Tunggu apa lagi?

1280 Words
Suamik: Aku baru selesai makan malam, sudah dikamar hotel. Kamu tidurlah, jangan terlalu larut. April tersenyum membaca pesan terakhir suaminya yang mengabari baru saja makan malam, dia sudah berbaring di ranjang kamar saat masih lajang yang ada di rumah orang tua. seharusnya, April bisa dengan mudah terlelap, suasana dan tempat pasti sangat nyaman, sudah sangat familier. Terlebih dia habiskan banyak waktu di kamar ini. Setiap sudut adalah favoritnya dari mulai warna tembok, bentuk ranjang, lampu tidur, dan semuanya dipilih oleh dirinya sendiri. Namun, matanya tetap saja sulit terpejam. Dia begitu merindukan kamar mereka—dia dan suaminya—di apartemen, setiap kali menginap di rumah orang tuanya. Mungkin, karena sudah terbiasa dengan kamarnya setahun ini, atau lebih tepatnya terbiasa tidur bersama suaminya, Yoga dan pelukan hangat mereka setiap malam. Kebiasaan-kebiasaan mengobrol atau lebih terdengar diskusi yang seakan jadi rutinitas sebelum tidur walau lebih banyak April yang bicara dan Yoga mendengarkan atau sesekali memberi pendapat, sangat membantu jika itu menyangkut pekerjaan, Yoga jelas lebih berpengalaman. Mencari posisi nyaman, mulai dari miring kanan lalu ke kiri, membenarkan letak bantal, memeluk guling atau mengatur suhu ruangan, semua dilakukan April yang sedang berusaha memejamkan mata sampai akhirnya sengaja memutar musik pengantar tidur di ponselnya. Ia mendengarkan nada mendayu dari biola, barulah lama-lama matanya memberat hingga dia akhirnya tertidur. Sama halnya terbiasa tidur di kamar apartemen bersama suami, bangun pun April sudah terbiasa, lebih awal. Dia segera mandi, bersiap dan turun untuk membuat sarapan. "Ya ampun, non. bibi kira siapa!" Sri—asisten rumah tangga keluarga sampai kaget melihat April sudah sibuk di dapur. April tertawa melihat salah satu asisten rumah tangganya yang terkejut melihatnya sudah berkutat di dapur sepagi itu. "Pagi bibi..." balas menyapa. “Pagi juga, Masak non?” “Iya nih bi, buat sarapan.” Jawab April "Non sini biar saya saja." Bi Sri mendekat, hendak mengambil alih April yang sedang memotong wortel dan beberapa sayuran lain menunggu giliran. April menolak. "udah biasa bi." katanya. "Bibi kerjakan yang lain aja" Bi Sri tersenyum hangat, dia sangat tahu seperti apa anak majikannya ini dulu, karena dia sudah ikut keluarga April lama sekali, sejak April masih sekolah dasar. anak itu sangat manja, wajar saja, dia adalah putri satu-satunya keluarga ini. namun, ketika pulang dan terbiasa tinggal di luar negeri, bi Sri sudah terkejut dengan perubahan mandiri anak itu. ditambah sekarang semakin dewasa setelah menikah. tidak ingin menolak, "Ya sudah, kalau non butuh sesuatu bibi ada diruang cuci ya, non." "Oke bi!" jawab April lalu kembali sendiri menyiapkan bumbu masakan untuk sarapan pagi ini, Capcai, ayam goreng. Begitu pun dengan orang tuanya yang ikut merasakan putri mereka semakin dewasa setelah menikah. Tidak banyak komentar, mereka semua menikmati masakan April bersama pagi itu. Setelah selesai pun April langsung membereskan, dan mencuci piring kotor bekas makan mereka. "kamu bersiap aja, ini sudah siang, biar mama yang teruskan." "sedikit lagi ini ma, sebentar lagi juga selesai." Mama tidak langsung pergi, dia tetap membantu April mencuci piring. "Yoga berapa hari di singapura?" "tiga atau empat hari." jawab April, lalu tiba-tiba dia ingin menanyakan sesuatu yang memenuhi kepalanya sejak beberapa hari ini. "Mama.." "iya, kenapa?" April mengeringkan tangan, dia menghadap mama dan menatapnya. "Menurut mama, April bisa nggak jadi ibu yang baik seperti mama." mengerutkan kening mendengar pertanyaan anaknya, sang mama tidak langsung menjawab. Ia mencerna dulu maksud dari pertanyaan sang anak. "ibu yang baik?" "Iya, memiliki anak." Lalu mamanya memberi tatapan menuduh, duh April lupa bahwa dia kan selama ini menutupi hal itu. Sengaja menyimpan rapat hanya untuk dia dan yoga yang tahu. lalu, kenapa dia sekarang lupa dan malah melempar umpan pada mama. "Heum, April sudah kesiangan... nanti telat—“ "Nggak bisa kabur, sebelum menjelaskan sama mama!" cegah Mama. Mama benar-benar tidak membiarkan April lolos, dia langsung menarik anaknya ke ruang keluarga dan mulai menginterogasi dengan berbagai pertanyaan. *** "kenapa nggak bisa jadi ibu yang baik? sejauh ini mama lihat kamu bisa jadi istri yang sangat baik buat suami kamu. Itu artinya kamu juga akan berusaha menjadi ibu yang baik buat anak-anakmu. Apa pun alasan yang membuat kamu sampai menunda kehamilan ini, tetap saja mama kecewa, padahal mama dan ibu mertuamu sudah sangat menginginkan cucu dari kalian. Mau tunggu apa lagi sih, nak? Pokoknya mama nggak setuju cara kamu ini, siap nggak siap, jika sudah waktunya kamu pasti bisa menjalaninya. Nggak usah takut, Mama dan ibu mertuamu ada untuk membantu kamu." Melamun, dia memikirkan ucapan ibunya yang terakhir tadi, tatapan kecewa tidak luput dari mata Mamanya itu. dia tahu keputusan yang telah diambilnya ini membuat orang-orang di sekitarnya kecewa. Namun, April tidak mau mengungkapkan apa yang membuat dia juga sampai saat ini belum yakin memiliki anak. "Ibu.. boleh saya masuk?" ketukan di pintu menyadarkan April. "Ya, oh Ririn! laporan yang saya minta sudah selesai?" Ririn masuk begitu dapat ijin darinya. "Sudah, ini saya bawa laporan yang ibu minta." mengesampingkan dulu masalah pribadi, April mulai berdiskusi dengan Ririn perihal pekerjaan. Mulai perencanaan strategi pemasaran dengan memperhatikan tren pasar dan sumber daya perusahaan. Siangnya, Papa meminta makan siang bersama, membuat April tahu bahwa Mama pasti sudah mengeluhkan hal itu. Tidak langsung membahasnya, Papa membiarkan mereka melewati makan siang dengan amat tenang. “Yoga yang telepon?” Tanya Papa. Bertepatan selesai makan, ponsel April berbunyi. Yoga menelepon sebentar hanya untuk memastikan kondisi April. Komunikasi mereka memang berjalan sangat lancar jika Yoga sedang bekerja keluar kota atau luar Indonesia. “Iya Pa, dapat salam dari Yoga.” Kata April Papa mengelap bibirnya dengan tisu, lalu meminum teh hangatnya. “Kalau sudah pulang, ajak Yoga menginap di rumah. Papa sudah lama nggak main catur sama dia.” Yoga adalah lawan yang tangguh untuk Papa. “Kami pasti akan menginap, Pa.” Mengangguk pelan, tatapan fokus papa padanya bertanda bahwa sesi serius akan segera di mulai. “Mama telepon Papa tadi, cerita soal kamu menunda punya anak. Betul April?” Menarik napas dalam-dalam lalu diembuskan, April mengangguk pasrah. “Memang kami menundanya, Pa.” Tarikan napas dalam pun terdengar dari Papa. “Kalian yang menjalani, siap atau nggak kalian juga yang tahu. Apa pun alasannya, Papa yakin ini terbaik untuk kalian, kan?” April bersyukur, setidaknya semua orang tidak kecewa atas keputusannya itu. “Ketika Mama hamil kamu, dulu rasa bimbang juga papa rasakan. Apa papa bisa menjadi orang tua yang baik untuk kamu? lalu berhasilkah kami menjaga kamu dan banyak lagi ketakutan. Itu hal wajar, nak. untuk melakukan segala sesuatu pertama dalam hidup, pasti lebih banyak cemasnya, kan?” Lanjutnya, April setia mendengarkan. “Tapi, kita manusia diciptakan istimewa, nak. Manusia mempunyai keberanian dan nurani kita sendiri yang akan menuntun. Papa bahkan meminta sama Allah, Papa ingin sekali lagi di beri kesempatan untuk memiliki satu anak lagi sepertimu. Itu permintaan Papa saat kamu mulai beranjak dari satu fase ke fase lainnya, itu karena papa sangat menikmatinya, sampai nggak terasa waktu berjalan dengan cepat. Hm.. Manusia memang nggak ada puasnya, ya?” Papa terkekeh dan April mengangguk. “Meski begitu, mempunyai kamu adalah anugerah terindah dan itu lebih dari cukup. Jadi nak, yakin adalah kuncinya.” Papa menguatkannya. “Terima kasih, Papa.” Kata April Cara perlakuan dan limpahan kasih sayang yang April rasakan, itu menjelaskan bagaimana Papa sangat bersyukur karena Allah telah membuatnya hadir ke dunia ini, dalam dekapan mereka—papa dan mama. April tersenyum, rasa itu mulai terasa kuat. Lalu ia kembali ke ruangannya, lagi-lagi dia duduk termenung. Sekarang dia butuh pendengar sampai seseorang terlintas di pikirannya, ia segera mengambil Ponsel dan menghubunginya. Me: Ka, sibuk nggak? Aku mampir ke rumah ya pulang kerja." Chantika: Aku menginap dirumah mertua pril, Weekend ini aja yuk jalan. aku udah janji mau ajak anak-anak keluar. Al malah nggak bisa, sama kamu yuk temani kakak. April diam sebentar, kepalanya terasa sesak akhir-akhir ini dengan berbagai pikiran, dia juga mulai bosan. sepertinya menemani sepupunya dan bermain dengan para ponakan si kembar—Andra, Satya dan si cantik—Shal, pasti menyenangkan dan bisa menjadi hiburan buat dia yang sedang merasa suntuk ini. [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD