bc

The House Wife

book_age18+
357
FOLLOW
1.6K
READ
love-triangle
family
scandal
drama
comedy
sweet
bxg
city
secrets
affair
like
intro-logo
Blurb

Siapa yang tidak ingin memiliki hidup mewah dan berkecukupan?

Namun, Rivana hanya bisa menelan ludah saat kehidupan rumah tangganya jauh dari kata mewah. Dia berusaha bersyukur dengan keadaan. Apalagi suaminya, Bayu, adalah tipe lelaki sabar dan bertanggung jawab, meskipun tidak bergelimang harta. Tapi siapa yang tidak tahan kalau kehidupannya selalu jadi cemoohan, ocehan orang? Lama-lama dia tidak tahan juga.

Di saat yang sama, Rivana dikejutkan dengan munculnya Ari–sang mantan–, duda beranak satu yang memiliki segala yang Rivana impikan. Lelaki itu menawarkan kemewahan seandainya Rivana mau kembali padanya.

Apakah Rivana akan tergoda bujukan sang mantan? Atau bertahan pada keadaan rumah tangganya yang serba pas-pasan?

chap-preview
Free preview
Pertemuan Tak Terduga
Aku dan Alvin dengan riang melangkahkan kaki menuju sebuah toko buku di bilangan mal pusat kota. Buku yang diidam-idamkan Geo akan segera menjadi miliknya, tentu saja wajahnya sangat senang sepanjang jalan tadi. Segera Geo menarik tanganku ke bagian rak buku anak. Dia sudah hafal betul tempatnya. Hampir tiap bulan aku dan Mas Bayu mengajaknya ke sini. "Mah, ayo buruan, bukunya tinggal satu. Nanti kita kehabisan," seru Geo tak sabar. "Iya, iya, Sayang." Antusiasnya terhadap buku memang membanggakan. Buku mahal sekali pun rela aku beli. Meskipun dengan cara mencicil, hanya untuk menumbuhkan minat baca bocah kecil ini. Saat aku akan meraih buku itu, mataku menangkap tangan lain yang juga sama hendak mengambilnya. Kontan aku menoleh. "Rivana?" lirih orang itu. Kami saling pandang. Takjub. Aku tak percaya, salah tingkah, dan entah perasaan apalagi yang tak tergambar melihat sosok di balik kemeja merah hati ini. "Mas Ari?" "Kamu mau buku ini? Ambillah." Ari ternyata lebih bisa menguasai dirinya ketimbang aku, yang masih agak salah tingkah. Sungguh, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku duga sebelumnya. Bertemu dengannya lagi. "I-iya Mas, itu buku yang diinginkan anakku," kataku agak gemetar. "Ma, bukunya aku mau!" seru si kecil yang sedari tadi menunggu. "Tadinya, aku mau beli buku ini juga buat anakku. Tapi sepertinya yang lebih antusias your boy, Riva." Ari tersenyum, lantas berjongkok di depan Geo. "Hai Boy, siapa namamu?" tanyanya memegang lembut rambut anakku. "Geo, Om," jawab Alvin lantang. "Halo, Geo, aku Ari. Kamu mau buku ini?" Geo mengangguk mantap. "Boleh aku tahu kenapa?" "Aku sudah lama mau buku bergambar jerapah itu, Om. Aku harus menabung dulu buat dapetinnya. Dan sekarang tabunganku sudah cukup." "Wow, benarkah? Hebat sekali. Kalo begitu, Om akan memberikannya untukmu. Dan kamu simpan lagi tabunganmu." "Maksudnya, Om?" tanya Geo kurang paham. "Iya, Om yang akan membelikannya untukmu." "Benarkah?! " Mata Geo membulat. "Iya." "Hore! Terima kasih, Om Ari." Aku tak enak hati mendengarnya. "Mas, itu nggak perlu. Geo sudah ada cukup uang untuk membeli buku itu," kataku kemudian. "Anggap aja ini hadiah dariku buat Geo, Riva. Sudah lama sekali kita nggak ketemu. Dan sekarang, kamu memiliki anak yang hebat seperti Geo." Lama memang. Delapan tahun bukan waktu yang singkat. Dan aku melihatnya lagi dalam kondisi berbeda. Penampilan Ari sekarang jauh lebih baik daripada dulu. Dia mengenakan celana hitam dipadu kemeja merah hati yang lengannya dia gulung sampai siku. Dasi motif garis tipis warna gelap terayun di kerah kemejanya. Lengkap dengan sepatu yang terlihat disemir tiap hari oleh pemiliknya. Benar-benar penampilan seorang eksekutif. Mendadak nyaliku menciut dengan penampilanku yang sekarang. Aku hampir tidak peduli dengan penampilanku sendiri. Meskipun ini cukup layak, tetapi jika harus disejajarkan dengan Ari, timpangnya setengah mati. Rasanya ingin amblas saja ke bumi. Bertemu mantan kekasih dengan penampilan seadanya. Beruntungnya, sekarang aku bertemu dengannya di mal. Jadi, dia tak mendapatiku mengenakan pakaian dinas harian. Aku benar-benar tak enak hati. Setelah buku dibayar Ari di kasir, dia menyerahkan paper bag besar itu kepada Geo. "Terima kasih, Om. " ucap Geo riang. "Terima kasih banyak, Mas. " ucapku pelan. "Kita pa–" "Bagaimana kalo kita makan dulu di restoran depan itu." Belum juga aku sempat pamit, Ari langsung melontarkan ajakannya. "Ah, tidak, Mas. Terima kasih. Lain kali saja. Kita berdua mau langsung pulang saja," tolakku halus. "Tapi, Ma. Bukannya Mama bilang habis beli buku kita akan makan ayam goreng di situ?" Aduh! Interupsi Geo pun keluar. Ini di luar dugaanku. "Nah, kan, Geo. Kita makan di sana yuk." Ari langsung saja menggaet tangan Geo tanpa minta persetujuanku. Apa lagi ini? Aku tidak ingin berlama-lama lagi di sini. Aku segera mengejar langkah mereka sebelum memasuki restoran di seberang toko ini. "Mas, nggak usah. Nanti kita makan di rumah saja. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan," kataku menghentikan langkah mereka. "Ayolah, Va. Kita sudah lama nggak ketemu. Dan kamu mau pergi begitu aja? Hanya makan, cuma itu," bujuk Ari lagi. Aku menyerah. Baiklah, setidaknya aku akan bertahan selama beberapa menit. Akhirnya kami memasuki restoran itu. Sungguh, ini bukanlah hal yang aku ingin. "Va, apa kabarmu?" tanya Ari saat menunggu makanan datang. "Aku baik-baik aja, Mas," jawabku tanpa menatapnya. "Baguslah. Aku nggak nyangka kita akan ketemu di kota ini. Baru sebulan aku pindah ke sini." Aku masih diam. Kulihat Geo asyik dengan buku barunya. "Kabar suamimu bagaimana?" tanya Ari lagi. "Dia juga baik." Aku harap dia tidak menanyakan lebih tentang Bayu. "Apa kamu pindah ke sini karena pekerjaanmu, Mas? " tanyaku sebelum dia menanyakan hal lain soal Bayu. "Iya, sebenarnya sudah lama aku ingin pindah ke sini. Karena usahaku ada di sini juga. Dan kebetulan perusahaan tempatku bekerja buka anak cabang di sini. Jadi, aku ngajuin diri untuk ditempatkan di kota ini," jelasnya tersenyum. "Oh, istri dan anakmu juga di sini?" "Anakku ikut bersamaku juga. Apa kamu mau bertemu dia?" Anak? Apa hanya anak? Lalu istrinya? "Ah, nggak, Mas. Lain kali saja." Sampai makanan yang kami pesan tiba, aku tidak memberinya kesempatan untuk bertanya banyak tentang hidupku. Aku yang lebih sering mengajukan pertanyaan untuknya. Ari memiliki seorang anak perempuan yang masih berusia tiga tahun. Ibu dari anaknya bernama Della, seorang guru yang kemudian resign begitu putrinya lahir. Sempat Ari menyebutkan sebuah perumahan elit di bilangan kota X saat kutanya tempat tinggalnya sekarang. Lagi-lagi hatiku menciut. Ari sekarang menjadi orang sukses. Dia memiliki dua buah kedai kopi di kota ini. Dan berencana membuka cabang lagi di kota sebelah. Sementara aku sekarang? Cukup puas tinggal di sebuah perumahan kecil bersubsidi, dengan cicilan yang masih sepuluh tahun lagi. Aku bukan wanita karir seperti cita-citaku dulu. Aku ibu rumah tangga lusuh yang kadang harus pasang kuping tebal mendengar obrolan ibu-ibu pengantar anak sekolah tentang suaminya yang bisa begini begitu. Sedang aku? Keinginanku memiliki suami sukses kandas. Suamiku hanyalah seorang karyawan pabrik yang mengandalkan gaji UMR tiap bulannya. Hidup kami harus hemat sedemikian rupa. Ingin ini itu, harus nabung sedikit demi sedikit. Dan gemar menabung itulah yang aku tularkan pada Alvin. Setidaknya dia jadi tahu, bahwa ketika menginginkan sesuatu itu perlu usaha. Tidak hanya tinggal minta. Tak apalah kalau orang tuanya serba ada. Namun, untuk kondisi kami sekarang, tidak bisa dibilang lebih dari cukup. Pas-pasan mungkin iya. Namun aku bersyukur, keluargaku sehat dan bahagia. Meski kadang ada sebuah ganjalan di hati manakala melihat teman yang lebih sukses. Manusiawi 'kan? Dan kali ini, aku merasa tidak ada arti apa-apa begitu bertemu dengan Ari, mantan kekasih yang dulu pernah aku khianati. Kekasih, yang dulu datang padaku, tapi aku harus menolaknya karena dia belum punya pekerjaan tetap. Menyesalkah aku dulu meninggalkannya? Sedikit. Kutepis pikiran itu segera, dia sudah punya hidup sendiri, aku juga. Aku rasa dia sangat bahagia. Di usianya sekarang yang harusnya tambah tua, kulihat rautnya malah tampak semakin muda. Tidak seperti Bayu, suamiku. Rautnya seolah sedang membawa beban berton-ton, hingga wajahnya tidak sesuai dengan usia aslinya. Ya Tuhan, maafkan aku. Aku, Ari, dan Geo keluar bersama dari mal. Sempat Ari menawarkan pulang bersama, tetapi aku tolak. Aku tak mau dia tahu tempat tinggalku yang lebih mirip rumah petak. "Kalo begitu, aku duluan. Sampai ketemu lagi. Hai, good boy, jaga mama kamu, ya, Dah...." Ari mengacak rambut Geo sebelum melangkah pergi. Kuperhatikan langkah Ari menuju parkir mobil. Diam-diam aku menarik Geo untuk bersembunyi di balik pintu masuk. Dan dari balik pintu ini, kulihat Ari melajukan sebuah mobil SUV menjauh dari bangunan megah ini. "Mama, kenapa kita nggak dianterin Om Ari aja tadi? Mobilnya keren loh, Ma," tanya Geo yang ternyata juga memperhatikan pemandangan tadi. "Nggak, Sayang. Kita nggak boleh repotin orang lain terus. Kita pulang naik angkot aja ya." "Iya, Ma. Om Ari itu baik ya. Apa dia teman Mama?" "Iya." "Teman Papa juga?" "Mama rasa enggak. Oh ya, Sayang, tolong jangan bilang papa ,ya, kalo kita ketemu Om Ari, karena pasti papamu nggak suka mendengarnya." "Oke, Ma." "Yuk, kita pulang." Hatiku hampir goyah. Nyaris kacau. Aku hampir tak bersyukur akan keadaanku sendiri saat melihat Ari tadi. Aku hampir lupa, kalau Bayu lelaki baik yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya, meskipun dia tidak kaya. Aku menghela napas berat. Semoga saja pikiranku tetap waras.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook