AROMA RAHASIA DI DAPUR CINTA

918 Words
Pagi itu, aroma bawang goreng dan daun jeruk memenuhi udara. Dapur Cinta mulai ramai — pegawai berlalu-lalang membawa bahan, wajan berdenting, dan suara tawa kecil Alya terdengar di antara hiruk pikuk. Andre berdiri di pintu dapur, memperhatikan. Ia tersenyum tanpa sadar. Gerak tangan Alya begitu teratur, penuh ketenangan. Setiap kali ia mengaduk tumisan, aroma masakan seolah punya sihir yang menenangkan hati. > “Mas Andre, ini sambal untuk menu baru. Mau dicoba?” tanya Alya sambil menyodorkan sendok kecil. Andre mencicipinya, lalu tersenyum. > “Pas. Pedasnya lembut, tapi meninggalkan rasa yang bikin pengen lagi.” Alya terkekeh. “Dulu kamu juga selalu bilang begitu waktu aku masak di rumah nenek.” Mereka tertawa kecil — tawa yang terdengar biasa, tapi menyimpan kenangan lama. Dari jauh, Ratna memperhatikan tanpa suara. Tangannya menggenggam kain lap erat-erat, berusaha menahan perasaan yang tak bisa ia beri nama. --- Malamnya, Ratna duduk di teras sambil menunggu Andre pulang dari dapur. Langit gelap, hanya suara jangkrik menemani. Saat Andre akhirnya datang, bajunya masih berbau masakan. > “Kamu makin sering lembur ya, Mas,” ucap Ratna pelan. “Iya, banyak pesanan. Alya bantu banget di dapur. Dia jago buat racikan bumbu.” Nama itu — Alya. Terdengar ringan bagi Andre, tapi terasa berat bagi Ratna. Ia tersenyum, meski matanya tak lagi sebening dulu. > “Syukurlah ada yang bantu. Aku senang kamu punya orang yang bisa dipercaya.” Namun, begitu Andre masuk kamar, Ratna menatap langit gelap. Ia bertanya dalam hati — sejak kapan kehangatan di dapur yang mereka bangun bersama kini terasa sedikit dingin? --- Keesokan harinya, hujan turun deras. Alya datang terlambat, bajunya sedikit basah. Andre segera mengambil handuk kecil dari rak. > “Kamu kehujanan. Nih, keringin dulu.” “Ah, nggak apa-apa. Aku udah biasa,” jawab Alya, menunduk malu. Untuk pertama kalinya sejak lama, Andre merasa dadanya berdebar tanpa alasan. Tatapan mata mereka bertemu sesaat — lalu Alya buru-buru berpaling, pura-pura sibuk dengan bahan masakan. Namun, kehangatan itu meninggalkan jejak yang tak mudah hilang. --- Siang menjelang sore. Ratna datang membawa makanan dari rumah — sayur asem kesukaan Andre. Ia ingin membuat kejutan kecil, tapi langkahnya berhenti di depan dapur. Di sana, Andre dan Alya berdiri berdekatan di meja masak, tertawa karena adonan yang tumpah. Andre mengusap tepung di pipi Alya, refleks. Mereka sama-sama terdiam sesaat setelah sadar. Ratna menutup pintu perlahan sebelum mereka sempat melihatnya. Sayur asem di tangannya terasa dingin. Ia meletakkannya di meja depan, lalu pergi tanpa kata. --- Malam itu, Ratna menangis pelan di kamar, berusaha tidak terdengar anak-anak. Ia tak ingin marah, tak ingin curiga — tapi hatinya terlalu jujur untuk membohongi diri sendiri. > “Mas, aku tahu kamu bukan lelaki yang gampang tergoda,” bisiknya dalam hati. “Tapi aku takut… bukan karena aku tak percaya kamu, tapi karena aku tahu… cinta pertama itu tak pernah benar-benar mati.” --- Keesokan paginya, Ratna tersenyum seperti biasa saat menyambut Andre. Ia menyiapkan sarapan, bahkan mengantar anak-anak sekolah. Namun, dalam hatinya, ada tekad kecil yang mulai tumbuh. > “Kalau cinta diuji, aku tidak akan lari,” pikirnya. “Aku akan berdiri di sini — di sampingmu — sampai kamu sadar siapa yang selalu menjaga dapur ini sejak awal.” Dan di dapur yang sama, Andre menatap papan bertuliskan “Dapur Cinta” dengan pandangan rumit. Ia sadar, kini dapur itu bukan hanya tempat memasak — melainkan tempat di mana cinta diuji, dibumbui, dan mungkin… harus dibagi. Malam sudah larut. Andre baru saja menutup pintu restoran ketika menemukan Ratna duduk di teras rumah, mengenakan daster bunga yang sudah agak pudar. Di tangannya, segelas teh hangat mengepul pelan. > “Belum tidur?” tanya Andre, suaranya lembut. “Nunggu kamu,” jawab Ratna pendek, tapi nadanya tidak marah. Andre duduk di sampingnya, menghela napas panjang. Udara malam membawa aroma tanah basah — dan di antara keheningan itu, hanya suara jangkrik yang terdengar. Ratna menatap ke arah lampu jalan. “Mas… kamu masih ingat nggak, dulu kita jualan nasi uduk bareng di trotoar? Waktu itu kamu bilang, suatu hari kita bakal punya dapur sendiri.” Andre tersenyum, matanya menerawang. “Ingat banget. Aku masih inget kamu rela bangun jam tiga pagi buat masak.” Ratna terkekeh pelan. “Iya, karena kamu nggak bisa goreng telur tanpa gosong.” Andre tertawa kecil, tapi kemudian menatap Ratna lama. > “Kamu tahu, kalau bukan karena kamu, Dapur Cinta nggak akan pernah ada.” Ratna menunduk. Ada getar di dadanya. “Tapi sekarang dapur itu rasanya bukan cuma milik kita lagi.” Andre terdiam. Ia tahu apa maksud kalimat itu, tapi tak ingin menjawab dengan pembelaan. Sebaliknya, ia memegang tangan Ratna — hangat, meski sedikit bergetar. > “Aku cuma pengin kamu percaya… apa pun yang terjadi di sana, cuma kamu yang aku pulangin setiap malam.” Ratna memejamkan mata. Air matanya menetes perlahan, bukan karena sedih — tapi karena hatinya masih ingin percaya. Ia bersandar di bahu Andre, dan malam itu mereka duduk diam sampai angin dini hari berembus membawa rasa tenang yang sempat hilang. > “Mas…” “Hm?” “Kalau nanti dapur itu makin besar, jangan lupa, ya… cinta yang pertama kita masak bukan buat pelanggan — tapi buat kita berdua.” Andre tersenyum, mencium puncak kepala istrinya. > “Aku janji, Ratna. Cintaku mungkin berdebu karena waktu, tapi rasanya nggak pernah basi.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tertidur sambil bergandengan tangan — mungkin tak lagi sehangat dulu, tapi cukup untuk membuat cinta itu hidup sekali lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD