Bab 3

1032 Words
Kondisi rumah Hendra sangat sepi, tak ada siapa pun di rumah selain pembantunya. Hendra memang belum menikah dan ibunya telah lama meninggal. Dia hanya tinggal bersama kakek, ayahnya. Aku duduk di ruang tamu sambil sesekali menyeka air mataku yang masih saja turun dari mataku. Aku sungguh tak dapat menyembunyikan semua rasaku. Rasa sakit dan pedih ini masih saja ada di benakku walau sudah hampir dua bulan telah berlalu. Aku beranjak ke dapur dan mengambil air minum, berharap bahwa segelas air putih akan membuatku lebih tenang. Tapi tetap rasa sakit ini tak mau juga hilang dari dalam hatiku.  Kulihat Wilman menghampiriku dan memelukku dengan sangat erat. Dia tak banyak bicara mengenai kondisiku. Dia hanya diam sambil memelukku seolah memberiku kekuatan agar aku tetap tegar dan tabah dalam menghadapi semuanya. "Di ... istirahat yuk," ajak Wilman. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku memang tak ingin beristirahat, aku hanya ingin menenangkan diriku, hanya ingin menghilangkan semua rasa sakit dan traumaku. "Aku ingin duduk di halaman, kamu istirahatlah, Wil," kataku sambil beranjak meninggalkan Wilman. Aku menenangkan diriku dengan duduk di kursi yang ada di halaman sama dengan kursi yang ada di tempatku KKN. Aku tenggelamkan semua pemikiranku dengan semua yang telah terjadi. Aku harus berani menghadapi kenyataan bahwa teman-temanku telah tiada. Menghadapi kenyataan bahwa dosen kesayanganku sendiri yang telah membuat kami berada dalam kondisi yang tak menyenangkan ini. Kembali suasana pemakaman Sandra dan Cassy terbayang jelas dalam pikiranku. Bagaimana masih banyak orang yang masih peduli pada mereka, padaku. Mengingat semua kejadian saat pemakaman membuatku kembali teringat akan perasaanku bahwa aku tengah diawasi seseorang. Siapa orang itu? Siapa yang tadi mengawasiku?  Apakah warga desa yang masih sakit hati karena aku membongkar pemujaan itu? Tidak ... itu tidak mungkin mereka. Aku dapat merasakan bahwa dia bukan salah satu dari warga desa. Entah kenapa aku merasa bahwa sesuatu yang buruk akan kembali terjadi dalam hidupku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, hanya perasaanku benar-benar tak enak. Aku terlalu banyak memikirkan semuanya. Hingga rasanya kepalaku sangat dan serasa bahwa dunia ini berputar dengan cepat dan cepat hingga semua berubah menjadi gelap. *** Aku berjalan melewati sebuah lorong yang sangat panjang. Aku tak dapat melihat apa pun di sini, semuanya gelap dan tak ada penerangan sama sekali. Aku tak tahu di mana ujung dari terowongan ini. Aku merasa ketakutan dengan semuanya. Aku coba memanggil nama Wilman tapi tak ada jawaban dari dia. Aku terus dan terus berjalan mengikuti ke mana langkah kakiku membawaku. "Ini terlalu gelap. Di mana ini?" kataku pada diriku sendiri. Aku mulai ketakutan dengan kondisi di lorong ini. Lorong ini terlalu gelap dan terlalu sepi. Tanpa terasa tangisku mulai membasahi pipiku. "Aku harus bagaimana?" tanyaku disela-sela tangisku Terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahku. Aku merapatkan badanku ke dinding. Aku benar-benar ketakutan. Aku takut jika yang datang bukanlah untuk menolongku tapi untuk menjerumuskanku dalam bahaya.Tiba-tiba suara itu menghilang. Aku bernapas dengan leganya. Hanya aku sekarang bingung apa yang harus aku lakukan? Aku harus bagaimana untuk keluar dari lorong ini? Aku mengikuti naluriku untuk terus dan terus berjalan mengikuti ke mana langkah kakiki melangkah. Aku hanya berharap bahwa aku akan segera keluar dari lorong gelap ini.Semakin jauh aku melangkah, semakin gelap dan pengap lorong ini. Aku kesulitan untuk bernapas, aku merasa sesak yang teramat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?" tanyaku dalam hati. Aku ingin kembali ke jalan tadi, tapi aku tak mungkin kembali karena aku telah terlalu jauh berjalan ke dalam lorong ini.Satu dua langkah aku maju dalam kegelapan. Tiba-tiba tubuhku oleng ke depan karena tersandung sesuatu, aku pun terjatuh dan kepalaku terantuk pada dinding yang ada di hadapanku.Aku mencoba meraba apa yang ada di hadapanku. Ternyata hanya dinding yang dingin dan berlumut. "Ini jalan buntu, bagaimana sekarang?" tanyaku. Aku terduduk bingung harus bagaimana lagi agar aku keluar dari tempat ini. Aku tak ingin terus berada dalam lorong yang gelap ini. Perlahan aku bangkit dan merabai disekitarku. Aku bernapas lega ketika aku menemukan jalan lain. Ternyata lorong ini tidak lurus tetapi berbelok.Aku kembali mengikuti ke mana lorong itu menuju. Aku hanya berharap bisa keluar dari sini. Sial... lorongnya semakin sempit dan semakin pengap. Aku tak tahu kagi harus bagaimana keluar dari tempat ini. "Di... kenapa kamu di sini?" terdangar suara Evi yang bertanya padaku. "Vi... Evi... apakah itu kamu?" tanyaku penuh harap bahwa dia benar-benar Evi. "Ya, Di, ini aku. Pergilah kamu dari sini, Di!" pinta Evi yang aku sendiri tak sapat melihatnya. "Kamu di mana, Vi, aku tak dapat melihatmu?" tanyaku. Tapi Evi tak lagi menjawab pertanyaanku. Semuanya kembali hening dan tak ada suara dari siapa pun. "Vi... Evi...," teriakku memanggil namanya. Lagi-lagi hening tak ada jawaban dari siapapun. Aku terduduk di tempatku saat ini. Aku mulai menangis lagi tak tahu apa yang harus aku lakukan.Tiba-tiba aku teringat kalau Evi telah tiada meninggalkanku. Apakah aku juga kini telah meninggal dan menyusul Evi? Tapi dia tadi memintaku keluar dari tempat ini. Bagaimana aku bisa keluar dari lorong ini? Aku bahkan tak tahu dimana jalan keluar dari lorong ini. "Vi... Evi...," kembali aku memanggil nama Evi, tapi Evi tak menjawabku. Ah... aku sekarang benar-benar sendirian disini. Aku harus bagaimana sekarang? Aku mencoba bangkit dari tempat dudukku dan kembali berjalan.Kembali aku menyusuri bagian lorong yang semakin mengecil dan semakin gelap. Aku mencoba untuk menghiraukan sesak yang kini aku rasakan. Aku berusaha menghemat oksigen yang ada di sekelikingku.Aku terjatuh, kakiku tersandung sesuatu dan aku langsung terjun bebas mengikuti jalur lorong yang menurun. "Ah...," teriakku saat aku terjatuh dan terjun bebas. Akhirnya aku mendarat di dasar lorong gelap itu. Aku mencoba berdiri dan membersihkan badanku yang kotor.Terdengar suara gemericik air yang jatuh ke dalam sebuah danau. "Pasti di dekat sini ada sungai, dan sungai pasti mengarah ke luar lorong ini," kataku mulai bahagia karena mengetahui ada kemungkinan aku keluar dari lorong gelap ini. Aku berjalan mengikuti suara gemericik air yang kudengar. Perlahan ada cahaya masuk ke lorong itu. Aku tersenyum lega karena itu artinya aku semakin dekat dengan dunia luar. Aku terus dan terus berjalan mengikuti langkah kakiku berjalan. Hingga aku sampai disuatu ruangan lorong yang benar-benar membuatku sangat kaget. Bagaimana tidak, aku melihat patung iblis yang warga desa sembah berdiri di tengah-tengah ruangan dan seseorang tengah berdiri di hadapannya. Seorang pria yang aku tak tahu siapa dia. "Apakah ini artinya ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD