Pesanan Satu Lusin

1114 Words
"Kemarin aku nggak les ngaji. Ustad Sayyid marah enggak ya, Ma?" tanya Geo saat kami baru saja turun dari sebuah angkutan umum. Setiap sore aku akan mengantarnya les mengaji. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi cukup membuat kaki pegal kalau harus berjalan kaki. Jadi, seperti biasa aku akan mengantar Geo dengan angkutan umum. "Nggak dong. Mama udah minta izin ke uztad kok kemarin. Kamu kecapean banget kelihatannya, jadi Mama nggak tega bangunin kamu," sahutku menenangkannya. Tidak berangkat les mengaji satu hari saja sudah membuat anakku gusar. Dia memang tipe anak yang suka belajar. Aku mengantar Geo hanya depan rumah uztadnya. Di sana banyak juga anak yang seumuran Geo. Karena durasi les hanya satu jam aku biasanya menunggunya sampai selesai. Aku mengutak-atik ponselku yang tidak terlalu canggih untuk membunuh rasa bosan. Ponselku memang tidak canggih, tapi biar begitu masih tergolong jenis telepon pintar. Meskipun memori internalnya sedikit. Hanya beberapa aplikasi yang menurutku penting yang terpasang di sana. Seperti media sosia dan aplikasi chat. Itu dua aplikasi wajib yang harus aku punya. Media sosial sendiri bisa membantuku berjualan online. Ya, iseng-iseng aku berjualan online. Menjadi reseller suatu produk dengan modal yang lumayan minim. Hasilnya memang tidak seberapa. Sekedar untuk membeli pulsa sendiri tanpa minta sama Bayu itu cukup membuatku senang. Mataku berbinar saat ada notif di ikon inbox. Biasanya yang langsung inbox adalah calon pemberi produk yang aku jual. Namun, ketika membukanya aku lumayan tertegun. Ternyata itu pesan dari Ari. Ah, salahku tidak menggunakan nama samaran. Bahkan aku menggunakan foto pribadi di profil. Tentu saja itu mudah dilacak oleh dia. Ari : Kamu jualan online? Itu pesan yang aku baca. Awalnya aku berniat membiarkan saja. Namun, melihat tidak ada tanda dia sedang aktif aku memutuskan membalas pesan itu. Aku : Iya. Hanya satu kata yang aku tulis. Tidak penting sebenarnya. Toh dia sudah tahu jawabannya. Tidak aku duga ternyata pesan yang aku kirim dia balas dengan cepat. Bukannya dia sedang tidak aktif? Ari : Jual apa aja? Produk buat pria ada? Kalau ada aku pesan Karena percakapan kami tidak mengandung unsur privasi akhirnya aku meladeni chat darinya itu. Hingga aku berhasil membuat Ari memesan produk yang aku jual. Tidak tanggung-tanggung. Dia memesan satu lusin produk pakaian pria. Bahkan saat itu juga dia meminta nomor rekeningku agar bisa segera melakukan pembayaran. Seperti apa yang dia katakan, pembayarannya langsung dia transfer saat itu juga. Namun, nominal yang dibayarkan melebihi harga yang seharusnya dia bayar. Dan kelebihannya lumayan besar. Ari : Nggak apa-apa, lebihannya buat kamu. Aku memang butuh uang makanya aku jualan. Tapi, kalau caranya seperti ini aku juga tidak mau menerimanya begitu saja. Aku bersikeras mengembalikan kelebihan itu, meskipun Ari menolaknya. Dengan sedikit ancaman bahwa pesanannya tidak akan aku proses, akhirnya dia mau menerima uang itu kembali. Tapi.... Ari : Kembalikan saat kamu mengantar pesananku. Aku : Pesanan kamu akan dikirim langsung ke alamat kamu. Jadi, kamu kirim alamat lengkapnya. Ari : Aku nggak mau. Kamu sendiri yang harus mengantar pesananmu. Nanti aku akan menemuimu di kafe kemarin. Hubungi aku kalau pesanannya sudah siap. Sial. Dia menjebakku. Aku menggeram sebal. Harusnya aku sadar. Dari awal ini hanya akal-akalan Ari saja agar kami bisa bertemu kembali. "Mama kok mukanya kayak kesel gitu?" Aku mengalihkan perhatian dari layar ponsel mendengar suara Geo. Anak itu sudah selesai mengaji rupanya. Sontak aku tersenyum. "Enggak kok. Mama nggak kesal. Malah Mama lagi senang." "Mama dapat pesanan baju lagi ya?" tanya Geo dengan wajah polosnya. "Iya." Aku meraih kepala anak itu dan mengusapnya. "Ngajinya udah selesai?" "Udah, Ma." "Oke. Kita pulang sekarang yuk." Aku mengulurkan tangan yang langsung diraih Geo dengan senang. "Memang pesanannya banyak ya, Ma?" tanya Geo saat langkah kami mulai terayun meninggalkan pelataran rumah guru ngaji Geo. "Banyak. Satu lusin." "Satu lusin itu berapa?" "Dua belas, Sayang." "Wah. Banyak sekali. Pasti Mama nanti untung banyak." Aku terkekeh mendengar celotehnya. "Ya gitu deh." "Ditabung ya, Ma. Kali aja bisa buat beli mesin cuci baru." Aku tersenyum. Anak seusia dia bisa berpikiran dewasa. Geo tahu kalau mesin cuci di rumah rusak. Bayu belum sempat memperbaikinya karena memprioritaskan hal lain. Saat kami sampai rumah, sudah ada Bayu di sana. Geo langsung menghambur ke pelukan ayahnya itu. "Kok udah sampai rumah aja sih? Baru Papa mau jemput," ujar Bayu lalu membopong tubuh mungil Geo. "Kamu kelamaan, Mas," sahutku mengikuti Bayu yang hendak memasuki rumah kecil kami. "Ya gimana lagi, aku kan harus mandi dulu tadi." "Pa, tau nggak? Mama kan baru dapat pesenan satu lusin," tutur Geo. Padahal aku tidak berharap dia laporan ke ayahnya. "Wah benar kah?" sahut Bayu antusias. "Beneran, Mama untung banyak. Iya kan, Ma?" Aku tertawa saja melihat semangat bocah lima tahun itu memberitahu ke ayahnya. "Udah kelihatan. Mama kamu tertawanya lebar. Dapat pesanan grosir ya, Va?" tanya Bayu setelah mendudukkan Geo di karpet yang ada di ruang tamu. Di ruang tamu kami yang sempit ini tidak ada perabot seperti sofa. Hanya ada satu lembar karpet yang terhampar. "Alhamdulillah sih, Mas. Lumayan bisa tambahan ongkos antar jemput Geo." Aku menyusul duduk di sampingnya yang sudah lebih dulu duduk. "Kamu enggak kepikiran beli motor baru buat antar jemput Geo?" Aku mau sekali punya motor sendiri seperti ibu-ibu lain. Tapi punya motor hanya akan menambah resiko. Kami jelas tidak mungkin mengambil motor secara kontan. "Motor kamu aja belum lunas, Mas. Aku nggak mau menambah beban kamu." "Sebentar lagi kan motorku lunas, tinggal tiga setoran lagi. Kalau ada motor kan kamu jadi nggak harus naik-turun angkutan umum." Aku tersenyum, dan tidak membantah karena semua yang Bayu katakan benar. "Itu artinya ada rezeki tukang angkot melalui aku, Mas," pungkasku yang akhirnya bisa menghentikan pembahasan soal motor. "Udah makan belum, Mas?" tanyaku kembali bangkit berdiri. "Belum. Kamu masak apa?" "Tumis pare ikan asin, sama tahu tempe doang sih, Mas." "Wah, itu sih udah enak banget. Dengernya aja bikin lapar. Geo, kamu lapar enggak?" Geo yang sudah asyik membaca buku menggeleng. "Mama masak enak loh." "Mama masak pare, itu pait. Aku nggak suka, Pa." "Emang Geo maunya makan apa?" "Ayam goreng kayak yang waktu di mall sama ...." Aku yang sedang menyiapkan makanan menoleh cepat. Dadaku mendadak berdegup kencang. Jangan sampai anak itu menyebut nama Ari di depan Bayu. "Mas! Ayo sini, makanannya udah siap!" seruku memotong percakapan ayah dan anak itu. "Oke, chef. I'm coming!" Aku baru bernapas lega saat Bayu muncul dari balik dinding ruang tamu. "Anak kamu nggak mau makan, Va. Katanya nggak suka pare," ujar Bayu menarik kursi. "Kan memang dia nggak makan pare. Makanya aku masak sup baso buat dia." "Geo ... bener nih nggak mau makan, nanti sup basonya dimakan papa lho." "Papa jangan serakah ya, papa kan udah punya pare," seru Geo yang masih bertahan di ruang tamu. "Ya udah, makanya ke sini temani Papa makan. Masa Papa makan sendirian?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD