Bab 2

1040 Words
Aku sungguh tak kuasa untuk berdiri dan menatap semuanya. Kakiku begitu lemas untuk menopang berat badanku.Wilman memapahku untuk duduk di kursi yang ada di halaman. Dia memegang bahuku dengan erat memberiku semangat.Dua buket bunga yang sedari tadi aku pangku tanpa sadar hampir terjatuh andai Wilman tak menahannya. Rasa sakit ini benar-benar begitu menusuk setiap relung jiwaku. Proses pemakaman si kembar Sandra dan Cassy berjalan dengan penuh sesak warga desa.Semua ingin menyaksikan bagaimana tulang belulang mereka setelah berpuluh-puluh tahun berlalu.Saat aku melihat kain kafan yang membungkus tulang belulang mereka di masukkan ke liang lahat, kembali terbayang bagaimana Sandra dan Cassy diseret dan di bunuh secara kejam.Aku peluk tubuh Wilman dengan erat agar aku mendapat kekuatan untuk menahan semua beban yang aku rasa. Setelah liang lahat mereka di tutup kembali dengan tanah, Wilman memapahku ke dekat makam mereka. Tak ada yang tahu mana Sandra dan mana Cassy. Hanya aku yang tahu dan dapat membedakan keduanya.Kusimpan mawar putih di atas makam Sandra dan mawar merah di atas makam Cassy. Rasa sakit di d**a atas apa yang mereka alami perlahan berkurang. Aku merasa tenang karena telah dapat membantu mereka untuk dikuburkan secara layak.Tapi air mata ini masih juga mengalir ke pipiku dengan sangat deras. Aku benar-benar tak mampu menahan air mataku ini. Aku tahu arwah Sandra dan Cassy ada di sini. Mereka menyaksikan proses pemakaman mereka dari awal. Senyum yang sangat indah mengembang dari bibir mereka.Seorang perempuan berwajah keibuan dengan ciri khas perempuan jawa berdiri tepat di antara Sandra dan Cassy. Aku tahu bahwa dia adalah ibu dari si kembar. "Maafkan aku, kek karena tak dapat menemukan tulang belulangmu dan menguburkannya secara layak bersama istri dan anak kakek," kataku lirih.Walau aku tahu kakek telah tenang walau tidak di makamkan secara layak, tapi tetap rasanya ada yang kurang. Selesai pemakaman satu persatu warga meninggalkan rumah itu. Beberapa dari mereka menyempatkan diri untuk menghampiriku dan memberiku semangat untuk melalui semua dengan tabah dan kuat. "Di, kamu mau masuk ke rumah?" tanya Hendra. Masuk ke rumah? Rasanya aku tak akan sanggup masuk ke rumah itu. Terlalu banyak kenangan di sana. Di luar saja sudah mengingatkanku akan semuanya, apalagi jika aku masuk ke dalam rumah. "Di, sayang?" tanya Wilman membuyarkan lamunanku. "Kenapa Wil?" tanyaku. "Kamu mau masuk ke rumah tidak?" tanya Wilman. "Aku tak tahu, Wil, aku masih belum kuat," jawabku. "Ya sudah biar kutemani," kata Wilman. "Tidak, kamu masuklah. Lihat apa ada barang yang tertinggal," kataku. Semua barang sudah di bereskan dan di bawa pulang seminggu setelah kejadian. Semua barang pun telah dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing.Wilman mengikuti keinginanku. Dia melangkahkan kakinya memasuki rumah itu bersama Hendra dan kakek. Meninggalkanku sendirian di halaman dan terpekur dalam semua pemikiranku, dalam semua kenanganku.Bagaimanapun kejadian ini bukanlah sesuatu yang aku harap dan aku yakin tak ada orang normal dan waras yang mengharapkan semua kejadian ini. Perlahan aku berdiri melangkahkan kakiku untuk mengelilingi halaman. Aku dapat melihat dengan jelas bagaimana Evi bercanda dengan Arif sambil berlari di halaman. Bagaimana aku dan dia sering kali bertukar pikiran di atas batu besar yang ada di halaman.Tanpa terasa air mataku kembali jatuh membasahi pipiku. Rasa sedih dan sakit bercampur menjadi satu di dalam dadaku. Isak tangisku semakin menjadi setiap kali aku mengingat semua kebersamaanku dengan teman-temanku.Andai aku bisa memilih, biar aku yang menjadi korban tapi jangan mereka. Biar aku yang merasakan bagaimana sakit dan pedihnya dikuliti hidup-hidup dan dagingku di iris.Andai waktu bisa kuulang, andai aku memahami tanda yang ada di tangan mereka. Tak akan ada korban, tak akan ada yang menangis karena kehilangan anaknya. "Semua salahku... semua tak akan terjadi jika aku tak egois," kataku dalam isak tangisku. Wilman langsung memelukku erat di dalam dekapannya. Entah sejak kapan dia ada dibelakangku. Yang aku tahu saat ini dia tengah memelukku dengan erat. Menenangku dari tangisku yang semakin menjadi. "Ini bukan salahmu, Di," kata Wilman di telingaku. "Ini salahku, Wil, salahku," kataku sambil menangis dan memukulkan tanganku ke d**a Wilman Aku tak tahu apakah pukulanku keras atau tidak. Aku juga tak tahu apakah pukulanku menyakiti Wilman atau tidak. Yang aku tahu dia hanya diam menerima semua perlakuanku sambil terus memelukku dengan erat, mencoba untuk menenangkanku dari tangisku. "Di... ini tasbih siapa?" tanya Hendra yang tiba-tiba telah berada di belakang Wilman. Aku melihat benda yang tengah dipegang oleh Hendra. Dia memegang sebuah tasbih yang terbuat dari kayu. Warnanya coklat tua.Aku kembali teringat tentang tasbih itu. Aku ingat saat Evi menunjukkan tasbih itu kepadaku sehabis Fitri kesurupan tempo hari. "Tasbih ini pemberian almarhum kakekku. Dia ingin aku menggunakannya dan menjaganya" "Itu punya Evi," kataku lirih sambil mengambil tasbih itu dari tangan Wilman. "Ini amanat kakekmu, Vi, aku janji akan mengembalikan ini pada orang tuamu," kataku sambil menangis. "Sudah, Di, kamu yang kuat," kata Wilman. "Kamu istirahat di dalam ya?" ajak Hendra. "Gak, Hen, aku belum sanggup masuk ke rumah itu lagi. Terlalu banyak kenangan yang ada di sana. Suatu hari nanti jika aku telah siap, aku akan masuk kesana," kataku. Ya... rumah itu kini kepemilikannya telah kembali kepada kakek. Karena kabar bahwa ayah kakek terlilit hutang hanyalah sebuah kebohongan. Yang ada akhirnya rumah itu di miliki oleh tetua desa. Tapi kini semua telah kembali kepada kakek. "Aku bawa Diona pulang saja, Hen, kasihan dia kalau lama-lama disini," kata Wilman. "Lebih baik ke rumahku saja, Wil, kalau ke kota kasihan Diona. Dia pasti belum fit," kata Hendra. "Baiklah," kataku. "Di rumah ada pembantu, istirahatkan saja Diona di kamar tempat dia biasa menginap," kata Hendra. "Makasih ya, Hen," kata Wilman. Wilman memapahku untuk berjalan tapi kakiku benar-benar lemas tak bertenaga hingga aku jatuh terpuruk.Aku tahu Wilman tak tega melihatku seperti ini. Dia pun menggendongku dan memasukkanku ke dalam mobilnya.Aku masih saja terus menangis dan tak dapat menghentikan tangisku. Rasa sakit dan pedih ini tak mau pergi dari hatiku. Saat Wilman mulai menjalankan mobilnya entah mengapa aku merasa ada yang memperhatikan kami di antara rumah warga. "Berhenti," pintaku pada Wilman. "Kenapa, Di?" tanya Wilman. Tanpa menjawab kata-katanyaaku langsung membuka pintu mobil dan mencoba untuk menguatkan kakiku agar kuat untuk menopang tubuhku. Aku edarkan pandanganku ke segala arah mencari siapa yang mengawasi kami tapi tak ada siapa pun yang aku temukan. "Ayo, Wil," kataku setelah menutup kembali pintu mobil. "Ada apa, Di?" tanya Wilman. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan Wilman. Aku sangat yakin bahwa tadi ada yang mengawasi kami. Tapi siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD