Sudah waktunya?

1241 Words
Satu tahun pernikahan... Bangun dengan mendapati kepala beraroma manis meringkuk dalam pelukannya adalah pemandangan setiap pagi yang Yoga dapati sudah setahun ini. Tidak terasa, satu tahun sudah berlalu. Mungkin terasa ringan karena dia menjalani bersama April,  banyak juga yang sudah di lalui bersama satu-satunya wanita dalam pelukannya ini termasuk pertengkaran-pertengkaran kecil mulai dari April yang sering mengkritiknya lupa waktu jika sudah bekerja atau kebiasaan lain dirumah. Mulai dari mengantung pakaian kotor yang seharusnya di masukan dalam ranjang khusus baju kotor. Ya, itu hanya satu contoh penyesuaian diantara mereka. Sadar atau tidak, Yoga sudah terlalu bergantung sama istrinya. Menjauhkan wajah April dari dadanya demi bisa melihat wajah cantik dengan raut lelap, jika kelopak mata itu terbuka akan melihatkan mata lebar yang indah melengkapi hidung mancung dan bibir penuh, seksi dan satu itu kesukaannya sejak pertama kali mereka berciuman. Yoga menyentuh wajah April hingga membuat tidurnya yang lelap terganggu. kelopak mata itu bergerak membuka, memandang dengan tatapan kantuk "jam berapa?" tanya April dengan suara yang serak. "Empat pagi." jawab Yoga, beralih menjauhkan diri dan membelakangi April. "aku masih ngantuk." Yoga bersiap untuk kembali memejamkan mata. "Hari ini kamu ke Singapura, Ga..." April mengingatkan, Yoga akan di sana selama tiga hari atau lebih tergantung pekerjaan dia akan lebih cepat selesai atau tidak. "Iya ingat, pesawatku jam sebelas." April mendekat, merapatkan tubuhnya lalu menyelipkan tangan di pinggang sang suami, berganti iya yang memeluknya. "Mau sarapan apa hari ini?" bisiknya pelan, dia tahu Yoga belum tidur. "telur saja." "lagi? kemarin sarapan telur lho." tangan April tidak tinggal diam, masuk ke dalam baju, untuk mengelus d**a bidang suaminya. "kalau gitu apa pun yang kamu masak, aku pasti makan." Jawab Yoga sambil menguap. April memeluknya kian erat, "Jangan lama-lama ya, kalau sudah selesai urusan di sana langsung pulang." dia bicara begitu karena setiap kali harus ditinggal suaminya berhari-hari dinas ke luar, April akan merasa sepi sendirian di rumah. dia memilih menginap di rumah orang tuanya. Yoga terkekeh, kantuknya menguap lalu berbalik untuk menghadap April. Mata mereka bertemu, Yoga merendahkan kepala hingga kening mereka menyatu, deru napasnya menyapu wajah sang istri. "Kalau gitu ikutlah bersamaku." "Maunya sih gitu, tapi aku kerja, Yoga. Nggak bisa." “Kalau kamu berhenti kerja, itu keuntunganmu bisa ikut aku saat kerja keluar.” April tersenyum kecil, mengecup hidung mancung Yoga. “Kita sudah membahas ini, kan? aku akan tetap kerja.” Yoga memeluk tubuh ramping istrinya, April tidak akan menurutinya. “Ga..” April menemukan mata suaminya sedang menatap langit-langit kamar mereka. “Hm..” mendapat nada cuek itu buat April menyeringai, tangannya menyusup ke dalam kaos suaminya dan memberi gerakan nakal sampai Yoga menggeram dan menangkap tangan tersebut. “Kamu membangunkan singa yang sedang tertidur.” Mendengar ancaman itu April yang sudah sangat tahu suaminya sudah terpancing malah tergelak, dia mengubah posisi lalu bergerak dan naik, hingga menduduki perut suaminya. Wajah cantiknya terbingkai rambut yang menjuntai di dua sisi, semakin sengaja April menggigit bibir bawahnya sendiri. Yoga yang tidak tahan menemukan tatapan nakal dan menggoda dari ekspresi istrinya, segera dia tangkup sisi wajahnya lalu menyesap manis bibirnya itu tanpa ampun sampai mengeluarkan desahan. “Yoga.. nanti kamu kesiangan!” April yang memulai dia juga berniat menghentikan? Tentu saja Yoga tidak akan membiarkan. “Jangan mencari alasan untuk kabur, sayang. kamu nggak akan berhasil.” Katanya lalu menggigit kecil telinganya merambat ke dagu, leher dan kian turun sampai April rasanya sulit bernapas setiap kali mengimbangi kecupan sang suami sebelum ke menu utamanya. *** Jam digital di nakas yang sengaja di atur April berbunyi tepat pukul tujuh, Yoga benar-benar terbangun. April sudah tidak ada dalam pelukannya, duduk bersandar pada kepala ranjang membuat selimut biru yang menutupi tubuh telanjangnya melorot sampai pinggul. Mengusap wajahnya barulah dia turun dari tempat tidur, langsung ke kamar mandi hanya sepuluh menit, dia sudah segar. saat kembali ke kamar, ranjang sudah rapi, bantal dan selimut tertata rapi. istrinya juga sudah menyiapkan kaus dan celana jeans, bersama dengan boxernya. Yoga dengan cepat memakainya, lalu saat matanya menatap ke dekat sofa santai di dekat jendela kamarnya, terdapat koper miliknya. pasti April juga sudah menyiapkan keperluan selama di Singapura. Dia tersenyum, pilihannya ini tepat. padahal April yang dia tahu adalah anak perempuan satu-satunya, terlihat manja jika sedang bersama orang tuanya. tapi, saat memutuskan kuliah di luar negeri, Yoga yakin April menantang dirinya sendiri untuk bisa mandiri. dia tipe perempuan yang mau belajar banyak hal, salah satu buktinya, April mau belajar masak dan masakannya setiap waktu meningkat semakin enak. Yoga membuka pintu kamar dan aroma masakan langsung membuat dia semakin lapar. benar saja, meja makan di apartemennya selama setahun belakangan ini tidak pernah kosong. seperti yang dilihatnya hari ini, meja makan penuh terisi dengan semangkuk sup ayam, goreng tempe dan tahu. April tersenyum saat menyadari kehadirannya. "kamu nggak berangkat ke kantor?" Yoga menyadari penampilan santai April dengan kaos kebesaran miliknya melihat paha putih mulusnya, Yoga yakin April hanya memakai celana dalam tanpa luaran lain. Seandainya dia tidak ada jadwal pesawat, sudah pasti akan mendekap tubuh itu dan melakukannya di atas meja makan sepertinya menggiurkan. Sadar pikirannya sudah kacau, Yoga menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan hawa panas di dirinya. "Nggak ada jadwal meeting penting pagi ini, aku ke kantor setelah kamu berangkat." Jawab April lalu mulai mengambilkan Yoga sarapannya. "Oh! biar aku antar sekalian jalan." "kamu akan telat, Ga. lagi pula aku belum mandi dan bersiap." tolak April. Nanti Yoga di antar sopir keluarganya, jalan ke bandara pasti akan macet jika Yoga harus putar arah untuk mengantarnya dulu, bisa jadi dia akan ketinggalan pesawat. Mereka lanjut sarapan bersama, April mengingatkan berkas-berkas penting supaya tidak tertinggal. Setelah selesai sarapan, Yoga bersiap dan April datang menyerahkan jaket, "pakai ini." Yoga mengangguk, membiarkan istrinya bantu memakainya. "kabari aku kalau sudah sampai." kata April lagi. Yoga mengeret koper dan tas ransel berisi berkas dan barang penting. "pasti, jaga diri kamu. Salam buat papa-mama." selama Yoga tidak di rumah, dia meminta April untuk tinggal dengan orang tuanya atau dengan sang Bunda—orang tua Yoga. "akan aku sampaikan." Yoga mendekat, lalu mengelus pipi istrinya dengan pandangan mata yang saling menatap dengan intens. “Kamu mau aku bawakan sesuatu?” April menggeleng pelan, “Nggak perlu bawa apa-apa, yang penting kamu pulang lagi dalam keadaan selamat.” Begitulah wanita yang dia nikahi setahun lalu, April tidak menuntut banyak hal darinya. Padahal Yoga tentu saja mampu memenuhi apa yang wanita itu minta, asalkan tidak meminta ia memetik bintang dilangit, itu hal mustahil. "Pril..” Yoga terlihat berpikir untuk mengatakan sesuatu. “Kenapa, Ga?” Tidak biasanya Yoga akan bersikap aneh seperti ini. “sudah setahun, kamu masih belum siap buat memiliki satu anak?" April tercenung karena ini untuk pertama kalinya Yoga membuka pembahasan tentang memiliki anak. "Ya, tidak apa-apa kalau memang kamu belum siap, aku tidak bermaksud memaksa hanya saja, mungkin ketika aku pergi keluar seperti ini kamu tidak akan merasa sendirian kalau sudah memiliki satu." Yoga menarik wajahnya ketika melihat wajah istrinya yang termenung, mengikis jarak dan mencium bibir istrinya cukup lama. "Jangan di pikirkan, aku akan menunggu sampai kamu siap" kata Yoga setelah menjauh. April tersenyum kecil, lalu memberi pelukan hangat. "Aku akan merindukanmu." Mengurai pelukan, Yoga membawa tangan April ke bibirnya, mencium dekat cincin pernikahannya. "Aku juga." balasnya sebelum berjalan keluar rumah. April tetap berdiri di depan pintu yang terbuka lebar, masih setia menatap punggung kokoh suaminya, sampai dia menghilang masuk dalam lift.  Dia memegang tangannya, tangan berisi cincin pernikahan dan kecupan hangat suaminya tadi. dia merenung sambil memandangi cincin pernikahannya. "inikah waktunya? apa aku sudah siap?" [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD