Bandung

1315 Words
PERJALANAN dari DKI Jakarta-Bandung di tempuh dalam waktu 4 jam 55 menit. Taxi yang di naiki Marya berhenti di depan rumah minimalis tingkat 2 dengan pagar yang juga minmalis. Rumah itu adalah milik sahabatnya, Dhara. Marya keluar dari dalam mobil, kopernya di keluarkan oleh pak sopir. “Terimakasih.” “Sama-sama, Nona.” Pak sopir tersenyum dengan ramah. Dia kembali memasuki mobil dan beranjak dari situ. Marya menghela napas perlahan. Rumah minimalis di depannya di tatap dengan helaan napas berat. Sepi, hanya ada 1 motor yang terparkir di garasi. Marya ragu-ragu melangkah, apakah pemilik rumah ada atau tidak? Baru Marya hendak menekan bel di pagar, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. “Yaya?” Dhara di dalam mobil benar terkejut melihat Marya di depan rumahnya. Apakah matanya salah melihat? dia cepat keluar dari dalam mobil. “Yaya, kamu ini?” Dhara masih tidak percaya. Marya mengembang senyum lembut lalu menghamburkan diri memeluk Dhara. Entah kenapa kala itu dia merasa sangat sedih, dia menangis sesegukan dalam pelukan Dhara. “Ada apa ini, Yaya? Kenapa menangis?” Dhara sudah merasa tidak tenang. Berbagai hal terlintas begitu saja dalam pokirannya. Dia mengusap punggung Marya dengan lembut. Sungguh ini sangat pelik, baru kemarin Marya menikah dan sekarang sudah berada di depan rumahnya. “Ra, dia pergi. Dia tinggalkan aku. Dia marah sama aku. Aku benci dia, Ra... aku benci!” Tanpa aba-aba, darah Dhara berdesir begitu saja. Dia? Haris kah yang Marya maksud? Mata Dhara sudah terasa panas, ujung hidungnya terasa masam, dengab cepat air matanya menetes. “Cup cup, menangislah, Yaya.” Dhara mencoba menenangkan Marya yang menangis memilukan itu. ***** “MINUM dulu, Yaya.” Dhara mengulurkan segelas air putih pada Marya. Marya menerima gelas dari Dhara. Air matanya yang masih menetes di usapnya perlahan. “Thank's, Ra.” Dhara tersenyum, dia manatap lekat wajah Marya dengan iba. Delapan tahun berteman, tidak pernah melihat sahabatnya ini menangis dengan begitu memilukan. Tangisan Marya tadi sungguh menyakiti hatinya. Hati dan pikiran Dhara sedari tadi sudah saling beradu argument. Bagaimana dan apa sebab Haris meninggalkan Marya? Dia sungguh ingin tahu. Tetapi, melihat Marya yang begitu terluka, dia mengurung niatnya. Dia pikir Marya butuh waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu. “Yaya, kamu istirahat saja di kamar, ya. Sini aku bantu bawa koper.” Dhara bangkit dari duduknya. “Nanti, Ra. Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik aja cerita sekarang.” sanggah Marya. Dhara menatap wajah Marya yang memaksa senyum padanya. Hambar. Tidak usah paksa senyum, Yaya! Dhara bisa merasakan kepedihan sahabatnya itu. Perlahan dia kembali duduk. “Seriusan kamu bisa cerita sekarang?” Dhara memastikan, tatapannya hangat dan menenangkan. “Um, aku bisa.” Marya mengatur napas dan mulai menceritakan penyebab Haris marah dan meninggalkannya. Air mata tiada henti sepanjang cerita. Dhara setia selalu menjadi pendengar yang baik. Sesekali dia menepuk-nepuk bahu, serta mengusap punggung Marya. Keduanya sama-sama menangis. ***** MARYA bangun dari tidurnya sambil menggeliat kecil. Kepalanya sedikit terasa berat. Perlahan dia bangkit sambil mengucek mata yang serasa perih di buka karena sembab. Bagaimana tidak, tadi dia menangis sejadi-jadinya. Dia tertidur juga karena sudah terlalu lelah menangis. Matanya di arahkan pada jam yang terletak di atas meja kecil samping tempat tidur. Ya Tuhan... Sudah jam 8 malam. Lamanya dia tidur! Marya langsunh turun dari ranjang, dia memeriksa kopernya, tapi sudah kosong. Almari di buka, sudah tersusun pakaiannya di sana. Marya tersenyum, pasti Dhara yang mengerjakan. Dhara memang selalu ada untuknya. Hubungan yang baik, membuat mereka dekat melebihi saudara kandung. Marya merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Dhara. Precious. Handuk diambil, kemudian Marya masuk ke kamar mandi. “Hish, bencinya.” Geram Marya. Sangat marah dan kesal melihat bercak merah yang dibuat Haris di seluruh tubuhnya. Spons di ambil, sabun cair di tuang sebanyak-banyaknya, dengan keras Marya menggosok badannya. Dia ingin bercak merah itu hilang segera. “Kenapa tidak hilang-hilang?!” Rintih Marya. Air matanya kembali menetes. Badannya terus di gosok dengan kuat. ***** LANGKAH kaki dibawa keluar kamar. Saat di tangga dia mencium aroma yang lezat, kemudian terus berlanjut ke dapur. Marya tersenyum melihat Dhara yang sedang sibuk menyajikan makanan. Begitu telaten dan rapu. Tentu saja, Dhara merupakan seorang chef handal dan sudah memiliki 2 restoran di dua kota. Satu di Bandung dan satu lagi di Yogyakarta. “Sudah bangun Tuan putri.” Marya tersentak, dan langsung tawanya mendengar panggilan yang dibuat Dhara tidak pernah berubah untuknya. “Um, sudah siap makanan buat Tuan putri nih?” Marya melayani gurauan Dhara. Dia melangkah menghampiri sahabat baiknya itu. “Wah wah wah, Enak dong tinggal sama kamu, Ra. Setiap hari makan, makanan resto kelas bintang lima kan.” Mata Marya berbinar melihat berbagai masakan kesukaannya di atas meja. Satu kursi di tarik, dia langsung duduk. Dhara mencibir, “Kamu jangan berencana mau menyiksa aku ya. Kamu juga harus turun tangan.” apron di lepas. Dhara mengambil tempat duduk di depan Marya. Bukan apa, meskipun Marya mengambil jurusan Bisnis ketika kuliah, tapi masakan Marya boleh diadu dengan dia. Enak. Mungkin memang sudah bakat turunan. Almarhumah Mama Marya ahli memasak, selain itu di masa kuliah, Marya juga tidak jarang memasak bersamanya “Eh, mana ada Tuan putri ikut turun tangan. Kamu kan dayang-dayang aku. Ya jelas kamu lah yang harus melayani aku sebaik mungkin.” “Jangan banyak tingkah kamu Yaya.” Dhara memutar matanya malas. Marya sudah terkekeh tertawa. Salah sendiri memanggilnya Tuan Putri. “Senang ya mengusik aku. Sudahlah, mari makan. Jam berapa ini, kamu pasti lapar kan?” Cepat Marya menganggukkan kepala. Mana tidak, cacing-cacing di perut memang sudah demo. Piring mereka isi dengan menu yang tersedia. Marya makan dengan lahap, rasanya sudah cukup lama tidak merasakan masakan sahabatnya ini. Walau jarak dia dan Dhara tidak begitu jauh, tapi kesibukan dengan urusan masing-masing membuat mereka jarang bertemu. “Yaya,” “Um?” “Kamu yakin tinggal di Bandung?” “Ha'ah.” Jawab Marya singkat. Dia masih fokus dengan makanannya. Masakan Dhara memang membuat orang lupa akan masalah hidup sejenak. Dhara menggaruk kepalanya, sendok di letakkan di piring. Dia menatap lekat Marya yang begitu menikmati masakannya. “Um, bagaimana jika tinggal di Jogja saja?” Marya langsung berhenti, dia menatap Dhara pelik, “Kamu mau mengusir aku nih?” “Aik.. bukan begitu maksudku.” Dhara tertawa melihat Marya yang sudah mengamuk. Sehingga bunyi sendok dan piring beradu keras. Heleh- heleh anak ini. Dhara menggeleng perlahan, "Gini, Yaya. Bandung dan Jakarta jaraknya tidak jauh. Beberapa jam saja sudah sampai di sini. Nah.. ini ceritanya, sekarang kamu mau menghindar dari keluarga kan. Kenapa tidak pergi jauh saja. Luar negeri, misalnya. Kalau kamu tidak mau, ya ke Jogja. Biar sedikit lebih jauh. Kalau ke Jogja, aku ikut dengan kamu. Bukannya ku biarin kamu sendirian. Resto ku juga ada di sana kan.” Jelas Dhara. Marya mengeluh perlahan, dia juga berhenti makan, dia menatap Dhara yang ada di depannya. “Ra,” tangan Dhara di raih, digenggam lembut, “Kamu tahu tidak, saat kehilangan arah entah mau pergi kemana, yang terlintas di pikiran aku cuma kamu. Jadi aku tidak mau kemana-mana. Kita menetap di sini, ya. Aku tidak masalah. Semua orang sudah mengira aku ikut Haris ke London, tidak akan ada yang tau bahwa aku di sini. Lagian bisnis Papa tidak di ada Bandung. So.. amankan.” “Yakin?” Marya mengangguk dengan senyum. “Baiklah jika begitu keputusan kamu. Tapi, lepasin dulu tanganku, jangan ngedrama ketika makan. Aku geli tahu tidak.” Marya tertawa melihat Dhara yang menarik tangan dari genggamannya. Tidak lupa dengan bergedik geli yang di buat-buat oleh Dhara. “Hellow… Andhara Kisha, saya ini masih normal ya.. Wueekk..” Marya menjulurkan lidah. “Ish.. aku potong lidah kamu baru tahu.” Marya tertawa keras. Lidahnya kembali dijulurkan. Sehingga Dhara pun ikut tertawa. Dhara memang bukan tipe orang yang suka dengan hal-hal yang romantis. Dia tidak pandai bertingkah manis sedikitpun. Melihat adegan manis saja dia bilang geli. Heleeh… tidak tau bagaimana kalau sudah ada pasangan. Okey, kita lihat nanti ya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD