.” “Hish.. apa-apaan kau ini Yaya. Lagi sakit, kau malah memikirkan urusan kerjaan. Tidak perlu pikirkan itu sekarang. Sekarang kau tidak sehat, istirahat saja di rumah.” marah Dhara. Dia membantu Marya tidur di ranjang dan dia selimuti. “Tapi kan..” “Tidak ada tapi-tapian. Kau jangan terlalu keras kepala, Yaya. Kau juga harus pikirkan kesehatan kau. Itu badan memang kau yang gunakan, tapi kalau kau sakit, aku ikut sakit tahu tidak. Urusan restoran itu bisa saja di atur. Aku bosnya.” Dhara menahan tangis, dia todak mau Marya melihatnya begini. Marya menyadari apa yang di rasakan Dhara. Jika diikuti perasaan, dia juga mau menangis sekarang, dia mengambil tangan Dhara. “Okey, aku akan istirahat. Aku ikuti perkataan kau, aku patuh. Tapi, kau harus tetap pergi, ya. Hari ini ada yang book, pasti ramai. Hum?” “Lalu kau bagaimana?” tidak kuasa, akhirnya bulir jernih itu mengalir juga perlahan di sudut matanya. Dia terlalu sayang pada Marya. Marya tersenyum, dia mengusap air mata Dhara. “Jangan menangis. Jelek tahu.” Usik Marya, membuat Dhara sedikit mencibir, lalu mengusap air matanya. “I’m oke, Ra. Aku bisa urus diri sendiri. Lagian, mbak Echa ada yang temani aku di rumah. Jadi tidak perlu khawatir, ya.” “Mbak Echa hanya sampe jam 3 siang. Lalu…” belum selesai Dhara berucap, Marya sudah memotongnya. “Aku baik-baik aja, hanya masuk angin. Tidak ada yang berbahaya. Minum obat, juga bakalan langsung sembuh. You the go. Okey?” Dhara mengeluh sambil air matanya di usap. Tidak akan menang jika melawan Marya. Memanglah Marya ini, kalau di masukkan dalam drama, baikkah perannya, jahatkah perannya, yang jelas dia harus selalu menang. Tidak ada cerita tidak! hish.... mana ada kan. Jadi sutradara saja jika begitu. “Okey, aku pergi, tapi ingat.. jika ada apa-apa kabari aku segera.” Marya mengangguk. “Kalau begitu kau istirahat. Aku akan bilang pada mbak Echa untuk menyiapkan bubur. Kau tidur, tapi bangun lagi nanti ya. Jangan menghayal jadi putri tidur pulak, tidak akan datang pangeran Kim Woo Bin yang cium kau.” “Hish.. kau ini. Aku belum segila itu.” Dhara terkekeh, “Berarti ada rencana mau gila kan??” “Kau ini memanglah annoying. Pergi sana!” bantal di lempar ke arah Dhara. Dhara semakin puas tertawa. Sempat dia mengusap kepala Marya sebelum pergi dari situ. Senang saja hatinya dapat mengusik Tuan putri Yaya. Marya menggeleng kepala, Dhara moodboster baginya, tapi sering juga bikin geram. “Dia pikir aku ini segila itu pada Kim Woo Bin. Hum, tidak! aku tau batas.” Setelah pintu kamar tertutup, Marya langsung mengusap wajah dengan kedua tangannya. Pikirannya kembali perihal haid yang tidak kunjung datang. Sungguh Marya sangat risau kalau apa yang bermain dipikirannya terjadi. Biasanya dia tidak mempermasalahkan jadwal haid. Tidak peduli haid atau tidak. Namun, ini sudah tiga bulan. Apalagi mengingat kejadian malam itu. Marya semakin takut. Keluhan panjang keluar dari mulut Marya. Air matanya juga sudah menitik. Kalau betul dia hamil, makin mengenaskan kisah hidupnya. Hancur, sehancur-hancurnya. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD