'Ya, Tuhan. Semoga saja aku tidak melakukan kesalahan dengan membawanya pulang ke sini,' batin Elena, saat ia meninggalkan ruangan kerja ayahnya. Tidak hanya merasa ragu atas keputusannya, ia juga merasa agak cemas sekarang.
Well, di rumahnya memang ada beberapa pelayan pria, oke? Namun secara fisik, mereka semua biasa saja. Berbeda dengan Adam yang bisa ia perkirakan jika tingginya lebih dari 180 senti meter.
Dan di antara pelayan pria yang ia miliki, tak satu pun dari mereka yang terlihat seksi meski tidak menggunakan topeng pada wajah mereka. Sementara pria yang sedang mengikutinya sekarang—setiap otot yang muncul pada kemeja linen tipisnya, atau celana linen hitam yang membalut kaki jenjangnya serta bokongnya yang indah, semua itu berhasil menarik perhatian para pelayan wanitanya termasuk Elena sendiri.
Terlebih lagi, ayahnya seakan menyadari betapa kuatnya pesona pria itu hingga ayahnya memperingatkan Adam di dalam ruangannya beberapa saat yang lalu.
Kini, Elena baru sadar, gara-gara ketakutannya yang berlebihan terhadap Cedric, ia justru telah membawa masalah besar kepada dirinya sendiri.
'Tidak, kau melakukannya atas permintaan Ibumu,' celetuk hatinya, membela apa yang ia lakukan.
Di belakang Elena, Adam berusaha menjaga jarak, diam seperti bayangan. Langkah kakinya begitu tenang dan terkendali. Elena bisa merasakan tatapan dari balik topeng besi pria itu seakan menembus punggungnya seperti sepasang mata yang mengawasinya tanpa jeda. Membuat punggungnya terasa panas dengan cara yang aneh.
Sesampainya di depan pintu kamar tamu, ia pun menghentikan langkahnya. Elena bisa mendengar jika Adam melakukan hal yang sama dengannya.
"Ini kamarmu, kau bisa beristirahat di sini. Besok jam 8 pagi, seorang pelayan akan mengantarkan beberapa pakaian baru untukmu. Kalau kau membutuhkan sesuatu katakan saja padanya, atau pelayan lain, mereka sudah bangun pada jam 6 pagi," terangnya menjelaskan pada Adam, berusaha terdengar tegas meski suaranya nyaris tersendat. Elena bahkan kesulitan bernapas dengan baik saat pria itu hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun. Baginya, Adam lebih baik berbicara nakal daripada diam membisu.
Adam terus menatap Elena dari balik topengnya. "Aku tidak membutuhkan apapun lagi malam ini. Istirahatlah, My Lady. Kulihat Anda sudah cukup lelah ... memikirkan bagaimana caranya menjinakkan seekor serigala."
'Sialan kau!' maki Elena dalam hati, tanpa ingin menatap Adam sama sekali. Yang ia lakukan hanyalah mundur satu langkah agar pria itu bisa masuk ke dalam kamarnya.
Setelah Adam melakukannya, menunduk singkat padanya lalu menutup pintu kamar, Elena justru bergumam pelan sebelum ia meninggalkan tempat itu.
"Aku pikir kau bukan serigala! Kau hanya seekor burung hantu yang mencoba menakut-nakutiku." Setelah itu, ia pergi dengan wajah cemberut.
Di balik pintu kamar, Adam yang sedang bersandar di daun pintu—diam-diam tertawa kecil.
"Hmm, haruskah aku terkejut dengan sikap berbedamu ini, Lady Light?" dengan punggung telapak tangannya ia mengusap cuping hidungnya yang terasa menghangat. Tidak menduga kalau malam ini ia akan bertemu dengan Elena di Colosseum, apalagi berpikir jika wanita itu akan membelinya.
Sayangnya, kesenangan yang ia rasakan itu hanya sebentar, hingga percakapan Elena dengan ayahnya di ruang kerja Sir Aldric beberapa saat yang lalu menyentil otak kecilnya. Membuat rahangnya seketika mengeras. "Apakah wanita itu masih hidup?" Adam menggelengkan kepalanya, "tidak, walau aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, tapi semua yang berada di tempat wanita itu menghembuskan napas terakhirnya telah bersumpah jika wanita itu benar-benar telah mati. Lalu, apakah arwahnya yang telah menghubungi putrinya?" bisiknya.
***
Pagi hari menyapa Kota Mercia dengan kabut tipis yang menari di atas rerumputan. Burung-burung camar terbang rendah di langit kelabu, sementara sinar matahari masih malu-malu menembus jendela besar rumah keluarga Light.
Elena sudah bangun, berdiri di dalam kamarnya, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut, rambutnya terurai di punggungnya. Gara-gara keberadaan Adam di rumahnya—ia jadi bangun lebih pagi hari ini. Masih tidak percaya bahwa pria yang ia temui di Colosseum kini tinggal serumah dengannya.
"Dasar bodoh," sungutnya. "Apa yang telah kupikirkan semalam? Dan walau Ibu memintaku untuk mengumpulkan para Ksatria Cahaya, tapi haruskah aku memintanya untuk tinggal bersamaku? Hanya dua kamar dari kamarku?" Elena menarik rambutnya dengan sebal, bahkan ingin rasanya ia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding demi menyadarkan dirinya.
Namun sebelum pikirannya sempat memerintahkannya untuk bertindak lebih jauh, langkah pelayannya terdengar dari koridor di depan kamarnya. Disusul oleh suara ketukan di pintu setelahnya.
"My Lady, My Lord telah menunggu untuk sarapan bersama."
Elena menunduk lesu. "Baik, aku akan segera ke ruang makan!" sahutnya lemas.
Beberapa saat kemudian ...
Elena telah berjalan melewati koridor dengan pikiran berkecamuk, ia sempat berhenti sejenak. Dari arah taman, samar-samar ia mendengar suara seperti seseorang sedang memukul sesuatu.
Ia menoleh, mendekati jendela besar, dan di sanalah ia melihatnya—Adam.
Pria itu sudah berlatih sejak pagi-pagi sekali, hanya mengenakan kemeja tipis yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Gerakannya cepat, presisi, seperti seseorang yang sangat mahir dalam bertarung. Setiap tebasan pedangnya terasa hidup—seolah ia sedang menari bersama angin pagi.
Elena terdiam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar. Sebuah ketertarikan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Tanpa ia duga, tiba-tiba Adam melemparkan pandangan padanya. Mata mereka bertemu, membuat jantungnya berdegup gugup. Dengan cepat Elena memutuskan koneksi yang terjalin tanpa sengaja itu dengan memalingkan wajahnya yang bersemu, lalu terburu-buru melangkah ke ruang makan.
"Jangan merah, jangan merah! Kumohon," bisiknya sembari menepuk-nepuk pipinya dengan kedua tangannya.
Di taman, Adam memperhatikan apa yang Elena lakukan itu dengan kedua alis menaut di tengah. Tidak mengerti mengapa wanita itu menghindarinya seakan ia baru saja melakukan sesuatu yang salah.
Sesaat setelahnya, ia menegakkan tubuhnya. Rasanya sudah cukup latihan yang ia lakukan pagi ini. Lagipula ia butuh mandi dan mengganti pakaiannya.
Suara jam dinding terdengar dari dalam rumah, Adam menghitung dentangnya. Delapan kali, seharusnya pakaian gantinya sudah dihantarkan ke kamarnya. Ia pun melangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah. Aroma roti panggang dan teh camomile tercium di udara, dari arah ruang makan. Perut Adam bereaksi dengan berbunyi pelan.
"Aku harus segera mengisi perutku. Tapi ... ke manakah seharusnya aku meminta sedikit makanan?" Berpikir jika Sir Aldric akan berada di ruang makan bersama Elena, ia pun menggelengkan kepalanya. Bagaimana pun, saat ini ia hanya seorang b***k.
Sementara itu di ruang makan ...
Elena sudah menempati salah satu kursi yang mengelilingi meja makan besar, berusaha terlihat tenang meski pikirannya masih melayang pada sosok di taman tadi. Setiap kali ia memejamkan matanya, bayangan Adam—dengan gerakan pedangnya yang begitu teratur, kuat, dan indah, kembali muncul di dalam benaknya.
Sir Aldric yang duduk di sebelah putrinya itu melirik secara diam-diam. Memperhatikan Elena di sela uap teh yang mengepul. Ada sesuatu di wajah putrinya itu pagi ini yang terlihat berbeda. Bukan hanya sekadar gurat lelah, tapi Elena juga tampak ... sedikit gelisah.
"Tidak biasanya kau bangun sepagi ini," lontarnya menegur putrinya sembari mengambil sepotong roti dengan garpu perak, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
Elena tersenyum kaku. "Mungkin karena semalam aku sulit tidur, Yah."
"Karena ksatria barumu itu?"
Pertanyaan itu membuat Elena hampir tersedak tehnya. Ia buru-buru meletakkan cangkir di tangannya ke atas meja, lalu menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona merah di pipinya. "Aku hanya belum terbiasa dengan kehadiran orang asing di rumah ini," cicitnya.
Sir Aldric menempatkan garpu dan pisau di tangannya ke atas piringnya, menyandarkan punggungnya, kemudian menatap putrinya lekat-lekat. "Nak, kau yakin ingin melakukan ini?"