Kedai Kopi

1051 Words
Ini bukan seperti kedai yang ada di bayanganku. Sangat berbeda dengan warkop pinggir jalan. Ah, aku memang kurang luas bergaul. Ada tempat sebagus ini saja aku tidak tahu. Tapi, Bayu memang tidak pernah membawaku ke kedai kopi yang interiornya tampak begitu mewah seperti milik Ari ini. Paling banter kami mampir ke restoran siap saji. Itu pun lantaran menuruti keinginan Geo. Daripada makan ayam goreng tepung tentu saja aku lebih pilih nasi timbel dan lalapan. Lidah desaku memang tidak bisa dibohongi. "Nah ini buku menunya. Kamu mau makan apa, Va?" Aku melirik buku berukuran A4 dengan sampul glossy. Dari buku menu saja sudah bisa dipastikan harga menunya pasti mahal. "Aku ke sini mau nganter pesanan sekaligus balikin uang kamu, Mas." Aku membuka dompet, mengambil sepuluh lembar uang pecahan seratus ribuan dan meletakkannya di atas meja, tepatnya di hadapan Ari. Ari secara spontan melirik uang itu dan tersenyum tipis. "Padahal uang itu bisa kamu gunakan buat beli buku atau mainan Geo." "Nggak usah, Mas. Terima kasih," ucapku tersenyum. Aku tidak mau dia merasa tersinggung dengan penolakanku. Ari menghela napas sebelum meraih uang itu kembali. "Oke, tapi kalian nggak boleh nolak traktiranku loh. Ayo, Geo kamu mau makan apa, Boy?" "Ini kayaknya enak, Om." Geo menunjuk gambar menu minuman cokelat yang di atasnya dihias wipe cream dan wafer roll. "Oke boleh. Makannya Geo mau apa? Cemilan dan makanan berat ada loh." Ari membantu Geo membuka buku menu dan menunjukkan menu-menu andalan kedai ini. "Ayam goreng ada, ayam geprek, atau cemilan juga banyak. "Boleh ayam goreng, Ma?" tanya Geo meminta persetujuanku. Aku menengok jam tangan sebelum mengangguk. Aku beneran tidak sadar kalau sekarang sudah pukul sebelas siang. "Oke ayam goreng kremes ya. Kalau kamu apa, Va?" tanya Ari mengalihkan perhatian padaku. Jujur aku bingung memilih menu yang memang sudah kuprediksi mahal-mahal. Dan telunjukku jatuh pada gambar minuman yang berhiaskan irisan jeruk pada bibir gelasnya. "Lemon tea aja? Makannya apa?" tanya Ari lagi, lebih mirip desakan. "Ayolah, Va. Kan aku bilang mau traktir kamu dan Geo." Karena menghormatinya, aku putuskan memilih menu ramen. Senyum Ari terulas. "Good choice." Dia lalu memanggil pelayan kedai untuk memesan minuman kami. "Maaf, karena minggu lalu nggak bisa hadir pas grand opening," ucapku membuka percakapan. Sebenarnya aku bingung mau mengobrol apa. Awalnya aku berharap hanya mengantarkan pesanannya saja lalu pulang. Bukan malah duduk santai di kedainya. "Nggak apa-apa. Kamu mungkin lagi ada kegiatan lain." Aku tidak mengiyakan, dan lebih memilih mengedarkan pandangan ke kedai yang lebih mirip kafe ini. "Tempatnya bagus. Kamu yang desain?" Ari tersenyum dan menggeleng. "Aku nggak ahli mendesain. Aku menyewa jasa ahli untuk mendesain." Dia ikut mengedarkan pandangan, menatap ke sekeliling. "Aku masih sangat ingat kamu jago mendesain, seandainya kita masih bersama tentu aku bakal menyerahkan tugas desain ini sama kamu." Perkataan Ari membuat senyumku memudar. Dia selalu saja bisa membuat segalanya terasa sendu. Dia seolah sengaja membuatku menyesal karena tidak memilihnya. "Aku nggak jago membuat desain ruangan. Itu bukan keahlianku." "Apa kamu lupa dulu kamu yang bantu mendesain interior rumah Mbak Tari?" Aku tak nyaman mendengar itu. Meskipun hal itu benar, tapi menggali ingatan yang dulu-dulu hanya akan membuat perasaanku makin tak jelas. Mbak Tari itu kakak perempuan tertua Ari. Dan satu-satunya keluarga Ari yang aku kenal. Kami lumayan akrab, hingga saat Mbak Tari pindah rumah aku membantu menata semua perabot yang dia mau. "Itu aku cuma membantu kecil, selebihnya tetap Mbak Tari yang mengerjakan," bantahku. Aku tidak suka Ari terus membuatku melambung. "Whatever sih. Yang jelas kamu jago desain, jago gambar juga." "Om kok tahu kalau Mama jago gambar?" tanya Geo tiba-tiba. Tidak aku sangka dia menyimak obrolan kami. "Iya tahu dong. Om kan udah kenal mama kamu lama. Dari mama kamu masih sekolah," sahut Ari antusias. "Wah, beneran, Om. Jadi, Om lebih lama kenal Mama dari Papa dong." Aku berharap makanan kami segera datang agar obrolan mereka segera berakhir. "Oh jelas dong. Yang kenal Mama kamu itu Om duluan. Makanya Om heran Mama kamu menikahnya sama Papa kamu." "Ehem!" Aku berdeham kencang untuk mengalihkan perhatian mereka. Jika dilanjutkan obrolan mereka bakal melantur ke mana-mana. "Mama sakit tenggorokan? Harusnya tadi jangan pesan minuman yang ada esnya," ujar Geo dengan polosnya. Sementara Ari yang mrngerti maksudku berdeham sekencang itu hanya menyugar rambutnya. Beruntung pesanan kami akhirnya tiba. Geo berseru senang lantaran ayam goreng pahanya berukuran besar. "Habiskan ya," ucap Ari mengusap sayang kepala Geo. Yang dia lakukan terlihat tulus hingga hatiku merasa tercelus. "Oke, Om." Geo tersenyum senang sampai-sampai gigi-giginya yang kecil terlihat. Dia pasti senang akhir-akhir ini sering makan di luar. Biasanya hanya sebulan sekali kami makan di luar itu pun di tempat yang sama. "Kamu juga habis kan ya," ucap Ari tiba-tiba. Tatap teduhnya menyorotku. Aku langsung menundukkan pandang dan meraih sumpit yang sudah tersedia di sana. "Om makan apa?" tanya Geo melihat menu yang mungkin terlihat asing baginya. "Oh, ini namanya beef steak." "Emang kenyang makan itu doang tanpa nasi?" Geo tidak akan berhenti bertanya jika belum puas mendapat jawaban yang bisa dia pahami. "Kenyang dong. Di sini kan ada kentang goreng, nah kentang ini mengandung karbohidrat. Sama kayak nasi," jelas Ari, membuat Geo mengangguk-angguk. "Geo, udah ya. Jangan banyak tanya lagi. Om Ari mau makan. Kamu juga harus makan." Pelan aku menegur anak itu. Beruntung anak itu menurut. "Maaf ya, Mas. Kalau Geo bawel." Ari terkekeh pelan. "Bukannya itu bagus ya, Va? Itu tandanya anak kamu cerdas." "Tapi kadang merepotkan kalau dia terus bertanya." "Chilla juga sama kok senang bertanya. Dia sudah pintar bicara jadi ada aja hal yang ditanyakan." Chilla itu putri Ari yang baru berusia tiga tahun. Lagi masa lucu-lucunya, sayang sekali anak sekecil dan selucu itu harus pisah dengan ibunya. "Dia ... sekarang sama siapa?" tanyaku agak ragu. Aku takut Ari akan tersinggung dengan pertanyaan yang aku ajukan. "Dia sama pengasuhnya. Tadinya mau aku bawa dia ke sini, tapi ada acara di sekolahnya." "Acara sekolah? Di hari Minggu?" Ari mengangguk seraya memotong potongan daging berlumur saos hitam di piringnya. "Ke kebun binatang katanya." "Harusnya kamu menemaninya, Mas. Aku nggak masalah kalau pertemuan kita diundur. Atau kamu kan tinggal kirim alamat kamu, nanti aku kirim barang pesanan kamu." Ari tampak menggeleng tegas. "Bertemu kamu itu susah, aku nggak mungkin menyiakan kesempatan ini." Dia sedikit mencondongkan badan ke arahku dan berbisik. "Aku kangen kamu, Va." Sontak aku tersedak kuah ramen. Astaga, rasanya sangat perih di tenggorokan. Aku terbatuk dengan tidak elegannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD