Kenangan

1393 Words
"Mama Geo, perasaan kok saya liat bajunya itu-itu aja. Apa di rumah nggak ada stok lain?" Sebuah pertanyaan yang bagiku sama saja dengan celaan, pagi saat aku mengantar Geo ke sekolahnya. Rutinitas yang harusnya menyenangkan bagiku menjadi momok yang paling menakutkan. Dan pagi ini pun, ibu-ibu pengantar anak sekolah sukses membuat mood-ku berantakan. Aku hanya tersenyum getir tanpa menjawab sepatah kata pun. Sejenak kulihat tatapan mereka seolah mengejekku. Sejak aku menolak ajakan arisan yang mereka adakan, aku sering sekali mendapat olokan dari mereka. Semua aku telan dengan getir. Aku merasa salah telah memasukan Alvin ke sekolah ini. Pernah aku mengajukan usul pindah sekolah ke Mas Bayu, tetapi dia menolak. "Ma, pindah sekolah bukan perkara yang mudah. Kita harus menyiapkan biaya lagi untuk masuk ke sekolah baru, sedang kebutuhan kita 'kan masih banyak." Mas Bayu benar. Masih ada kebutuhan lain yang juga tak kalah penting . "Mama, nggak usah dengerin yang mereka bilang, ya. Anggap aja angin lalu." Iya, angin yang tiap saat bisa membuat api semakin berkobar. Aku harus menahan napas setiap saat, jika mereka sudah bicara soal keadaan rumah tangganya. Hampir-hampir semua memiliki keluarga yang sempurna. Suami yang baik hati, yang selalu mengajak traveling tiap liburan, atau memberi kejutan berupa barang mewah. Di antara mereka mungkin cuma aku saja yang cukup senang mengantar anak sekolah naik angkot. Biar saja aku tidak disebut emak-emak jaman now. Kalau memaksakan keadaan mengikuti seperti mereka, kasihan suamiku. Huft. Kuembuskan napas lelahku. Teman-teman Geo sudah berlalu bersama ibu-ibu mereka, mengendarai matic-maticnya. Hanya ada beberapa yang masih ketawa ketiwi entah ngobrolin apa. Aku tengah berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum kota di tengah teriknya udara siang ini, saat ada sebuah mobil melambat mendekati aku dan Geo. Aku segera menarik mundur tangan Geo, mungkin ini mobil wali murid yang akan menjemput anaknya. Kaca pintu mobil turun, seseorang melambaikan tangan ke arah kami. Aku memicingkan mata, memastikan apakah orang itu benar melambai ke arah kami? Sampai orang di balik kemudi itu membuka kacamata hitamnya, tampaklah raut asli sang pemilik kendaraan. Ari. "Riva! Mau pulang?! Ayo, aku antar. Panas loh, kasihan Geo," seru Ari dari dalam mobil. "Ma, Om Ari. Ayo, Ma, kita bareng Om Ari aja." Geo menyentakku. Yang hampir-hampir bengong bertemu Ari untuk kedua kalinya. Kulihat Ari turun dari mobil, lantas berputar, dan membuka pintu depan samping kemudi. "Ayo, masuk." Aku tak sempat berkata apa-apa. Namun, Geo sudah dengan riangnya menaiki jok depan. Mau tak mau, aku mengikutinya. Ari bergegas menutup pintu, dan segera kembali ke balik kemudi. Pelan kendaraan beroda empat ini merambat meninggalkan tempat kami berdiri menunggu angkutan tadi. "Geo, kita ketemu lagi," kata Ari senang sembari fokus ke depan. "Iya Om, aku senang ketemu Om lagi. Mobil Om keren!" puji Geo dengan polosnya. Ari tertawa. "Biasa aja, Jagoan. Ini 'kan cuma titipan." "Titipan? Jadi, ini bukan punya Om?" "Bukan, ini punya Tuhan yang dititipkan sama Om aja." "Om Ari hebat. Bisa dititipin mobil sama Tuhan, coba Tuhan nitipin mobil juga ke papa. Pasti aku bisa jalan-jalan tiap hari pake mobil." "Kamu juga bisa kok tiap hari jalan-jalan pake mobil kalo kamu mau." "Benarkah?" "Iya, tentu saja." Obrolan ringan, tetapi sanggup meluluh lantahkan hatiku yang sedari tadi tak bersuara. Geo berhasil memberitahukan kekurangan ayahnya di depan Ari. Pikiranku campur aduk tak karuan rasanya. Senang karena bisa bertemu Ari kembali. Yang ini tidak aku pungkiri. Namun, ada sedikit rasa malu dan takut juga. "Riva." suara berat itu memanggilku. "Iya." Sekilas aku menoleh. "Are you okay?" tanya Ari. Apa mungkin wajah gugupku tertangkap matanya? "Iya, aku baik-baik aja, Mas." Aku terpaksa tersenyum. "Aku nggak pa-pa kan? Nganterin kalian?" Ada nada hati-hati dia bertanya. " Itu... Iya, nggak pa-pa, Mas." Mau bagaimana lagi? "Riva, kamu tau? Aku sangat senang bisa bertemu kamu lagi." Deg! Tiba-tiba ada detak tak menentu yang hadir tanpa diundang. Aku tak tau kenapa ini bisa terjadi. Hatiku mulai gusar. Tidak, aku harus bisa mengendalikan diriku. "Sedang apa kamu di sini, Mas? Tak mungkin 'kan karna kebetulan lagi?" tanyaku menutupi keresahan yang tiba-tiba muncul. "Oh iya, aku habis dari kedai. Salah satu lokasinya ada di dekat sekolah Geo tadi. Dan saat aku hendak pulang, tak sengaja aku melihat kalian. Ini memang bukan kebetulan Riva, tapi takdir." Takdir. Lagi-lagi ucapannya membuatku salah tingkah. Ayolah, Va, semua itu benar. Kamu bertemu dengannya karena takdir. Dan aku berharap takdir ini tidak berdampak pada kehidupanku nanti. "Riva, kamu tinggal di mana?" "Jalan Mawar." "Oke, aku tau itu." Tak banyak hal yang aku obrolin dengan Ari. Aku takut salah ucap. Melihatnya saja aku sudah merasa berdosa. Seperti layaknya sebuah tamparan bagiku. Pertemuan pertama dengannya, tak berani aku ceritakan ke Bayu. Aku takut dia tersinggung. Mengingat dulu, mereka sempat bertengkar karena aku. Aku bukanlah wanita yang pantas untuk diperebutkan. Namun, itulah yang terjadi dulu. Saat Ari masih sibuk dengan kuliahnya, aku malah menyeleweng. Hidup jauh dari Ari, membuatku tak bisa menahan untuk tidak jatuh cinta lagi. Aku memutuskan Ari secara sepihak, membuat kuliahnya berantakan. Skripsi yang harusnya selesai tahun itu pun tertunda. Aku sempat bertengkar hebat dengan Ari, saat dia tahu aku menerima lamaran Bayu. "Jangan salahkan Bayu, Mas. Aku yang salah," kataku di tengah isakanku waktu itu. "Dia yang udah merebut kamu dari aku, bagaimana mungkin aku bisa diam? Aku sudah pernah bilang ke kamu Riva, silakan kamu pacaran dengan lelaki mana pun. Tapi, kalo menikah kamu harus dengan aku." "Itu nggak mungkin, Mas. aku sudah menerima lamaran Bayu." "Itu kesalahanmu. Please, Riva. Batalkan lamaran itu, dan kembali padaku." "Nggak Mas, aku sudah kenal keluarga Bayu, aku nggak mungkin mengecewakan mereka." "Lalu aku? Kalau memang kamu mau aku lamar sekarang, akan aku lakukan. Aku akan menyuruh orang tuaku datang ke rumahmu." "Semua sudah berakhir, Mas. Lupakan aku." "Nggak, belum. Aku masih mau berjuang." "Untuk apa? Aku sudah mengkhianatimu, itu artinya aku sudah nggak mau berjuang denganmu." Ari meremas rambutnya. Tanda dia tak tahu harus melakukan apalagi agar aku menuruti ajakannya. "Mas, kamu lelaki hebat. Aku yakin di luar sana banyak yang mengharapkanmu. Kamu mungkin bisa bertahan tanpa aku, tapi Bayu, aku nggak yakin itu." "Apa sekarang kamu sudah tidak mencintaiku?" tanyanya dengan nada pelan. Emosinya agak mereda. "Entahlah." Jujur aku juga menginginkan Ari, tapi entah kenapa aku malah menerima lamaran Bayu. Dan yang membuat aku sendiri heran, aku mati-matian membela Bayu, saat Ari memakinya habis-habisan. Itu untuk terakhir kalinya aku bertemu Ari. Dia dalam kondisi yang benar-benar kacau. Dan kulihat sekarang adalah Ari yang bermetamorfosis menjadi lelaki tangguh dan sukses. Keterpurukannya tidak membuatnya jatuh, dia seolah membuktikan padaku, kalau memang dia bisa bertahan tanpa hadirku di sisinya. Bahkan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik. Kurasakan kepalaku agak berat. Seolah ada sesuatu yang menimpaku seketika. Betapa aku tidak menyukai keindahan ini? Keindahan yang dulu sangat aku idam-idamkan. Tapi tak kunjung juga aku meraihnya. Sungguh beruntung istri Ari, memiliki suami yang sempurna. Seandainya dulu aku tak menolaknya, mungkin aku bisa hidup lebih baik dari sekarang. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan? "Mas, aku turun di sini saja," ucapku begitu mobil mendekati gerbang perumahan tempat aku tinggal. "Loh, emang udah sampai? Mana rumahmu, Va? " tanya Ari melambatkan laju mobilnya. "Rumahku masih masuk ke dalam, dan mobil nggak bisa masuk. Jadi, aku turun di sini saja, Mas." Ari menepikan mobilnya, mengambil posisi yang agak keluar dari jalan. Segera aku membuka sabuk pengaman. "Terima kasih, Mas. Maaf sudah merepotkan," ucapku lantas membuka pintu mobil, tetapi Ari buru-buru mencekal tanganku. Aku agak sedikit terkejut. "Riva, bisakah kita bertemu lagi?" tanyanya menatapku, membuatku salah tingkah. "Itu..." Aku bingung. "Aku tunggu kamu di kafe O'rin lusa, di jam yang sama seperti sekarang." "Tapi aku nggak janji, Mas." "Datanglah, aku menunggumu. Ada hal yang penting yang ingin aku bicarakan." Aku turun dari mobil Ari dengan perasaan yang sulit aku artikan. Geo di sampingku melambai penuh semangat saat mobil Ari merambat pergi. Kutatap bocah kecil yang tangannya masih kugenggam erat. Ia nampak sangat bahagia. Sepanjang perjalanan menuju rumah tak hentinya Geo bercerita betapa keren mobil Ari. Aku hanya sesekali tersenyum menanggapinya. Saat aku hendak membuka pintu rumah. Kupalingkan wajahku ke arah Geo. Anak itu asyik bermain bola yang ia pungut dari halaman tadi. "Sayang, dengarkan Mama." Anak itu mendongak, memperhatikanku. "Jangan ceritakan sama papa, ya, kalo kita bertemu Om Ari lagi. Jangan juga kamu ceritakan sudah naik mobil Om Ari." "Geo tau, papa nggak akan suka." Tanpa kuduga anak itu mengerti. Aku agak sedikit... Lega. Aku tak bermaksud menutupi sesuatu dari Mas Bayu. Tapi soal Ari, aku belum siap memberitahunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD