Bab 1

1053 Words
Pagi yang cerah kusambut dengan seutas senyum yang sangat menawan menghiasi bibir tipisku. Kuhirup udara dalam-dalam hingga oksigen memenuhi paru-paruku. Aku beranjak dari teras menuju taman mawar yang aku tanam sendiri. Bunga-bunga bermekaran mengundang kumbang-kumbang nakal untuk menghisap madunya. Kupetik beberapa tangkai mawar dan merangkainya dengan seindah mungkin. Aku teringat kalau Sandra dan Cassy sangat menyukai bunga mawar walau dengan jenis yang berbeda. Sandra menyukai mawar putih yang begitu indah dan lembut seperti dengan sifat dan parasnya. Sedangkan Cassy menyukai mawar merah yang menyiratkan keambisiusan dan keteguhan. Hari ini aku berniat menghadiri pemakaman mereka secara layak. Sesungguhnya aku tak ingin lagi kembali ke sana. Aku tak ingin lagi terbayang akan semua masa lalu yang sangat menyakitkan hatiku. Aku tak ingin terbayang bagaimana teman-temanku menjerit dan menangis serta meregang nyawa dengan sangat memilukan. Setitik air mata akan selalu jatuh ke pipiku jika aku mengingat semua itu. Aku masih merasa bahwa akulah yang bersalah atas semua kejadian itu. Dan hari ini ... hari ini aku terpaksa kembali ke desa terkutuk itu. Harus kembali ke posko yang terdapat begitu banyak kenanganku bersama mereka. Andai saja kakek dan Hendra tak memintaku untuk datang, aku pasti tak mau lagi menginjakkan kakiku di tempat terkutuk itu. Sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut. Aku menoleh ke belakang, ternyata Wilman telah berdiri di belakangku. "Jika kamu tak mau datang, biar kutelpon Hendra," kata Wilman sambil duduk disampingku dan menemaniku merangkai bunga. "Tidak, Wil, mereka sudah sangat baik sama aku. Aku harus menghadiri pemakaman itu," kataku sambil menghapus air mata yang telah jatuh ke pipiku. "Kamu yakin?" tanya Wilman meyakinkan. "Ya, Wil, aku yakin," jawabku. Yakin? ... sesungguhnya aku tak yakin sama sekali akan datang kembali ke sana. Aku masih belum siap untuk menanggung semua beban perasaan yang aku rasakan. Jika bisa memilih, aku ingin tetap berada di rumah dan menyendiri menghilangkan semua traumaku akan tempat terkutuk itu. Tempat yang telah memberiku rasa sakit dan trauma yang teramat mendalam. Tempat yang aku tak tahu lagi bagaimana keadaannya sekarang. Jika aku boleh jujur, traumaku belum hilang dari dalam diriku. Aku masih dan selalu mengingat semua kejadian itu. Aku seringkali terbangun di malam hari hanya karena bermimpi bagaimana teman-temanku di bunuh dengan sangat sadis oleh mereka. Rangkaian bunga untuk Sandra dan Cassy telah aku selesaikan. Aku segera beranjak ke kamarku untuk bersiap dan meninggalkan Wilman sendirian di halaman. Aku mengenakan setelan berwarna hitam. Aku kembali mematut diri di hadapan cermin dan menyiapkan diri apapun yang akan terjadi di sana. Saat aku tengah mematut diri di hadapan cermin, aku melihat sosok Evi di sana. Dia terlihat sangat cantik dan wajahnya tersenyum. "Kamu cantik, Di," kata Evi kemudian menghilang. Sakit rasanya ketika aku kembali melihat dia dan dia berkata demikian. Rasa sakit ini berasal dari rasa bersalahku. Dia yang begitu baik hingga mau menemaniku ke hutan pinus. Tapi karena itu dia harus menghilang, harus kehilangan nyawanya. Meski berat, kutarik napasku dalam-dalam mencoba menenangkan diri dari semua trauma yang ku alami. "Kamu sudah siap?" tanya Wilman saat aku telah berdiri di hadapannya. "Sudah, Wil, ayo," jawabku. "Kamu yakin?" tanya Wilman lagi. "Aku yakin," jawabku. Perjalanan menuju Desa Bunga Wangi tak sama lagi seperti saat aku akan berangkat KKN. Duluaku berangkat bersama teman-temanku setelah bertengkar dengan Wilman gara-gara Mela. Dan sekarang aku berangkat bersama Wilman. Mau tak mauaku mengingat kembali semua kejadian saat dalam perjalanan saat bersama temanku dulu. Aku kembali mencoba menarik napasku dan mengatur setiap emosi yang ada di dalam dadaku. Aku pejamkan mataku sejenak untuk menenangkan hatiku. Sebelum sampai di Desa Bunga Wangi, kami mampir terlebih dahulu ke rumah Hendra. Kakek dan Hendra menyambut kami dengan tangan terbuka dan sebuah pelukan. Pelukan yang lebih ditujukan untuk menguatkanku dari semuanya. "Terima kasih Nak Diona sudah membantu Kakek untuk menemukan mereka," kata kakek. "Sama-sama, Kek," kataku. "Kamu yakin, Di, akan pergi ke sana?" tanya Hendra. "Aku yakin, Hen," jawabku. "Tapi di sana..," kata Hendra. "Aku tak mungkin selamanya lari dari kenyataan bahwa teman-temanku meninggal di sana," kataku memotong perkataan Hendra. Aku masih terbayang bagaimana teman-temanku meninggal. Aku terbayang bagaimana kondisi mereka saat dimakamkan minggu lalu. Bagaimana hanya tulang belulang dan kepala mereka yang dibungkus kain kafan, tanpa kulit dan daging yang telah disantap oleh pemuja setan terkutuk itu. Ya Tuhan ... kenapa hidup mereka harus berakhir secara tragis seperti ini? Kembali setitik air mata jatuh ke pipiku. Tak ada tanya dari Wilman, Hendra maupun kakek. Mereka mengerti apa yang sudah aku alami dan apa yang sudah terjadi. Wilman mendekatiku dan memelukku dengan erat. Akhirnya tangisku pecah di dalam pelukan Wilman. Isak tangisku benar-benar menyayat. Tapi tak sepilu tangis teman-temanku. "Sudah, Di, ikhlaskan mereka," kata Wilman. "Kami akan ke desa sekarang, kalau tak sanggup datang, tinggallah di sini," kata Hendra. Aku menggelengkan kepala mencoba menguatkan diri untuk menginjakkan kaki kembali di desa itu. Aku kembali naik ke dalam mobil Wilman. Air mata masih saja turun membasahi pipiku. Perlahan mobil Wilman memasuki area desa. Aku menatap setiap jalan yang kami lewati dengan hati yang begitu berat. Terbayang semua perjalanan aku dan teman-temanku saat berjalan menyusuri deaa. Terbayang saat kami berjalan ke sekolah dan mengajar disana. Tangisku sudah benar-benar tak dapat kubendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya dan Wilman hanya diam. Dia pasti mengerti bagaimana perasaanku. Bagaimana hatiku yang begitu terluka harus kembali ke desa ini. Desa yang telah merenggut teman-temanku. Mobil berhenti di depan posko, Sandara dan Cassy serta ibu kakek akan di makamkan di halaman. Kakek memilih di makamkan di halaman karena tahu bahwa Sandra dan Cassy sangat suka bermain di halaman. Kakiku lemas ketika harus memasuki area rumah itu walau hanya di halaman. Bagaimana tidak, semua memori kebersamaan aki dan teman-temanku selama hampir sebulan terpatri dengan indah di dalam rumah itu. Saat kami bercanda, tertawa, berselisih paham dan bertengkar. Semua ada di sana lengkap tanpa ada yang hilang sedikit pun. Wilman memapahku untuk memasuki halaman rumah. Tangisku yang sejak tadi tak mau berhenti kini semakin menjadi. Air mata terus saja turun dari mataku. Aku tak dapat berhenti menangis karena mengingat semuanya. Pandangan warga melihatku dengan berbagai ekspresi. Para pemuja iblis itu berada dalam tiga dusun di desa ini yang letaknya berdekatan menatapku dengan tatapan yang penuh kebencian. Sedang satu dusun yang letaknya jauh dari pusat desa memandangku dengan penuh iba. Ya ... hanya satu dusun itu yang bukan merupakan pemuja iblis. Tapi sayang, letak dusun itu sangat jauh dati posko hingga aku tak dapat meminta tolong pada mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD