Pagi itu, aroma bawang putih dan cabai tumis mulai memenuhi dapur kecil Dapur Cinta.
Alya berdiri di depan kompor, rambutnya diselipkan rapi ke dalam kerudung abu muda. Gerakannya cekatan, tapi lembut — seperti seseorang yang menari di antara uap panas dan wangi rempah.
Andre berdiri di seberang, memperhatikan diam-diam.
Sudah seminggu Alya bekerja di sana, dan setiap pagi, ia datang paling awal. Selalu membawa semangat baru — juga senyum yang entah kenapa bisa menenangkan hati Andre lebih dari secangkir kopi panas.
> “Masih sama seperti dulu ya, kamu kalau masak selalu sambil bersenandung,” ucap Andre pelan sambil tersenyum.
“Kamu masih suka memperhatikan, ternyata,” jawab Alya lembut, matanya sekilas menatap Andre sebelum kembali ke wajan.
Dapur seketika terasa lebih hangat dari biasanya.
Bukan karena api di tungku, tapi karena kenangan yang tiba-tiba hidup kembali di sela-sela aroma bumbu.
---
Setiap siang, saat pelanggan mulai ramai, Andre dan Alya bahu-membahu di dapur.
Mereka bekerja tanpa banyak bicara, tapi cukup dengan saling memahami isyarat kecil — seperti dua nada lama yang akhirnya kembali berpadu.
Ratna kadang melihat dari ruang kasir. Ia tersenyum samar, mencoba menepis rasa aneh di dadanya.
> “Mungkin aku hanya terlalu sensitif,” pikirnya. “Alya kan cuma pegawai. Lagipula Mas Andre bukan tipe yang macam-macam.”
Namun senyum itu tak bisa menipu kegelisahan yang tumbuh diam-diam.
Setiap kali melihat Andre tertawa kecil bersama Alya di dapur, Ratna merasa ada jarak yang perlahan tercipta — seperti garis halus di antara dua hati yang mulai renggang.
---
Suatu sore, restoran sepi karena hujan deras.
Hanya ada Andre dan Alya yang masih di dapur, membereskan peralatan. Listrik sempat padam, membuat suasana jadi remang.
Alya menyalakan lilin kecil di meja potong, cahayanya bergetar lembut di wajahnya yang basah oleh uap panas.
> “Ingat nggak waktu kecil dulu?” tanya Andre tiba-tiba.
“Yang mana?”
“Kamu pernah masak mie goreng di dapur rumahku. Gosong, tapi aku bilang enak karena takut kamu nangis.”
Alya tertawa kecil. “Aku masih ingat. Kamu yang bantu kipasin apinya pakai kardus bekas. Waktu itu kita belum tahu cara nyalain kompor minyak dengan benar.”
Tawa mereka pecah di tengah sunyi.
Namun di balik tawa itu, ada rindu yang menggantung — rindu yang dulu dikubur karena waktu dan keadaan, kini muncul tanpa permisi.
Andre menatap Alya lama. Ada sesuatu di matanya — kehangatan yang sama, tapi kini dibalut luka masa dewasa.
> “Alya… hidupmu setelah itu gimana?”
“Aku sempat menikah, Andre. Tapi suamiku meninggal lima tahun lalu. Sekarang cuma aku dan dua anakku. Hidup nggak mudah, tapi aku masih bisa masak, dan itu cukup buat bertahan.”
Andre menunduk. Hatinya bergetar. “Kamu kuat sekali.”
Alya tersenyum, tapi matanya basah. “Aku nggak sekuat itu. Cuma terbiasa.”
---
Saat mereka bicara, Ratna muncul di pintu dapur.
Ia mematung beberapa detik melihat suaminya dan Alya di bawah cahaya lilin.
Bukan adegan mesra — hanya dua orang yang berbagi cerita. Tapi cara Andre menatap Alya… bukan cara seorang bos menatap pegawainya.
Ratna berbalik perlahan. Hatinya terasa sesak.
Ia menatap papan “Dapur Cinta” yang tergantung di luar, hujan menetes di atasnya.
> “Ternyata cinta itu seperti api,” bisiknya lirih. “Kalau dibiarkan, bisa menghangatkan… tapi juga bisa membakar.”
---
Malam itu, Andre pulang terlambat.
Ratna sudah menunggu sambil menyiapkan teh hangat.
> “Capek, Mas?” tanyanya lembut.
“Lumayan. Pelanggan mulai banyak.”
“Syukurlah. Oh iya, aku lihat kamu akrab sama Bu Alya ya. Dia orangnya rajin.”
Andre menatap Ratna sejenak.
“Dia teman lama, dulu satu kampung. Aku nggak nyangka ketemu lagi setelah dua puluh tahun.”
Ratna tersenyum tipis. “Dunia sempit, ya.”
Ia menahan suaranya agar tidak bergetar.
Saat Andre mandi, Ratna duduk di kursi dapur. Ia memandangi tungku yang padam, lalu menunduk.
> “Ya Allah… jaga hati suamiku. Kalau dia tergoda, biarlah aku yang menanggung sakitnya, bukan dia.”
Air matanya jatuh diam-diam, menyatu dengan sisa embun di lantai.
---
Keesokan harinya, Andre datang lebih pagi dari biasanya.
Ia membawa beberapa bahan baru: cabai segar, daun jeruk, dan daging ayam.
> “Kita buat resep baru,” katanya pada Alya. “Aku pengen menu ini jadi ciri khas Dapur Cinta.”
Alya tersenyum, semangat.
> “Namanya apa?”
Andre berpikir sejenak. “Ayam Peluk Cinta.”
Mereka tertawa bersama.
Saat mengaduk bumbu di wajan, tangan mereka sempat bersentuhan. Hanya sepersekian detik — tapi cukup untuk membuat keduanya terdiam.
Andre cepat-cepat menjauh, pura-pura mengambil piring.
Alya pura-pura sibuk dengan ulekan. Namun jantung mereka berdua berdetak terlalu cepat untuk disembunyikan.
---
Menjelang sore, Ratna datang membawa bekal untuk suaminya.
Ia melihat dari luar, Andre dan Alya sedang bekerja berdua di dapur, wajah mereka bercahaya oleh senyum dan cahaya sore.
Di tangannya, Ratna memegang kotak berisi kue kesukaan suaminya. Tapi langkahnya terhenti di depan pintu.
Ia hanya berdiri diam, memandangi pemandangan itu.
Senyum yang dulu hanya miliknya, kini ia lihat berbagi pada orang lain.
> “Mungkin cinta memang tak bisa dimiliki selamanya,” pikir Ratna, “tapi aku ingin jadi bagian dari kebahagiaan suamiku… walau bukan aku penyebabnya lagi.”
Ia meletakkan kotak itu di meja depan tanpa suara, lalu pulang dalam hujan yang mulai turun lagi.
---
Malamnya, Andre menemukan kotak kue itu di meja.
Di dalamnya ada secarik kertas dengan tulisan tangan Ratna:
> “Mas, aku tahu api di dapur itu bukan cuma untuk masakan.
Kalau suatu hari nanti api itu berubah jadi perasaan, aku mohon, jangan padamkan — tapi juga jangan biarkan aku terbakar sendirian.”
Andre terdiam lama.
Tangannya gemetar saat membaca tulisan itu.
Untuk pertama kalinya, ia sadar: cinta lama yang kembali hidup bisa seindah nyala api… tapi juga bisa menghanguskan rumah yang ia bangun dengan penuh perjuangan.
> “Ya Tuhan…” bisiknya, “aku hanya ingin bahagia… tapi kenapa rasanya justru menyakitkan?”
---
Malam itu, hujan turun lagi.
Di dapur yang mulai gelap, Andre menatap nyala api kecil di kompor.
Dan untuk pertama kalinya sejak Dapur Cinta berdiri, ia merasa takut — bukan kehilangan usahanya, tapi kehilangan rumah tempat hatinya berteduh.
---
🕯️
Api yang Kembali Menyala bukan hanya kisah tentang dapur, tapi tentang hati yang perlahan terbakar oleh kenangan — dan tentang cinta yang mulai diuji oleh waktu dan kesetiaan.