Part 1

3383 Words
Aku berjalan menelusuri koridor bersama sahabatku-Alya Aqilah . Yap tepat satu minggu ini kami di terima di salah satu perusahaan amat ternama milik keluarga Bachtiar. PT Air corps yang baru berdiri sekitar tujuh tahun yang lalu. Aku tak memahami banyak tentang perusahaan ini, yang aku sedikit tahu pemiliknya juga memegang salah satu Pondok Pesantren di Ibu Kota ini yang amat ternama. Dari ratusan orang yang mendaftar, kami termasuk orang yang beruntung karena bisa turut bergabung disini. Setelah melewati beberapa tes dan Interview Alhamdulillah kami lolos. Awalnya kami tak percaya bisa bekerja di tempat bonafid seperti ini. Mungkin sudah rejekinya kali ya. Kebetulan juga saat disini aku langsung diangkat sebagai sekretaris oleh pemiliknya, soalnya sekretaris yang lama sudah resign sebab mengurus bayi kecil. Karena tempat ini juga merupakan tempat aku magang waktu kuliah dulu, jadinya beliau sudah cukup kenal denganku. Aku akui, orang-orang disini cukup ramah. Terbukti dari cara mereka menyapaku dan Alya. Tanpa sungkan, kami pun membalasnya tak kalah ramah dengan senyum setulus mungkin. Pakaiannya juga sopan. Meski tidak semua, tapi sebagian besar wanita disini mengenakan hijab. Saat sedang asyik bergurau dengan Alya, tiba-tiba ada seorang pria berkacamata menghampiri kami sambil membawa seperangkat alat kebersihan. Mungkin dia salah satu OB disini. "Permisi Mbak,"katanya. "Iya, kenapa ya, Mas?"balasku sambil menunduk. Bagaimanapun aku juga ingin pandai dalam gadhul bashor terhadap lelaki yang bukan mahromku. "Punten sebelumnya, nopo leres sampean sing kagungan nami Keenara Azalea?"tanyanya dengan logat jawa yang membuatku tidak mengerti. Aku rasa, dia asli jawa deh. Yang aku paham hanya sepintas namaku yang ia ucapkan di akhir kalimat. Aku melirik ke arah Alya sekilas bermaksud tanya 'dia itu ngomong apa sih?'tapi gadis itu hanya menggelengkan kepala pertanda tak mengerti. "Maaf sebelumnya, eum Mas bisa pakai bahasa Indonesia saja tidak? soalnya saya tidak paham," ucap ku berhati-hati. Pria itu tampak menggaruk dahinya yang tak gatal seperti sedang berfikir "Anu itu...sam-eh kamu, kamu yang anu...apa ya...itu...yang.. namanya Keenara bukan?"celetuknya pada ahirnya yang membuatku dan Alya terkekeh geli. Bagaimana tidak, dia sangat lucu saat berbicara dengan Bahasa Indonesia yang tampak seperti kebingungan. Bukan aku mau menghina, tapi asli ekspresinya lucu banget nggak boong. "Iya saya, memangnya kenapa?" "Tadi anu ... kamu ... ditimbali sama Pak Rasyid." "Eh dipanggil maksudnya."ralatnya cepat. Aku mengangguk sedangkan Alya hanya diam dan meyimak percakapan kami. "Kulo permisi rien nggeh, eh...saya pergi dulu!"pamitnya buru-buru pergi seraya membawa alat kebersihannya. Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya yang cukup kocak. Lumayan pagi-pagi gini udah dapat hiburan gratis. "Ahahaha...Ra, iu cowok siapa sih? lucu banget! Perut aku ampe sakti,"ucap Alya memegangi perutnya yang mungkin saja kram habis tertawa lepas. "Aishhh gak boleh gitu tau!"tuturku. Gadis di sampingku berusaha meredakan tawanya. "Iya iya maaf, eh tadi dia bilang apa?kamu di panggil Pak Rasyid?"tanya Alya. Pak Rasyid adalah atasan kami, tepatnya pemilik perusahaan ini. Aku menepuk jidat ku pelan. "Oh iya,"aku teringat dengan ucapan lelaki itu beberapa menit yang lalu. Ada apa ya?tumben sekali beliau mengundangku sepagi ini. Atau mungkin saja ada hal penting yang ingin beliau bicarakan. "Al, aku duluan yah,"gadis disampingku mengangguk. Sejurus kemudian, aku langsung berlari menuju lift agar cepat sampai di lantai tiga, ruangan Pak Rasyid berada. Jujur saja jantungku memompa lebih cepat hari ini. Walaupun sering bertemu tapi kali ini rasanya berbeda. Sebisa mungkin aku mengontrol rasa nervous ku. Tok... tok... tok Tiga kali aku mengetuk pintu. "Assalamualaikum!"salamku di depan pintu yang masih tertutup. "Walaikumussalam!masuk!"perintahnya. Setelah mendengar suara berat itu, perlahan aku memutar knop pintu seraya melangkahkan kaki ke dalam. Terlihat seorang pria paruh baya tengah berdiri di dekat jendela balkon dengan satu tangan yang ia masukkan pada saku celana. Perasaanku semakin tak karuan. "Maaf... apa benar bapak memanggil saya?"tanyaku berhati-hati. Pria paruh baya itu menengok kemudian mengangguk singkat. Senyum hangat selalu terpatri diwajahnya yang sedikit berkeriput. "Ka--kalau bo--boleh tau ada apa ya pak?"gugupku. Alih alih menjawab pria dihadapanku malah tertawa kecil. Aneh. Pikirku. Apa ada yang lucu dengan pertanyaanku? aku rasa tidak. "Santai saja Nara, saya tidak akan memakanmu! Lagian bukankah kita sering ketemu? lantas kenapa kamu seperti ketakutan seperti itu?"ucapnya diselingi kekehan. Aku hanya menyengir kuda. "Eh sa---" "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepadamu,"potongnya. Aku mendongak dengan tangan yang kusidakepkan didepan perut. "Apa itu pak?" "Kamu tahu kan kalau akhir-akhir ini saya sering sakit -sakitan?" Aku mengangguk. Memang benar tiga hari terakhir ini beliau sedang kurang sehat. Wajahnya juga kadang terlihat lesu. Uhuk uhukk "Iya pak, saya mengerti itu." "Saya rasa saya sudah tidak sanggup mengurus kantor ini sendirian." jeda beberapa detik. "Mulai besok putra bungsu saya yang akan menggantikan posisi saya disini, dia masih lajang. Saya akan tetap mengawasi kantor ini tapi mungkin tidak terlalu sering. Apalagi saya juga ingin fokus mengurus santri santri saya di pondok."terangnya. Aku masih setia menyimak sampai pria itu menuntaskan ucapannya. " Dan itu tandanya mulai besok kamu bukan lagi sekretaris saya, melainkan sekretaris putra saya. Saya harap kamu bisa bekerja sama secara baik dengannya."lanjutnya. Aku berusaha mencerna ucapannya barusan. Apa?! Putra? berati cowok dong. Iya sih secara anak pak Rasyid cuma ada dua dan yang aku tahu cowok semua. Yang satu sudah menikah. "Ba...baik pak, akan saya usahakan."balasku. Beliau tersenyum singkat. "Terima kasih Nara, kalau gitu kamu boleh kembali keruanganmu."titahnya. Setelahnya aku langsung keluar dari ruangan itu. Hufttt... akhirnya aku bisa bernafas lega sekarang. Aku pikir apaan tadi? ternyata cuma mau bilang masalah itu toh. Syukurlahh... Ditengah perjalanan aku berpapasan dengan Alya. Wanita berkemeja marun itu menghampiriku. "Ra, kamu disuruh apa?"tanyanya penasaran. "Nggak apa-apa."balasku. Aku memegang kepalaku yang terasa berdenyut. Sepertinya efek karena aku belum sarapan pagi ini. Alya menatapku dengan tatapan kawatir. Gadis itu meraih pundaku. "Kamu kenapa? kamu sakit?"tanyanya panik. kruyuk Aku menyengir tatkala cacing dalam perutku berdemo. "Nggak papa, mungkin efek aku belum sarapan kali. Kekantin yuk,"ajakku. Dapat kulihat kalau Alya memutar bola matanya. "Aelah. Aku kira kenapa. Kamu nggak tahu ya kalau aku khawatir banget sama kamu." Aku mencolek dagunya pelan seraya berucap, "Ciee... perhatian." Alya menghentakan kakinya kesal. "Auah gelap."gadis itu berjalan mendahuluiku, masih dengan ekspresi kesalnya yang membuatku terus tertawa. Tanpa membuang waktu aku langsung menyusul Alya. *** Jalanan kota yang biasanya ramai orang berlalu lalang, kini terlihat begitu renggang. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.37 tapi aku masih bertahan di tempat ini. Sudah hampir setengah jam lebih aku menunggu taksi. Namun, tak ada satupun taksi yang kunjung datang. Biasanya juga banyak. Kenapa hari ini mendadak sepi? Berkali kali aku melirik arloji perak di pergelangan tanganku, sampai aku bosan sendiri. Aku sudah bersabar menunggu, tapi tak ada satupun kendaraan umum yang lewat. Coba saja motor matic yang biasa aku pakai tidak sedang di bengkel, pasti saat ini aku sudah sampai dirumah. Saat hendak berjalan, tiba-tiba sebuah mobil BMW putih melintas dan berhenti tepat disamping kananku. Kaca mobil terbuka dan memampakan sosok pria tampan dari dalam sana. Aku sedikit terkejut saat melihatnya, tapi sebisa mungkin aku menormalkan mimik wajahku. Tidak bisa dipungkiri bahwa jantungku didalam sana berdetak dua kali lebih kencang. Oh Allah... dia kan pria yang selama ini menari-nari dipikiranku, ku sebut namanya di setiap sepertiga malamku, ku pinta dirinya kepada Engkau. Jujur, selama hampir dua tahun ini aku sudah memendam rasa terhadapnya. Entah sejak kapan rasa itu hadir, mengisi kembali relung hati yang pernah hampa. Namun aku sadar diri aku bukanlah siapa siapa dan bukan apa-apa. Dia tokoh agama yang amat terkenal, sedangkan aku hanya wanita biasa yang sedang berusaha memperbaiki diri. Mau bagaimanapun aku tak boleh berharap lebih selain pada sang pencipta. Karena apa, aku takut jika berharap selain kepadanya hanya rasa kecewalah pada akhirnya. Tersadar dari pandanganku, aku segera mengalihkannya. Pria itu mengucapkan salam "Assalamualaikum Ra," "Walaikumussalam, ustadz Ilham."balasku menunduk sambil melirihkan kata terakhirku. "Kamu kenapa masih disini? ini udah hampir maghrib loh," "Eumm iya tadz, Nara lagi nunggu taksi tapi belum ada yang datang."cicitku. "Ya sudah bareng sama saya saja,"tawarnya. Sontak aku langsung menggeleng. Bagaimana mungkin aku berduaan dengan pria yang bukan mahromku. "Nggak perlu tadz, bentaran lagi paling ada taksi lewat."tolakku halus. Ustadz Ilham tampak diam sejenak. "Tapi Ra ini udah hampir maghrib dan mungkin tidak akan ada taksi yang lewat. Lebih baik kamu ikut saya saja agar lebih aman." "Lagipula ini jalanan sepi apalagi kamu wanita kalau terjadi apa apa bagaimana?"lanjutnya. Benar juga kata Ustadz Ilham. Tapi sungguh aku tak mau berkhalwat. Jika aku tak menurutinya aku tak bisa menjamin kalau diriku akan aman saat di jalan nanti. Kalau ikut Ustadz Ilham berati cuma berduaan. Aku bimbang... "Tidak apa Nara."katanya Oke. Katakan saja ini darurat. Aku mengangguk pelan. "Ba...baik Ustadz."akhirnya aku menerima tawaran itu. Senyum tipis terpatri jelas di wajahnya. Namun rasa ragu kembali menyelimutiku tatkala aku hendak memasuki mobil. Antara duduk didepan atau belakang. Jika didepan aku dan Ustadz Ilham bukan mahrom dan itu sangat tidak pantas. Jika di belakang dia bukan sopirku. Karena bingung sedari tadi aku hanya maju mundur tak tentu di samping pintu mobil. Memahami keterbingunganku ustadz Ilham angkat bicara. "Di belakang saja tak apa Nara," "Tapi Nara--" "Saya paham Ra."potongnya dengan nada tegas. Aku duduk di jok belakang. Selama lima menit berlangsung, tak ada satupun dari kami yang membuka pembicaraan. Saling diam membisu dan berperang dengan pikiran masing-masing, itulah yang kami lakukan. Bukan apa, hanya saja suasana saat ini terasa canggung bagiku. "Nara,"panggilnya melirik dari kaca spion. Aku terkesiap. "Iya Ustadz,"jawabku. "Kamu kenapa?dari tadi saya perhatikan sepertinya kamu sedang gelisah,"ucapnya yang memang benar. Entah kenapa hatiku rasanya begitu gelisah saat ini. "Nggak papa Ustadz, perasaan Ustadz saja kali,"sangkalku. "Cerita saja Nara, siapa tahu saya bisa bantu." Aku diam sejenak "Sebenarnya Nara gak nyaman kalau kita yang belum halal berada dalam satu ruangan seperti ini dan, hanya berdua."jujurku. Upss! bilang apa aku tadi? belum halal?berarti secara tidak langsung aku mengkode Ustadz Ilham untuk menghalaliku dong? Keenara...apa yang kau pikirkan! rutukku dalam hati. Pria itu tampak tersenyum tipis. "Kamu mau cepat-cepat saya halalkan?"katanya santai dengan satu tangan yang berada di stir mobil. Jederr!! "Bub-bukan begitu maksud Nara Ustadz!afwan sepertinya Nara salah bicara,"sanggahku. Kalau begini aku kan jadi maluu... "Jika kamu mau juga nggak papa." Blushh Entah bercanda atau tidak ucapannya, yang pasti pipiku sudah memerah saat ini. Jantungku semakin bermarathon tak karuan. Kalau boleh aku ingin menghilang saat ini juga. "Lupakan ucapan Nara Ustadz, Sungguh Nara gak bermaksud seperti itu," "Bermaksud juga nggak papa Ra!"balasnya Aku semakin salah tingkah. Ingin rasanya segera sampai di rumah, tapi perjalanan terasa begitu lambat. Aku sudah kepalang malu sekarang. Kenapa sih ni mulut gak bisa diajak kompromi dikit! "Kamu mau saya lamar?"Entah itu sebuah penawaran atau pertanyaan aku pun tak tahu. Aku tak berkenan untuk menjawab. Daripada salah ngomong lagi kaya tadi. "Nara kamu dengar saya?" "Hah?Iya tadz, Nara dengar kok." "Jadi gimana?" "Gimana apanya Ustadz?"tanyaku polos. "Gimana jawaban kamu mau atau tidak?" Urung aku menjawab, mobil Ustadz Ilham terhenti tepat didepan rumahku. Aku bernafas lega. "Ustadz, sudah sampai. Nara pamit dulu yah! makasih tebengannya."kataku bergegas yang memang sudah berada di gerbang depan rumah. Terlihat di ambang pintu Umi sedang menungguku. "Kamu belum jawab pertanyaan saya Ra," "Lain kali Ustadz udah mau malam ini! maaf ya Nara gak suruh Ustadz buat masuk dulu... lain waktu ndak papa kan?" Bukannya menjawab, aku malah berusaha mengalihkan pertanyaan. Pria itu hanya terdiam mengamati semua gerak gerikku. "Sekali lagi makasih Ustadz!Assalamualaikum,"cengirku Tanpa menunggu balasan salam darinya, aku langsung ngacir ke dalam menghampiri Umi. "Assalamualaikum Umi,"aku mencium tangan paruh baya yang telah berjasa melahirkanku itu. Meski tidak semuda dulu, tapi wajah itu masih terlihat berseri. "Walaikumussalam, tumben jam segini baru balik? Umi udah hubungi handphone kamu tapi nggak aktif. Bikin khawatir aja."katanya membuatku merasa bersalah. "Maaf Mi, tadi handphone Nara low terus nggak ada taksi. Makanya Nara telat."jawabku dengan kepala yang tertunduk. Aku takut jika Umi marah kepadaku. "Lantas mobil yang tadi itu siapa?kayanya di dalamnya juga ada laki- laki?" "Jangan-jangan kamu pacaran ya nak!"selidiknya membuatku menggeleng cepat. Umi dan Abi selalu gencar mengawasiku agar tidak pacaran. Namun perlu kalian ketahui hukum pacaran dalam islam merupakan hal terlarang dan haram. Karena Allah telah melarang untuk mendekati zina. Mau tidak mau, pacaran adalah pintu yang sangat dekat dengan perzinaan. Efek dari pacaran ini pun telah banyak diketahui banyak orang, bahkan sering ada pernikahan yang terjadi karena ‘kecelakaan’, hamil di luar nikah. Namun sayang seribu sayang, banyak orang tua yang membiarkan anaknya pacaran, atau bahkan ada yang malah meganjurkan, na’udzu billah. Padahal Allah berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا ﴿٣٢﴾ “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa: 32) "Astaghfirullah Nara gak pernah pacaran mi!nau'dzubillahimindzalik!Lagian pacaran gak ada faedahnya juga"ucapku. Tapi di satu sisi, aku beruntung memiliki umi dan Abi yang begitu peduli padaku. Mereka selalu berusaha menjagaku dari hal hal yang tidak baik. "Syukurlah! ya sudah kamu sholat dulu gih, habis itu mandi terus makan! Umi tunggu diruang makan ya,"titahnya. Aku pun menganggukinya. Tepat pukul tujuh aku langsung turun kemeja makan. Disana sudah ada Umi dan Abiku tengah berbincang ria. Kedua sudut bibirku tertarik sempurna, aku langsung bergabung diantara mereka. Rasanya setelah aku bekerja waktu kumpul bersama keluarga seperti ini menjadi jarang. "Gimana kerjaan kamu, sayang."Abi bertanya kepadaku. Aku mengukir senyum tipis. "Alhamdulillah, baik Abi."ucapku seraya mengambil nasi. Pria yang menjadi cinta pertamaku itu mengusap pucuk kepalaku lembut. Hal ini yang paling aku suka dari Abi, aku merasa sangat disayang. "Jangan terlalu diforsir. Abi nggak mau kamu sakit. Kerja seperlunya aja. Lagipula tanpa kamu kerja juga Abi masih sanggup biayain." "Betul kata Abimu, Nak."Umi ikut menimpali. "Iya, Nara paham kok." Abi menjawil hidungku jahil, dan aku yakin setelahnya pasti memerah. "Sakit Bi,"sungutku seraya mengusap bekas cubitan Abi. Pria itu terkekeh. "Gemas sama putri kecil Abi." Bibirku mengerucut tatkala dikatai putri kecil oleh Abi. "Ishh. Aku bukan putri kecil Bi, buktinya aku udah bisa cari kerja." "Sampai kapanpun kamu tetap putri kecil buat Abi." *** Author Pov Seorang pria mengenakan jaket kulit berwarna coklat kini tengah duduk santai di sebuah cafe sambil menyesap kopinya. Sudah hampir dua jam lamanya, dia menunggu sahabatnya tapi yang ditunggu belum kunjung datang. Pria pemilik nama lengkap Abidzar Alka Bachtiar tersebut mendengus kesal. Harus berapa lama lagi ia menunggu?rasanya sudah seperti lumut saja disini. Saat sedang asyik mengotak atik ponselnya, seseorang datang dan dengan santai menggaplak kepalanya membuatnya terlonjak kaget. Ingin sekali ia rasanya mengumpat pada orang dihadapannya itu. Sudah datangnya telat, sekarang malah membuatnya bertambah kesal. Padahal dirinya sendiri yang membuat janji. "Lo tu ya, dasar sahabat nggak tau diri! udah dateng telat, main gaplak aja!"sinis Abidzar. Ilham hanya menyengir kuda menampakkan deretan gigi rapinya. "Sorry bro! gue ada urusan bentar tadi!"katanya tanpa dosa. Abidzar memutar bola matanya jengah. "Lo kira lo aja yang ada urusan? gue juga punya kali! Kalo tau begini, mendingan gue di rumah aja tadi bantuin Abi ngerjain berkas berkas penting!"balasnya tak mau kalah. Abidzar memang belum terjun langsung di dunia bisnis. Tapi keahliannya dalam mengurus bidang ini tidak perlu diragukan lagi. Karena waktu ia masih kuliah dulu, terkadang ia ikut Abinya untuk ke kantor jika ada waktu luang. Jika dirumah pun, Abidzar sering membaca proposal yang menyangkut tentang perusahaan jadi sedikit demi sedikit ia paham. Ilham mencebikan bibir. "Sok sibuk Lo!"ejeknya. Abidzar mendelik ke arah Ilham. "Emang gue sibuk." "Heleh... gaya lo rek!"cibir Ilham. "Sirik aja lo jadi orang!"sarkas Abidzar. Lama-lama ia ingin menelan sahabatnya yang satu ini. "Biasa aja kali!" "Ckk...udah deh to the point aja lo ngajak gue ketemuan mau apaan?"tanya Abidzar tanpa basa basi. "Gue kangen sama lo."ucap Ilham ngawur seraya menampakan wajah imutnya, membuat Abidzar bergidig ngeri. "Idihhh jijik gue!"katanya sembari memperagakan seperti ingin muntah. Ilham tak menanggapi ucapan sahabatnya. "Gue tanya serius Ham,"cecar Abidzar. "Gue juga serius jawabnya," balas Ilham santai. Karena merasa lapar, Abidzar memanggil waiter kemudian memesan beberapa makanan. Tidak banyak hanya ayam bakar, sambal trasi, lele goreng, cah kangkung serta nasi. Ilham yang melihat tingkah sahabatnya hanya bisa menggelengkan kepala. Heran, dosa apa dia sampai punya sahabat seperti Abidzar. Untung spesies seperti itu hanya satu yang ia pernah temui dalam hidupnya. "Lo doyan apa laper Zar?" Abidzar melirik Ilham sekilas kemudian melanjutkan aksi makannya yang menggunakan tangan. Terlihat begitu nikmat memang. Ilham hanya meneguk ludahnya. "Lo mau?nih,"tawar Abidzar sembari meyuapkan tangan kanannya ke arah Ilham. "Gue masih waras kali!"tolak Ilham. Abidzar terkekeh pelan. Abidzar kira, Ilham jeruk doyan jeruk apa? pake suap-suapan segala. Aishhh. "Yang bilang lo gila siapa Ham?"tanya Abidzar disela makannya. "La tadi ngapain lo pake acara nyuapin gue segala?"polos Ilham. "Lho? gue cuma nyuapin kan nggak bilang lo gila? lo sendiri yang bilang bukan gue!"balas Abidzar. Ilham berdecal sinis. "Ck. Salah apa sih gue bisa ketemu orang kaya lo! Nggk waras!"ucap Ilham pedas. Pria dihadapannya hanya bersikap acuh sambil mengedikan bahu. Tidak usah heran jika mereka bertemu pasti ribut seperti ini. Terlalu biasa. Apalagi jika mengingat persahabatan mereka yang terjalin cukup lama. Abidzar menghentikan aktivitasnya sejenak, kemudian mengambil jus yang ada diatas meja lantas meneguknya. "Salah lo banyak!" Ilham heran dengan kelakuan sahabatnya itu. Kenapa juga wanita secantik Umi Aisyah bisa melahirkan pria aneh seperti Abidzar. "Umi lo ngidam apa sih sampe keluarnya orang kek lo?!" "Tanya Umi gue lah! Masa tanyanya sama gue!gue kan nggak pernah hamil,"tukas Abidzar yang memang tidak salah. Kini Abidzar merasa sangat kenyang. Perlahan ia menyandarkan punggungnya di kepala kursi sembari menggumamkan hamdalah. "Zar!"panggil Ilham "Hm," "Gue kayanya suka deh sama akhwat."ucap Ilham sambil tersenyum sendiri membayangkan wajah pujaan hatinya. "Ya teruss?" "Gue pingin lamar dia" "Ya tinggal lo lamar aja ribet amat!"celetuk Abidzar. "Sama lo yah,"pinta Ilham "Ogah!"tolak Abidzar mentah mentah. Membuat Ilham menggerutu kesal. "Sekali aja lo bantuin gue ngapa?" "Lo tinggal ajak Ibu sama Bapak lo ngapain juga ngajak ngajak gue! lagipula yang berperan penting disini selain lo adalah orang tua lo! Mau gimanapun juga mereka yang bakal ngasih lo restu, bukan gue!" "Ya iya sih, maunya gitu cuma masalahnya mereka lagi ada di jogja sekarang ngerawat nenek gue yang lagi sakit." "Ya tunggu sampe pulanglah,"ucap Abidzar enteng. "Kelamaan. Mereka kalo udah sekali disana bisa gak ingat waktu, sesukanya kalo udah puas baru balik! keburu gebetan gue di ambil orang nanti,"kesal Ilham "Ya berati bukan jodoh lo!" Ilham menjitak dahi Abidzar. "Aww... sakit pinter!"desis Abidzar sambil mengusap dahinya yang terasa berdenyut. "Kebiasaan tu mulut kalo nyablak nggak kira-kira!" Pada akhirnya kekesalan Ilham sudah naik di ubun-ubun. Ingin sekali ia mencekik makhluk yang ada dihadapannya. "Jadi lo suruh gue ketemuan cuma buat ngomongin ini?"kata Abidzar. "Yaiyalah"balas Ilham "Gue nggak mau!"bantah Abidzar penuh penekanan. Ilham melirik tajam ke arah Abidzar. "Biasa aja tu mata!"sewot Abidzar. "Gue gak mau tau pokoknya lo kudu bantuin gue!"paksanya. "Idihh...maksa" "Bodo!" Abidzar memutar bola matanya jengah. "Yayaya sebagai sahabat yang ganteng, baik, dan tidak sombong kayanya gue harus pulang sekarang karena di rumah banyak kerjaan." "Nggak ada! Sebelum lo bilang mau bantu gue, gue nggak ijinin lo pulang!" "Lo siapa gue?" "Sahabat lo. Orang yang akan selalu ada saat suka maupun duka." Abidzar menghela nafas kasar. "Gue SIBUK!"tekannya. Ilham menajamkan sorot matanya. Menyadari kekesalan sahabatnya, Abidzar kembali membuka suara. "Iya, gue bantu kalo lagi senggang. Lo kabarin aja ntar kalo gue bisa, pasti gue bantu!"putusnya. Senyum Ilham mengembang sempurna. "Okeh" dia mengacungkan kedua jempol. Abiza beranjak kemudian menyambar ponselnya di atas meja. "Btw, makanan gue lo yang bayarin."Abidzar sedikit berteriak karena posisinya sudah lumayan jauh dari Ilham. "Kopinya sekalian!"lanjutnya. Ilham melongo. Sedetik kemudian ia menggeram. "Abidzarrrr!" Level kekesalannya sudah memuncak diubun-ubun. "Ck! "sungut Ilham. "Untung sahabat! kalo bukan udah gue lempar lo ke samudra Hindia biar lo dimakan ikan hiu, ikan paus, dan kawan kawan."gerutunya. Ia memanggil waiter meminta bil. Sesudahnya pria dengan paras cukup tampan itu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya. "Makasih!"kata Ilham Pelayan itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Kemudian berlalu dari hadapan Ilham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD